Kedua, syahhun matho’un. Kekikiran akut. Buntut kasir cap jahe keked mengkene. Tak punya rasa murah hati kepada orang lain. Benci setengah mati terhadap kemurahan. Orang-orang miskin yang membutuhkan pertolongan, dianggap pengemis dan pemalas semua.
Oleh : H.Usep Romli HM
Pada diri manusia, terdapat tiga penyakit merusak. Pertama “I’jabul mar’i bi nafsihi”. Kagum kepada diri sendiri. Merasa paling hebat, paling pandai, paling ahli, paling bersih, dst., yang bagus-bagus.
Kedua, syahhun matho’un. Kekikiran akut. Buntut kasir cap jahe keked mengkene. Tak punya rasa murah hati kepada orang lain. Benci setengah mati terhadap kemurahan. Orang-orang miskin yang membutuhkan pertolongan, dianggap pengemis dan pemalas semua.
Ketiga, hawa’aun mattaba’un. Hawa nafsu menjadi ikutan. Hawa nafsu dimanjakan. Bukan dikendalikan. Setiap keinginannya dituruti.
Bulan Ramadan menjadi obat penawar penyakit itu. Puasa menumbuhkan rasa rendah hati. Koreksi diri. Sehingga kelemahan dan kekurangan nampak jelas. Manusia, siapapun dia, tak perlu megnugumi diri sendiri. Sebab apa-apa yang ada pada diri manusia itu, bukan buatannya. Melainkan anugerah Allah SWT yang telah menciptakan manusia dalam bentuk seindah-indahnya (Q.S At-Tin 4). Dari mulai ketampanan, kecantikan, kepandaian dan kekuatan, hingga atribut-atritu yang dimilikinya, seperti gelar, pangkat, jabatan, kekayaan, dlsb.
Itu semua titipan untuk disyukuri dan dimanfaatkan dalam koridor keimanan dan amal soleh. Bukan untuk dibanga-banggakan, dikagumi oleh diri sendiri atau semua orang. Sebab ciptaan indah itu, akan jatuh ke tempat buruk dan hina dina, jika disalahgunakan dengan menjadikan modal maksiat kepada Allah SWT (QS.At Tin : 5). Ketampanan dan kecantikan diobral untuk mengumbar hawa nafsu, Kepangkatan dan jabatan dijadikan alt untuk dzolim,korup, sewenang. Kekayaan untuk modal mengacaukan hidup dan kehidupan manusia sesuai keinginan ambisi pribadi. Semua akan runtuh jatuh. Kecuali bagi orang yangf beriman dan beramal soleh (QS At Tin : 6).
Puasa juga menumbuhkan sifat pemurah. Sifat dermawan. Suka menolong. Karena Ramadan disebut “Syahrul Jud”. Bulan kedermawanan. Disebut “Syahrul Muwasah”. Saat tepat memberikan pertolongan. Kebajikan dilipatgandakan ganjarannya menjadi sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat (hadis sahih Muslim). Sedekah itu menghapus dosa, ibarat air memadamkan api. (hadis riwayat Imam Turmudi).
Puasa identik dengan pengendalian hawa nafsu. Puasa merupakan perisai dari perkataan keji, buruk dan kampanye hitam tak berguna (hadis sahih riwayat Imam Bukhori). Tapi dengan sarat, puasanya baik dan benar. Tidak hanya sekedar menahan perut lapar dan dahaga. Seraya tetap tidak mengendalikan segala sumber keburukan melakui ucapan dan tindakan.
Laksakanlah puasa yang “imanan wahtisaban” (penuh keimanan dan mengharap pahala Allah SWT), sehingga semua anggota badan ikut berpuasa. Mulut tidak mengeluarkan kata-kata dusta dan provokatif. Mata tidak melihat kemaksiatan dan kerusakan. Telinga tidak mendengar suara hasutan, fitnah, adudomba. Tangan tidak melakukan tindakan-tindakan menyakitkan. Hati dan otak bersih dari segala yang rendah dan hina.
Jadikanlah puasa Ramadan sebagai kesempatan menghiasi jiwa dan raga, dengan segala hal yang utama dan terpuji. Murni dari segala sesuatu selain Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui . [ ]