Sama dengan kekuatan “pelet” yang hanya semusim dua musim. “Pelet” sehebat “Kukuk Mudik,” “Gambir Saketi”, “Kasemaran”, “Jaran Si Awat-Awat”, “Menjrag ing Jayakaton” dan lain-lain tak berumur pajang. Malah tak jarang, pemuda pengguna “pelet”, berhasil meraih pemudi pujaan hati, hanya sekadar pacaran saja. Jarang yang naik ke jenjang rumah tangga.
Oleh : Usep Romli HM
Kata “pahok” dalam “Kamus Basa Sunda” R.A. Danadibrata” (2008), bermakna gelap, silau. “Pipahokan” adalah jampi untuk membuat orang yang terkena sasaran, lupa dan linglung.
Sedangkan dalam khasanah ilmu hitam “pipahokan” merupakan jampi yang membuat orang pelupa. Sehingga mudah dikendalikan. Sebagai contoh, orang jahat tiba-tiba dianggap jujur dan berwibawa untuk dijadikan tokoh masyarakat atau pemimpin apa saja.
Menurut seorang mantan dukun ilmu hitam di kawasan pantai selatan Samudra Hindia, jampi “pipahokan”, termasuk salah satu “sihir” paling ringan dalam deretan “ilmu hitam” yang umumnya kejam, membahayakan raga dan jiwa korban yang dituju. Walaupun masih sejenis dengan ”teluh“ (samber nyawa), “ganggaong” (membutakan mata), “baraja” (muntah darah, gatal-gatal seluruh tubuh alias “kesrek”,“seuseup-uteuk” (membuat gila), “cugaklincar” (memasukkan paku, jarum, silet) ke dalam tubuh, dan sebagainya.
“Pipahokan” masih dapat dikatakan sihir yang “ramah kemanusiaan”. Setara dengan “pelet” (pengasihan). Walaupun dampak akibatnya, mungkin tidak berkemanusiaan, dan tidak beradab. Bayangkan, seorang figur jahat, amoral, tak peduli halal-haram, tiba-tiba menjelma menjadi “orang amat baik-baik”, rendah hati, sok moralis, karena menggunakan “pipahokan”. Membuat semua orang terpukau, terbius dan tak ragu memilihnya menjadi wakil rakyat, kepala desa, bupati, walikota dan seterusnya. Dan setelah mantap menduduki jabatannya, ternyata yang dipilih, salah. Kembali ke watak asli tanpa rasa malu. Hanya mengandalkan polesan pencitraan belaka.
“Pipahokan” juga sering digunakan orang-orang yang mengalami krisis rumah tangga. Suami-istri bertengkar hebat. Saling maki, saling ungkit kesalahan. Puncaknya, bercerai. Beberapa waktu kemudian, salah seorang di antara mereka, timbul penyesalan. Ketika mengajak “ruju” (menikah lagi), yang diajak menolak keras. Merasa sakit hati luar biasa waktu bertengkar habis-habisan.
Yang mengajak tak habis akal. Sesuai rumor “cinta ditolak, dukun bertindak”. Mengadu kepada dukun ilmu hitam untuk diberi jampi “pipahokan”.
Setelah “pipahokan” diamalkan sesuai petunjuk Ki Dukun, segera tampak kha-siatnya. Yang menolak diajak rujuk (biasanya pihak wanita), mulai melunak. Kebencian terhadap mantan suami, berangsur pudar. Segala caci-maki waktu bertengkar, hilang lenyap tak berbekas. Yang muncul, semua kemesraan yang pernah dicicipi bersama. Wajah sumringah, elusan lembut dan bisikan pelan penuh gairah. “Pipahokan” menyambungkan kembali ikatan rumah tangga yang telah berantakan. Mungkin tidak lama juga, Tergantung kekuatan “pipahokan” yang dimiliki.
Sama dengan kekuatan “pelet” yang hanya semusim dua musim. “Pelet” sehebat “Kukuk Mudik,” “Gambir Saketi”, “Kasemaran”, “Jaran Si Awat-Awat”, “Menjrag ing Jayakaton” dan lain-lain tak berumur pajang. Malah tak jarang, pemuda pengguna “pelet”, berhasil meraih pemudi pujaan hati, hanya sekadar pacaran saja. Jarang yang naik ke jenjang rumah tangga.
Hingga awal tahun 1970-an, ilmu hitam masih cukup bertahan. Namun makin ke sini, makin menyusut. Jumlah dukun terus berkurang. Terutama akibat sulit regenerasi dan pengaruh lingkungan.
Banyak anak-anak dukun ilmu hitam meninggalkan profesi turun temurun ayah atau kakeknya. Selain sulit memenuhi syarat yang harus ditempuh, antara lain banyak pantangan makanan, pakaian dan tingkah laku sehari-hari. Makanan semacam nasi ketan, sayur bersantan yang gurih-gurih, sangat terlarang. Karena akan nenjadikan ilmunya “cambal”. Tak berguna lagi.
Para dukun itu dibiasakan makan nasi basi, sambal “cahaha” (pedas teramat pedas), minum air dingin dengan cangkir “batok”. Lalab untuk mencoel sambel, harus yang kasar, seperti daun hampelas (empelas), serpihan bilik (dinding bambu) dll.
Juga setiap malam Jumat gelap bulan harus berziarah ke tempat keramat tertentu yang dianggap “sungil” (angker). Hingga awal 1970-an, para dukun teluh dari ber-bagai tempat di Jawa Barat, bahkan dari Lampung, suka ziarah berjamaah ke tengah Hutan Sancang di Cibalong, Garut, tidak jauh dari Guha Garogol yang dipercaya sebagai pemukiman Prabu Siliwangi setelah “ngahiang” secara misterius di hutan larangan itu. Di situ mereka berkumpul di bawah pohon “werejit” (pohon yang mengandung getah beracun), pada saat malam gelap pekat. Mengadakan upacara khusus, berupa ritual untuk memperkuat dan mempertajam ilmu mereka.
Namun setelah pohon “werejit” itu runtuh, kegiatan ritual lenyap. Seiring dengan lenyapnya para dukun itu. Ditambah pula, regenerasi para dukun terhambat berkat meluasnya lembaga pendidikan agama (Islam). Banyak anak cucu para dukun belajar di madrasah dan pesantren. Sehingga mereka mengetahui ilmu sihir amat dilarang oleh agama. Karena termasuk syirik, takhayul dan khianat.
Kasus pembantaian massal para dukun sihir, seperti pernah terjadi di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya tahun 1978 dan 1999, ikut juga mempengaruhi surutnya regenerasi.
“Pipahokan” mungkin masih ada dalam bentuk modern dan mutakhir, dengan lahirnya berbagai lembaga pemoles pencitraan. Mungkin untuk hal ini perlu penelitian khusus dan serius. [ ]
Diolah dari : “Folklore Kabupaten Garut” karya Tim Tahun Buku Intenasional 1972 Indonesia UNESCO.