Saya tahu persis siapa Machado sebenarnya. Ia adalah wajah tersenyum dari mesin perubahan rezim Washington. Dia juru bicara yang rapi untuk sanksi, privatisasi, dan intervensi asing yang dikemas dengan label “demokrasi.” Politiknya berlumur kekerasan. Ia menyerukan intervensi militer asing, bahkan pernah secara langsung meminta bantuan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu — arsitek penghancuran Gaza — untuk “membebaskan” Venezuela dengan bom atas nama “kebebasan.”
Oleh : Michelle Ellner*
JERNIH– Ketika saya membaca judul berita, “Maria Corina Machado Memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian,” saya hampir tertawa meslki tak ada yang lucu soal itu. Saya hampir-hampir tertawa karena begitu absurdnya.
Tapi saya tidak bisa tertawa — sebab tak ada yang lucu dari memberi penghargaan kepada seseorang yang politiknya justru membawa begitu banyak penderitaan. Siapa pun yang tahu apa yang dia perjuangkan akan paham: tak ada sedikit pun yang “damai” dari politiknya. Jika inilah yang disebut “perdamaian” di tahun 2025, maka penghargaan itu telah kehilangan seluruh kredibilitasnya.
Saya adalah warga Venezuela-Amerika, dan saya tahu persis siapa Machado sebenarnya. Ia adalah wajah tersenyum dari mesin perubahan rezim Washington. Dia juru bicara yang rapi untuk sanksi, privatisasi, dan intervensi asing yang dikemas dengan label “demokrasi.”
Politiknya berlumur kekerasan. Ia menyerukan intervensi militer asing, bahkan pernah secara langsung meminta bantuan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu — arsitek penghancuran Gaza — untuk “membebaskan” Venezuela dengan bom atas nama “kebebasan.”
Ia juga mendesak penerapan sanksi — bentuk perang diam-diam yang dampaknya, sebagaimana dibuktikan berbagai studi, termasuk di The Lancet, telah menewaskan lebih banyak orang dibandingkan perang bersenjata: memutus akses obat, makanan, dan energi bagi seluruh rakyat.
Sepanjang karier politiknya, Machado menanamkan perpecahan, menggerogoti kedaulatan Venezuela, dan merampas hak rakyat untuk hidup bermartabat. Machado bukanlah simbol perdamaian atau kemajuan. Ia bagian dari aliansi global antara fasisme, zionisme, dan neoliberalisme — poros kekuasaan yang membenarkan dominasi dengan bahasa “demokrasi” dan “perdamaian.”
Inilah wajah asli María Corina Machado: ia turut memimpin kudeta 2002 yang sempat menggulingkan presiden terpilih secara demokratis, dan menandatangani Dekrit Carmona yang menghapus konstitusi serta membubarkan semua lembaga publik dalam semalam.
Ia bekerja erat dengan Washington untuk melegitimasi pergantian rezim, menggunakan panggung politiknya untuk menuntut intervensi militer asing demi “membebaskan” Venezuela lewat kekuatan senjata.
Ia bersorak mendukung ancaman invasi Donald Trump serta pengerahan kapal perang di Karibia — unjuk kekuatan yang bisa memicu perang regional dengan dalih “memerangi narkotrafik.” Saat Trump membekukan aset Venezuela, Machado siap menjadi proksi lokalnya, berjanji menyerahkan kedaulatan negaranya di atas nampan perak.
Ia mendorong sanksi ekonomi Amerika Serikat yang mencekik ekonomi Venezuela, sepenuhnya sadar siapa yang akan paling menderita: rakyat miskin, orang sakit, dan kelas pekerja.
Ia turut membangun apa yang disebut “pemerintahan sementara” — sandiwara politik dukungan Washington yang dijalankan oleh seorang “presiden” yang menjarah aset Venezuela di luar negeri, sementara anak-anak di dalam negeri kelaparan.
Ia berikrar untuk membuka kembali kedutaan Venezuela di Yerusalem, menyelaraskan dirinya dengan negara apartheid yang membombardir rumah sakit lalu menyebutnya “pertahanan diri.”
