Site icon Jernih.co

Radikal dalam Menghakimi Radikalisme

Ilustrasi

Beberapa kriteria ustadz radikal yang disampaikan juga terasa remang-remang dan dipaksakan. Satu di antara kriteria itu adalah anti-Pancasila. Dalam perspektif nasionalisme, tentu kriteria ini sah-sah saja. Tapi ancaman terhadap Pancasila memangnya hanya dari para ustadz? Bagaimana dengan mereka yang berpaham Komunis yang mengancam ketuhanan? Bagaimana pula dengan para koruptor yang merusak keadilan sosial dan kemanusiaan?

Oleh   :  Shamsi Ali*

JERNIH–Seringkali kita dengarkan istilah politisasi agama. Tentu yang dimaksud demikian adalah penggunaan atau pelabelan agama untuk kepentingan-kepentingan politik. Dengan kata lain, agama dijadikan obyek demi meraih kepentingan politik. Atau sebaliknya, isu agama juga sering dipakai untuk mengganjal lawan politik.

Shamsi Ali

Akibatnya, dalam penilaian tentang sesuatu atau seseorang tidak lagi berdasarkan nilai baik atau buruknya. Tapi lebih kepada kepentingan politik tertentu.

Contoh kecil, dalam busana, misalnya. Betapa larisnya baju-baju koko dan kopiah di musim-musim politik untuk berkunjung ke masjid-masjid dan majelis ta’lim. Juga banyak politisi wanita yang selama ini alergi dengan hijab, tiba-tiba berjilbab rapi.

Sebaliknya,tuduhan-tuduhan ekstremisme atau radikalisme kerap digaungkan di musim-musim politik. Tentu dimaksudkan untuk menekan dan mengganjal pihak-pihak tertentu yang dianggap gangguan bagi sebagian untuk mendapatkan kepentingan politiknya.

Sebaliknya, perilaku radikal dan intoleransi, yang dipertontonkan oleh sebagian orang atau sekelompok orang tertentu, dengan tanpa malu tetap saja dibiarkan. Bahkan  seolah dipelihara dan mendapat perlindungan.

Akibatnya konsep moderasi atau radikalisme menjadi aneh dan membingungkan. Moderasi menjadi seperti yang sering saya sampaikan berbentuk moderasi sepihak. Sebaliknya radikalisme juga menjadi terasa sangat dipaksakan pada pihak tertentu.

Jahatnya, kerap kali label radikal ini tidak berakhir pada tataran persepsi atau wacana semata. Tapi sering menjadi alat perangkap untuk menjerumuskan pihak-pihak tertentu atas nama keamanan dan loyalitas kebangsaan.

Saya kembali teringat peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Di mana saat itu kata radikalisme atau ekstremisme menjadi kata yang paling populer berdampingan dengan kata “terror”. Sehingga peperangan yang disebut “war on terror” ketika itu tidak bisa dilepaskan dari peperangan kepada mereka yang dilabel “kaum radikal”.

Belakangan opini tersebut semakin tergiring menuju kepada satu kelompok. Yaitu orang-orang Islam yang tidak setuju dengan kebijakan global Amerika dan sekutunya di berbagai belahan dunia, khususnya di Timur Tengah.

Tapi oleh pihak-pihak tertentu penggiringan opini semakin mengarah kepada umat Islam. Pada akhirnya apa yang disebut sebagai peperangan kepada teror atau “war on terror” tadi  berubah menjadi peperangan kepada umat Islam atau Islam (war on Islam).

Inilah sesungguhnya yang di kemudian hari yang diterjemahkan oleh Donald Trump dalam sebuah kebijakan “Muslim Ban” atau pelarangan orang Islam masuk Amerika. Dimulai dari tujuh negara, tapi tujuannya mengarah kepada pelarangan secara totalitàs orang-orang Islam untuk masuk Amerika.

Pada sisi lain, sejak Bush hingga Trump, ada pihak-pihak tertentu yang kemudian dilabeli “Muslim moderate”. Pelabelan itu bukan berdasar pada nilai moderasi itu sendiri. Tapi lebih kepada dukung mendukung untuk kepentingan politik global mereka.

Di zaman GW Bush misalnya, Saudi Arabia dijuluki sebagai negara/bangsa yang moderat. Saya masih ingat bagaimana Pangeran Bandar bin Sultan, dubes Saudi untuk AS ketika itu, begitu akrab dengan Presiden Bush. Padahal dari sekian yang dituduh sebagai pelaku serangan 9/11, mayoritasnya berkebangsaan Saudi Arabia.

