Revolusi mental yang diimpikan Presiden Joko Widodo pada awal masa pemerintahannya kini tak lebih dari bayangan samar di kejauhan. Apa yang dulu diharapkan menjadi transformasi besar dalam cara berpikir dan bertindak pejabat publik kini hanya jargon kosong. Namun, pengangkatan Jenderal Kunto oleh Presiden Prabowo membuka kembali harapan akan realisasi visi ini.
Oleh : Radhar Tribaskoro*
JERNIH– Beberapa hari lalu, kabar tentang mutasi besar-besaran 300 perwira tinggi TNI menggema di berbagai media. Sebagaimana biasanya, publik dan para pengamat politik serta militer ramai-ramai berspekulasi, mencoba menafsirkan makna di balik perubahan ini.
Dua hal utama menjadi sorotan: pertama, tergesernya sejumlah perwira tinggi yang selama ini dianggap dekat dengan Presiden Jokowi dari posisi strategis; kedua, munculnya beberapa nama baru yang dinilai istimewa. Di antara mereka yang mencuri perhatian, satu nama bersinar lebih terang: Mayjen Kunto Arief Wibowo.
Kenapa Kunto istimewa?
Mayjen Kunto, kini letnan jenderal, dianggap sebagai figur yang tidak mudah diabaikan. Ia dikenal tidak hanya karena kapasitas militernya, tetapi juga keberaniannya dalam berbicara jujur, bahkan ketika itu berarti menantang status quo.
Pada 10 April 2023, Jenderal Kunto menulis sebuah artikel di Harian Kompas berjudul “Etika Menuju 2024”. Dalam tulisannya, ia secara kritis mengulas bagaimana narasi provokatif dalam politik telah menciptakan kemunduran moral di masyarakat. Ia juga memperingatkan dampak negatif dari fenomena ini terhadap pertahanan dan keamanan nasional.
Dengan nada penuh keprihatinan, Jenderal Kunto menyerukan agar partai politik mengambil langkah untuk memperbaiki keadaan. Namun, seperti yang ia sendiri akui, partai-partai politik saat itu sedang berada dalam kondisi tidak optimal. Dalam situasi hipotetis yang ia bayangkan, Kunto menyiratkan bahwa TNI mungkin perlu melangkah lebih jauh, mengambil peran yang lebih aktif untuk menjaga stabilitas bangsa.
Kritik semacam ini bukan tanpa risiko. Tulisannya dengan cepat dianggap sebagai ancaman terhadap kenyamanan elit politik. Dalam waktu singkat, hanya tiga bulan setelah artikel itu terbit, Jenderal Kunto dicopot dari jabatannya sebagai Pangdam Siliwangi, posisi bergengsi di TNI. Ia kemudian ditempatkan pada jabatan yang kurang strategis sebagai wakil komandan Kodiklat. Lebih dari setahun kemudian, ia dipindahkan lagi ke posisi staf ahli bidang ekonomi Setjen Wantannas, tanpa kenaikan pangkat.
Namun, perubahan nasib Kunto di era pemerintahan Presiden Prabowo sungguh kontras. Dalam langkah yang mengejutkan banyak pihak, Presiden Prabowo mengangkat Kunto menjadi Pangkogabwilhan I—sebuah jabatan yang memegang kendali atas puluhan ribu tentara, sekaligus memberinya kenaikan pangkat menjadi letnan jenderal. Banyak yang bertanya-tanya, apa makna dari keputusan ini?
Refleksi tentang figur pemimpin
Langkah Presiden Prabowo ini seolah mengirimkan pesan yang jauh lebih dalam daripada sekadar strategi pengangkatan pejabat militer. Ini adalah cerminan visi tentang figur pemimpin yang diidamkan. Sosok seperti Kunto adalah representasi dari pejabat publik yang berani berbicara jujur, memegang prinsip moral, dan mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Hal ini menjadi kontras yang mencolok dengan fenomena yang kita saksikan selama satu dekade terakhir, di mana loyalitas buta seringkali menjadi ukuran utama untuk promosi jabatan. Batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi seorang presiden pun kabur, menciptakan budaya birokrasi yang penuh kehati-hatian semu.