Kini ia bertekad menyerahkan minyak, air, dan infrastruktur negara kepada korporasi swasta — resep yang sama yang pernah menjadikan Amerika Latin laboratorium penderitaan neoliberalisme di tahun 1990-an.
Machado juga menjadi salah satu arsitek politik La Salida, kampanye oposisi tahun 2014 yang menyerukan eskalasi protes melalui taktik guarimba. Itu bukan “aksi damai” seperti diberitakan media asing; melainkan blokade terorganisasi yang melumpuhkan negara untuk menjatuhkan pemerintah. Jalanan dipenuhi sampah terbakar dan kawat berduri, bus pekerja dibakar, dan orang-orang yang dicurigai pendukung Chavista diserang bahkan dibunuh. Ambulans dan tenaga medis turut diserang; beberapa tim medis Kuba nyaris dibakar hidup-hidup. Gedung publik, truk makanan, dan sekolah dihancurkan. Seluruh lingkungan dicekam ketakutan — sementara Machado dan para pemimpin oposisi lain bersorak di pinggir jalan, menyebut kekacauan itu sebagai “perlawanan.”
Ia memuji tindakan “tegas” Trump terhadap apa yang disebutnya “kelompok kriminal,” berpihak pada orang yang sama yang memenjarakan anak-anak migran dan memisahkan keluarga di bawah pengawasan ICE — sementara para ibu Venezuela masih mencari anak-anak mereka yang hilang akibat kebijakan migrasi AS.
Jika Henry Kissinger bisa memenangkan Hadiah Perdamaian, mengapa tidak María Corina Machado? Mungkin tahun depan mereka akan memberikannya kepada “Yayasan Kemanusiaan Gaza” atas “belas kasih di bawah pendudukan.”
Di Venezuela, aliansi itu berarti kudeta, sanksi, dan privatisasi. Di Gaza, ia berarti genosida dan pemusnahan bangsa. Ideologinya sama: keyakinan bahwa sebagian hidup manusia bisa dikorbankan, bahwa kedaulatan bisa ditawar, dan bahwa kekerasan bisa dijual sebagai ketertiban.
Setiap kali penghargaan ini diberikan kepada arsitek kekerasan yang menyamar sebagai diplomat, penghargaan itu meludahi wajah mereka yang benar-benar berjuang untuk perdamaian: para tenaga medis Palestina yang menggali jasad dari reruntuhan, jurnalis yang mempertaruhkan nyawa di Gaza demi kebenaran, dan para relawan kemanusiaan armada Flotilla yang berlayar menembus blokade untuk mengantar bantuan bagi anak-anak yang kelaparan — hanya berbekal keberanian dan keyakinan.
Karena perdamaian sejati tidak dinegosiasikan di ruang rapat atau dipentaskan di panggung penghargaan.
Perdamaian sejati dibangun oleh perempuan yang mengorganisasi jaringan pangan di tengah blokade, oleh komunitas adat yang mempertahankan sungai dari eksploitasi, oleh para pekerja yang menolak dipaksa tunduk oleh kelaparan, oleh ibu-ibu Venezuela yang menuntut pemulangan anak-anak mereka yang ditahan di bawah kebijakan migrasi AS — dan oleh bangsa-bangsa yang memilih kedaulatan daripada perbudakan.
Itulah perdamaian yang layak dimiliki Venezuela, Kuba, Palestina, dan seluruh bangsa di Selatan Global. [ ]
*Michelle Ellner adalah koordinator kampanye Amerika Latin di CODEPINK. Ia lahir di Venezuela dan meraih gelar sarjana bahasa dan hubungan internasional dari Universitas La Sorbonne Paris IV, Prancis. Setelah lulus, ia bekerja dalam program beasiswa internasional di Caracas dan Paris, serta ditugaskan ke Haiti, Kuba, Gambia, dan berbagai negara lain untuk menyeleksi peserta program.
**Tulisan ini diterbitkan oleh Common Dreams di bawah lisensi Creative Commons [CC BY-NC-ND 3.0]. Anda bebas untuk memublikasikan ulang dan menyebarkannya secara luas.