Yang ingin saya sampaikan di sini adalah, ternyata penilaian radikal dan/atau sebaliknya moderat, itu banyak ditentukan oleh kepentingan, termasuk kepentingan politik. Dan pada akhirnya nilai moderasi atau sebaliknya radikalisme itu terasa kehilangan esensinya.

Hari-hari ini isu radikal kembali ramai dibicarakan. Banyak tokoh agama yang dimasukkan ke dalam deretan ustadz-ustadz radikal, yang pada umumnya tidak memiliki justifikasi yang jelas.

Beberapa kriteria ustadz radikal yang disampaikan juga terasa remang-remang dan dipaksakan. Satu di antara kriteria itu adalah anti-Pancasila. Dalam perspektif nasionalisme, tentu kriteria ini sah-sah saja. Tapi ancaman terhadap Pancasila memangnya hanya dari para ustadz? Bagaimana dengan mereka yang berpaham Komunis yang mengancam ketuhanan? Bagaimana pula dengan para koruptor yang merusak keadilan sosial dan kemanusiaan?

Hal lain, bahwa ustadz radikal itu sering mengafirkan. Mengafirkan sesama Muslim memang dilarang. Bahkan bisa saja yang mengafirkan itu terjatuh ke dalam kekafiran. Tapi mengafirkan mereka yang “tidak mengimani” ajaran Islam itu memang demikian adanya . Karena memang kata kafir berarti “tidak mengimani” alias mengingkari. Kata kafir dalam arti “tidak mengimani” inilah yang disebut dalam Al-Quran.

Islam sangat jelas dalam mengatur relasi pemerintah (raa’i) dan rakyat (ra’iyah). Islam sangat memperketat bolehnya rakyat untuk melawan pemerintah. Tapi Islam pada saat yang sama mengajarkan bahwa mengkritisi pemerintan dalam hal-hal yang salah menjadi kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Apalagi dalam tatanan negara demokrasi, pemerintah dikontrol oleh kekuasaan tertinggi (rakyat).

Isu lain adalah eksklusifitas yang juga menjadi rancu ketika dihubungkan dengan agama. Karena pada semua agama ada karakter eksklusif. Khususnya ketika bersentuhan dengan akidah dan ibadah ritual. Umat ini sadar bahwa membangun kesatuan dan ukhuwah itu penting. Baik ukhuwah imaniyah maupun wathaniyah. Tapi bukan berarti membuka batas-batas yang memang berbeda secara mendasar. Ada hal-hal eksklusif dalam beragama, dan itu tidak perlu dianggap tidak bersahabat. Apalagi dinilai radikal.

Demikian juga dalam hal budaya dan tradisi. Islam adalah agama universal. Karenanya Islam ada di seluruh belahan dunia. Mau atau tidak Islam akan bersentuhan dengan semua kultur dan budaya. Namun kehadiran Islam di sebuah lokalitas tidak merubah atau menghapus budaya lokal. Tapi lebih kepada mengoreksi atau membenarkan jika ada yang secara mendasar bertentangan dengan prinsip dasar ajaran agama. Itulah yang disebutkan dalam hadits: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak (maakarimal akhlak)”.

Oleh karena itu, kriteria-kriteria yang dijadikan alasan untuk menuduh sebagian ustadz radikal tidak jelas dan rentan membawa kepada penilaian sepihak. Dan tentunya yang paling mendasar dari semua ini adalah kenapa hanya ustadz-ustadz?  Bagaimana dengan pemimpin agama lain? Bagaimana para politisi yang korup? Bagaimana para pebisnis yang eksklusif dan mengancam keadilan sosial? Tidakkah mereka itu termasuk kaum radikal yang mengancam bangsa dan negara?

Saya hanya ingin mengatakan sudah masanya untuk semua menghentikan politisasi isu radikalisme. Selain hanya menambah keresahan dalam masyarakat, juga akan semakin mempertajam kecenderungan karakter  “we vs them” (kami lawan mereka).

Kecenderungan memecah belah atau ‘divide at impera’ ini juga jangan-jangan memang jadi bagian dari pelemahan umat dan bangsa itu sendiri? Karena sesungguhnya umat dan tokoh-tokohnyalah, termasuk para ustadz, yang menjadi tulang punggung ketahanan bangsa.

Kecurigaan-kecurigaan itu wajar saja terbangun karena sejak lama semakin terasa jika memang ada “hidden power” yang bermain dan bertepuk di balik layar. Semoga tidak! [  ]

Jamaica City, 8 Maret 2022

* Ustadz di Uncle Sam

Exit mobile version