Site icon Jernih.co

Prabowo-Gibran; Ngono Yo Ngono, Ning Ojo Ngono

Persoalannya, dihadapkan secara frontal dengan fakta keuzuran Prabowo, kampanye “kemudaan” Gibran bukan tidak mungkin menimbulkan persoalan. Mengapa di satu sisi memperlihatkan keinginan agar anak muda maju mentas dalam ajang kompetisi politik paling tinggi di negara ini; sementara di sisi lain memajukan calon  paling tua dalam sejarah bakal orang nomor satu republik ini? Tidakkah itu kontradiktif?

Oleh     :  Darmawan  Sepriyossa

JERNIH–Bagi kalangan pesantren, atau setidaknya mereka yang akrab dengan literatur Islam, wacana dukungan kepada Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, segera mengingatkan mereka kepada quotation Sayyidina Ali bin Abi Thalib. “Laisal fata man yaqulu kana abi,”kata murid langsung Nabi SAW itu. “Innal fata man yaqulu haa ana dja. Pemuda itu bukanlah orang yang selalu berkata,”Ini ayahku. Sesungguhnya pemuda adalah orang yang berkata,”Inilah aku.”

Darmawan Sepriyossa

Tentunya karena kalimat itu begitu bernas—termuat dalam Nahjul Balaghah, kutipan khutbah, pernyataan dan kata-kata mutiara Sayyidina Ali RA– maka musuh-musuhnya pun kadang mendakunya. Misalnya, ulama besar Al Itlidi (wafat 1100 H), dalam “I’lamun Nas Bima Waqa’a Lil Baramakah Ma’a Bani Al-‘Abbas”, menyatakan kalimat itu pernah diaku sebagai datang dari kisah Gubernur Al-Hajjaj, yang dalam tarikh Islam tercatat sebagai orang dekat Muawiyyah yang banyak menumpahkan darah.

Pada soal pencalonan Gibran, artinya kalangan ini telah memiliki semacam ‘kesangsian’ tersendiri, bahkan sebelum mereka menguji kualifikasi personal putra sulung Pak Jokowi tersebut. Semua karena latar belakang pernyataan Sayyidina Ali RA, yang memang rasional hingga masuk common sense mereka.

Tetapi lepas dari hal tersebut, sejatinya dukungan bagi pencalonan Gibran memang memiliki persoalannya sendiri.

Pertama, soal tagline “muda” yang tampaknya memang sengaja diangkat tinggi-tinggi dalam wacana pencalonan Gibran. Tidak ada yang menyangsikan bahwa publik umumnya menyukai tampilnya orang muda ke pentas. Apalagi ke pentas politik yang pada dekade ini justru mengarah ke jalan gerontokrasi—pemerintahan para uzur.

Persoalannya, dihadapkan secara frontal dengan fakta keuzuran Prabowo, kampanye “kemudaan” Gibran bukan tidak mungkin menimbulkan persoalan. Tidak bisa dinafikan bahwa dalam sejarah kepresidenan Indonesia, Prabowo adalah tokoh paling tua—72 tahun—yang mengajukan diri sebagai calon presiden.

Jadi adalah hal wajar manakala, misalnya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam satu videonya yang beredar luas mempertanyakan hal ini. Mengapa di satu sisi memperlihatkan keinginan agar anak muda maju mentas dalam ajang kompetisi politik paling tinggi di negara ini; sementara di sisi lain memajukan calon  paling tua dalam sejarah bakal orang nomor satu republik ini? Tidakkah itu kontradiktif? Tidakkah ada semacam kesiapan agar manakala orang nomor satu–karena alasan usia dan kesehatan—tak bisa lagi menjalankan tugas, wakilnya ini yang maju menyambut tongkat komando?       

Pertanyaan pertama itu karenanya sangat mungkin melahirkan pertanyaan lain, seputar kualifikasi calon muda yang tampaknya sangat dihasratkan Koalisi Prabowo tersebut. Misalnya, kalau pun memang ingin yang muda, bukankah banyak pula calon-calon muda lain yang juga dianggap publik telah menorehkan prestasi? Mengapa tidak—katakanlah—orang-orang seperti Ridwan Kamil  di Golkar, atau Bima Arya di PAN, sebagai tokoh dari partai anggota koalisi; atau mungkin para tokoh professional muda yang kapasitas dan kapabilitasnya pun sama-sama teruji? Bila hal itu sama sekali tidak digulirkan Koalisi Indonesia Maju, wajar kalau yang muncul di publik adalah kesan bahwa soal “muda” itu tak lain sekadar kilah. Target sebenarnya memang sudah pasti, Si dia anak siapa.   

Namun dari semua, tampaknya yang sangat melukai hati publik adalah dilibatkannya lembaga (tinggi) negara, Mahkamah Konstitusi (MK). Tampaknya soal ini pula yang membuat seniman pendukung berat Jokowi di masa lalu, Butet Kertaredjasa melayangkan surat pribadi kepada Jokowi, menyatakan kekecewaannya.

