Di negeri ini, jejak Rumi dan Ibn ‘Arabi bisa engkau telusuri dalam karya yang ditinggalkan Burhanpuri, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Amir Hamzah, dan Umbu Landu Paranggi. Kebesaran nama mereka, mengikuti jejak dua pendahulunya. Sungguh diakui dunia.
JERNIH–Saudaraku,
Aku terus berupaya mengkampanyekan tentang keharusan beragama secara gembira tanpa lelah. Ya, beragama itu mesti menyenangkan, baik bagi diri-sendiri, orang lain maupun tetangga sebelah yang kebetulan berbeda keyakinan.
Pastilah. Beragama kudu melahirkan rasa kedamaian dalam perbedaan tanpa ancaman. Ekspresi beragama dalam bentuk pikiran maupun tindakan layak memancar dari budaya keadaban publik: saling meyakini, memahami, dan menghargai.
Tak pelak, semua kebajikan itu basisnya adalah cinta. Benar, inilah prinsip toleransi yang menjadi inti ajaran Islam sebagaimana diajarkan al-Quran dan dicontohkan Rasulullah SAW; namun sering kali dilupakan. Bahkan, di negeri ini, bertahun-tahun pesan-pesan fundamental al-Quran tentang toleransi ini hilang dari ruang publik; seolah lenyap ditelan bumi.
Ketahuilah. Ketika bicara agama cinta, pikiranku tiba-tiba melayang pada dua sosok mistikus besar Islam: Rumi dan Ibn ‘Arabi. Mereka masing-masing telah memberi sumbangsihnya dengan cara unik-khas dalam membangun keadaban beragama, berbasiskan kasih-sayang yang digali dari nilai-nilai sufistik.
Tengoklah. Rumi, dikagumi masyarakat dunia—yang sebagian besarnya awam dengan tasawuf. Padahal puisinya banyak menggunakan terminologi tasawuf, yang jelas tak mudah dicerna. Ingat, para penerjemah Barat, turut berperan dalam penyebaran karyanya: berhasil memindahkan rasa bahasa yang ia gunakan, ke dalam (terutama) bahasa Inggris, sehingga kemudian menyebar ke seantero dunia.
Hal sebaliknya terjadi pada karya Ibn ‘Arabi. Puisi mistikalnya juga diapresiasi publik luas. Tapi karena tingkat kerumitan bahasa yang ia terapkan, alhasil para pengagum Syaikh al-Akbar, lebih banyak berasal dari kalangan terdidik. Mereka umumnya secara ilmiah menyelami khazanah ilmu esoterik Islam.
Henry Corbin, misalnya, adalah satu di antara tokoh terkemuka yang turut andil mengenalkan karyanya ke kalangan akademik. Selebihnya, karya-karya agung ini, tersebar dengan takdirnya sendiri dibawa angin: menerobos ufuk ruang-angkasa.
Ternyata, di antara dua golongan itu, masih ada satu lagi: mereka yang bisa menikmati suguhan Rumi dan Ibn ‘Arabi secara baik dan benar alias proporsional—dan mereka tentu berasal dari golongan khawash al-khawash (masyarakat istimewa).
Simaklah. Di negeri ini, jejak Rumi dan Ibn ‘Arabi bisa engkau telusuri dalam karya yang ditinggalkan Burhanpuri, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Amir Hamzah, dan Umbu Landu Paranggi. Kebesaran nama mereka, mengikuti jejak dua pendahulunya. Sungguh diakui dunia.
Sampai saat ini, dampak dari apa yang telah mereka tinggalkan, jelas terasa dalam geliat masyarakat dunia ketika membangun peradaban dunia. Terbukti dengan adanya peringatan delapan ratus tahun Rumi di pelbagai negara, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Saudaraku, sumbangan terbesar para mistikus tersebut, sungguh sangat perlu engkau rayakan. Ruh atau spirit agama cinta terasa aktual demi menjawab kegaduhan umat beragama saat ini. Karena itu, pesan-pesan moral agama cinta ini mesti terus-menerus engkau sebarluaskan ke ruang publik melalui kanal-kanal media kreatif-visual supaya tetap menyala. [Deden Ridwan]