Namun, pertanyaannya adalah: bagaimana kita bisa membangun mentalitas pejabat publik yang seperti ini? Bagaimana kita bisa menumbuhkan karakter pemimpin yang berani dan berintegritas dalam sistem yang telah terlanjur terbiasa dengan konformitas?
Revolusi mental yang diimpikan Presiden Joko Widodo pada awal masa pemerintahannya kini tak lebih dari bayangan samar di kejauhan. Apa yang dulu diharapkan menjadi transformasi besar dalam cara berpikir dan bertindak pejabat publik kini hanya jargon kosong. Namun, pengangkatan Jenderal Kunto oleh Presiden Prabowo membuka kembali harapan akan realisasi visi ini.
Revolusi mental dalam konteks kepemimpinan publik bukan sekadar tentang mengganti individu-individu di posisi strategis. Ini adalah perubahan paradigma tentang bagaimana seorang pemimpin berpikir, bertindak, dan memengaruhi orang lain.
Kunto adalah contoh nyata dari figur yang mendobrak batas-batas yang ada. Dalam artikelnya di Harian Kompas, ia tidak hanya menunjukkan analisis tajam, tetapi juga keberanian untuk menyatakan pendapatnya meskipun tahu akan ada konsekuensi besar. Keberanian seperti inilah yang menjadi inti dari revolusi mental: keberanian untuk jujur, untuk berpikir kritis, dan untuk bertindak demi kepentingan yang lebih besar.
Visi manusia Indonesia
Apa yang dapat kita pelajari dari langkah Prabowo ini? Pada intinya, pengangkatan Kunto bukan hanya tentang seorang jenderal. Ini adalah pernyataan tentang visi manusia Indonesia yang diimpikan: sosok yang kuat, cerdas, berani, dan memiliki integritas.
Visi ini mengingatkan kita pada konsep homo socius, manusia yang memahami bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat yang lebih besar. Dalam setiap keputusan dan tindakannya, ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga dampaknya terhadap masyarakat.
Namun, menjadi homo socius bukanlah hal yang mudah. Sistem politik dan birokrasi kita seringkali memberi insentif pada individu yang bermain aman, yang memilih untuk menyesuaikan diri daripada menonjolkan karakter mereka. Untuk membentuk manusia Indonesia yang ideal, kita perlu membangun sistem yang memberi ruang bagi keberanian, inovasi, dan integritas.
Penempatan Kunto sebagai Pangkogabwilhan I adalah langkah strategis yang bisa berdampak besar pada masa depan kepemimpinan Indonesia. Dengan kendali atas kekuatan militer yang signifikan, ia berada di posisi untuk menunjukkan bagaimana prinsip moral dan keberanian dapat diterjemahkan ke dalam tindakan nyata.
Namun, tantangan yang dihadapinya tidaklah kecil. Ia harus mampu menavigasi dinamika politik yang rumit, menjaga profesionalisme di tengah tekanan, dan tetap setia pada prinsip-prinsip yang ia yakini. Jika ia berhasil, Kunto dapat menjadi teladan bagi generasi pemimpin berikutnya, tidak hanya di militer tetapi juga di sektor publik lainnya.
Apa yang kita harapkan?
Dalam konteks yang lebih luas, pengangkatan Kunto adalah momen reflektif bagi kita semua. Ini adalah undangan untuk bertanya: apa yang kita harapkan dari para pemimpin kita? Apakah kita ingin mereka menjadi individu yang hanya mengejar kenyamanan pribadi, atau mereka yang berani menghadapi risiko demi kebaikan bersama?
Dalam bayangan visi manusia Indonesia yang diimpikan, kita melihat sosok seperti Kunto. Ia adalah simbol dari harapan bahwa di tengah segala tantangan, masih ada pemimpin yang berani mengambil jalan yang sulit namun benar.
Langkah Prabowo ini bukan sekadar tentang politik atau strategi militer. Ini adalah pengingat bahwa, pada akhirnya, kepemimpinan adalah tentang keberanian untuk melayani, keberanian untuk bermimpi, dan keberanian untuk berubah.
Kita berharap bahwa sosok-sosok seperti Kunto tidak hanya muncul sebagai pengecualian, tetapi menjadi norma baru dalam kepemimpinan Indonesia. Karena hanya dengan begitu, kita bisa benar-benar membangun bangsa yang kuat, adil, dan bermartabat. []
- Peneliti dari The BRAIN Institute