Tak hanya Butet, awal pekan lalu, ratusan tokoh, cendikiawan, wartawan dan budayawan, menyerukan kekecewaan itu pada sebuah pernyataan yang mereka sebut Maklumat Juanda. Di antara ratusan nama, terdapat para penyokong kuat naiknya Jokowi ke kekuasaan, yakni Goenawan Mohamad, Erry Riyana Hardjapamekas, Karlina Supelli, Allisa Wahid, Prof (Emeritus) Mayling Oey-Gardiner, Prof Sulistyowati Irianto, Prof Riris K. Toha Sarumpaet, Prof Daldiyono Hardjodisastro, Prof Manneke Budiman, Natalia Soebagjo, Oma Komaria Madjid, Betti Alisjahbana, Faisal Basri, Saiful Mujani, Todung Mulya Lubis, Ikrar Nusa Bhakti, Usman Hamid, F. Budi Hardiman, Ulil Abshar Abdalla, Joko Anwar, Laksmi Pamuntjak, Tosca Santoso, Ayu Utami, Sandra Hamid, Zumrotin K. Susilo, S. Indro Tjahjono, Pdt Saut Sirait, St Sunardi, dan sebagainya.

Intinya, mereka semua mempertanyakan sisi kepantasan dan kewajaran untuk melibatkan Mahkamah Konstitusi dalam proses bernegara yang terasa kental dengan aroma konspirasi itu.

Begitu sangitnya aroma konspirasi tersebut, sehingga di ruang public yang tercipta seiring berjalannya era digital banyak muncul pertanyaan-pertanyaan kritis. Misalnya, tidakkah ‘permainan’ itu tega digulirkan pihak-pihak tersebut karena kuatnya asumsi bahwa mayoritas warga tak lebih dari rakyat kecil yang bodoh?

Dengan asumsi yang merendahkan rakyat sendiri itu, masuk akal bila pihak-pihak tersebut terinspirasi negara tetangga Filipina, yang saat ini dipimpin Presiden Ferdinan Marcos Jr, putra diktator Filipina yang kabur dan mati di luar negeri, Ferdinan Marcos. Sementara wakil presiden negara itu saat ini adalah Sara Duterte-Carpio, anak presiden kontradiktif yang baru saja turun, Rodrigo Duterte.

Bila memang itu yang kini tengah diusahakan mengungkung rakyat Indonesia, seharusnya sudah tiba saatnya bagi kalangan terpelajar, kelas menengah dan para ulama-cendikiawan untuk menyadarkan rakyat. Untuk bergerak dan menegaskan bahwa tidak seharusnya kekuatan kekuasaan dan uang, terus menindas dan membodohi masyarakat.         

Pertanyaan lain publik juga layak tertuju kepada para pemimpin partai-partai politik. Lepas dari kemungkinan mereka ‘tersandera’ secara hukum, yang tak bisa diungkapkan karena memang proses hukumnya belum bergulir, kita juga patut mempertanyakan integritas mereka. Betapa para ketua parpol yang mulia itu tidak terlihat secara publik melawan ‘permainan’ yang ada. Kecuali Yusril, yang sempat mempertanyakan keputusan MK yang memungkinkan Gibran bisa di-atau mencalonkan diri, kemarin, di mata publik para ketua umum parpol lain sejatinya “meneng bae” atas rangkaian peristiwa yang bagi rakyat awam pun terasa ganjil ini.  

Ngono yo ngono…

Semua yang terjadi dalam pentas politik nasional belakangan ini akan wajar membuat orang-orang teringat pada kearifan budaya Jawa, “Ngono yo ngono, ning ojo ngono”, yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesa sederhananya “Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu”. Meski terkesan membingungkan, bagi orang Jawa ungkapan itu jelas dan tegas.

Ini sejatinya sebuah prinsip moderasi, pegangan untuk mengutamakan proporsionalitas dan berada di tengah-tengah. Orang Jawa sadar, senantiasa ada batasan-batasan dari sesuatu. Dalam literatur Muslim, hal seperti ini biasanya dikenal dengan istilah Wasatiyyah. Wasatiyyah memiliki pijakan kuat pada ayat Al-Quran tentang ummatan wasatha dalam QS Al-Baqarah ayat 143.

Para mufassir generasi pertama menyebut bahwa Islam sebagai ummatan wasatha,  antara spiritualisme Nasrani dan materialisme Yahudi. Sementara Ibnu Katsir menyebut bahwa ummatan wasatha merupakan citra ideal umat terbaik (khair al-ummah) sebagaimana yang termaktub dalam QS Ali Imran ayat 110. Dalam Islam, wasatiyyah pada intinya bermakna sikap tengah di antara dua ekstrem.

Hal itu sejalan dengan pemikiran ahli tafsir, Prof. M. Quraish Shihab. Bagi Quraish, Wasatiyyah adalah keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi dan ukhrawi, yang selalu harus disertai upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi objektif yang sedang dialami. Jadi, tidak sekadar menghidangkan dua kutub, lalu memilih apa yang ada di tengahnya. “Wasathiyyah adalah keseimbangan yang disertai dengan prinsip “tidak berkekurangan dan tidak juga berkelebihan”.

Jadi bila dibumikan,  prinsip “ngono yo ngono” itu  misalnya Anda hendak mencari materi duniawi, dan itu baik (ngono). Tapi jika Anda terlalu bernafsu, sehingga menghalalkan kasak-kusuk, menelikung, koruptif, hanya untuk mencari rezeki, ya janganlah begitu (ojo ngono).

Tampaknya bagi banyak orang, apa yang bergulir di pentas politik kita saat ini, sudah layak diteriaki kuat-kuat,”Ngono yo ngono….” [inilah.com]

Exit mobile version