Jernih.co

Rekor Tertinggi Impor Beras Sepanjang Sejarah; Untuk Apa?

CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v80), quality = 90

Betul, impor masih dibutuhkan karena target produksi tadi, kalaupun tercapai, terlalu mepet dengan kebutuhan konsumsi yang sekitar 31 juta ton. Masalahnya, ya itu tadi, untuk apa impor sebanyak itu jika tujuannya hanya sebagai penjaga stabilitas? Jujur saja, sepertinya memang belum ada politicall will yang serius dalam upaya meningkatkan produksi beras dalam negeri dan menghilangkan ketergantungan impor beras.

Oleh     :  Muhammad Nalar Al Khair

Peneliti Pangan, Desa, dan UMKM Sigmaphi Research

Sebuah rekor akan tercipta. Plt Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional (Bapanas) Sarwo Edhy dalam Rakor Pengendalian Inflasi Daerah, akhir Juni lalu, mengungkapkan, impor beras tahun 2024 akan sekitar 5,18 juta ton. Fantastis. Jika ini kejadian, maka angka itu akan menjadi rekor tertinggi impor beras sepanjang sejarah di Indonesia.

Selama ini, Indonesia tidak pernah mengimpor beras lebih dari 4 juta ton dalam setahun. Di tahun 1998, di masa akhir pemerintahan Presiden Soeharto, impor beras mencapai 2,8 juta ton dan kemudian bertambah menjadi 3 juta ton, pada 1999, di era Presiden Habibie. Ketika itu krisis ekonomi tengah menggila. Impor didatangkan dalam jumlah besar demi memastikan pasokan domestik berlimpah dan harga bisa ditekan.

Pada era Presiden Gus Dur, impor beras tercatat hanya 644 ribu ton dan di era Presiden Megawati sebesar 1,8 juta ton. Loncat ke tahun 2011, di masa Presiden SBY, impor beras kembali mencuat hingga 2,7 juta ton. Angka tak pernah terlewati hingga 12 tahun setelahnya, di tahun 2023, ketika Presiden Jokowi meneken impor beras sebanyak 3 juta ton. Alasannya karena terpaan el nino. Kala itu, seluruh negara mengalami pukulan kuat sehingga produksi beras dunia anjlok.  Namun, setelah el nino berlalu, rencana impor beras tahun 2024 justru meningkat 68 persen hingga 5 juta ton itu tadi.

Sebegitu parahnyakah produksi pertanian kita sehingga pemerintah perlu mengimpor beras sebanyak itu?  Bukankah Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, 13 Maret 2024, sudah menargetkan produksi beras 2024 sebesar 32 juta ton? Bukankah target itu masih lebih tinggi 3,22 persen dibandingkan realisasi produksi beras tahun 2023 yang sekitar 31 juta ton?  Kenapa ketika target produksi 2024 lebih tinggi dari realisasi 2023, impornya justru malah meningkat tajam?  Bukankah pertumbuhan konsumsi tidak terlalu besar, paling banter setara pertumbuhan populasi yang hanya 1,11 persen per tahun?

Betul, impor masih dibutuhkan karena target produksi tadi, kalaupun tercapai, terlalu mepet dengan kebutuhan konsumsi yang sekitar 31 juta ton. Untuk amannya, impor diperlukan guna memastikan stabilitas pasokan dan stabilitas harga di pasar domestik. Masalahnya, ya itu tadi, untuk apa impor sebanyak itu jika tujuannya hanya sebagai penjaga stabilitas?

Jangan-jangan, ada yang salah dengan data produksi dan konsumsi kita. Buktinya, ketika impor jalan terus sejak beberapa tahun silam, dalam jumlah yang cukup besar, harga beras terus saja naik. Harga biasanya tak pernah bohong. Ketika ia naik, penyebabnya cuma dua: permintaan bertambah atau pasokan yang cekak. Sekali lagi, konsumsi beras cenderung tetap. Orang tidak akan serta merta makannya bertambah sangat banyak meski pendapatannya besar. Sepertinya, kenaikan harga belakangan ini memang dilatari oleh produksi yang seret.

Hingga pemerintah pun resmi menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras baik medium maupun premium sejak Maret 2024. Awalnya cuma kenaikan sementara, lalu diresmikan sejak 1 Juni 2024. Untuk Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan, harga beras medium menjadi Rp 12.500 per kg—dari  yang sebelumnya Rp 10.900 per kg. Beras premium naik dari Rp 13.900 per kg menjadi Rp 14.900 per kg. Itu artinya kenaikan harga mencapai Rp.1.000-Rp.1.600 per kg.  Cukup signifikan.

Selain karena pasokan terbatas, besarnya volume impor kerap terjadi musiman, jelang pergantian kekuasaan. Di masa berakhirnya Orde Baru, impor beras terbilang banyak. Begitu pula di ujung transisi reformasi, tahun 2004. Pada tahun 2013, pemerintah mengimpor beras 472 ribu ton. Angka  itu melesat 79 persen pada 2014, ketika terjadi peralihan kekuasaan dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi,  menjadi 844 ribu ton. Kini, impor besar-besaran muncul menjelang pergantian pemerintahan dari Presiden Jokowi ke Presiden (terpilih) Prabowo Subianto.

Di masa Presiden  Jokowi, kebutuhan pemerintah akan beras memang lebuh besar karena pemerintah memiliki program bantuan pangan beras sebesar 10 kg per dua bulan untuk 22 juta keluarga. Program itu masih akan berlanjut sampai Desember 2024 nanti. Namun, kebutuhan total bansos beras selama 2024 hanya 1,3 juta ton–dan itu jelas mengurangi permintaan beras kaum miskin dalam jumlah yang kurang lebih sama. Jadi, program bansos belum menjawab pertanyaan mengenai besarnya volume impor yang diperlukan selama 2024 ini.

Bahwa tahun 2024 ini ada ancaman cuaca ekstrem dan la nina, itu juga jangan dibikin alasan. Cuaca ekstrem sudah terjadi cukup lama sehingga antisipasi mestinya sudah bisa dilakukan, la nina yang kerap datang setelah el nino juga bukan barang baru. Pernah terjadi di tahun 1997 – 1998 dan 2015 – 2016. Kalau ada upaya adaptasi dan mitigasi, itu semua tak perlu membuat impor terlalu melonjak. 

Jujur saja, sepertinya memang belum ada politicall will yang serius dalam upaya meningkatkan produksi beras dalam negeri dan menghilangkan ketergantungan impor beras. Upaya seperti reforma agraria belum membuahkan hasil. Begitu juga dengan program food estate yang seolah hilang arah. Infrastruktur pertanian juga belum banyak terbangun—dan yang ada sulit teroptimalkan.

Bahkan program pupuk subsidi saja selalu menimbulkan masalah.  Penyalurannya kerap terlambat ketika petani tidak bisa mundur dalam waktu pemupukannya. Petani juga sulit melakukan klaim pupuk subsidi karena kartu tani fisik belum terintegrasi dengan kartu tani digital. Bejibun pula petani yang mengusahakan lahan di bawah 2 hektare yang belum mendapat akses pupuk subsidi. Mestinya, hapus program pupuk subsidi ini. Asalkan, pemerintah bisa menjamin bahwa padi petani akan dibeli seluruhnya dengan harga yang pantas, misalnya Rp 8.000 per kg. Biarkan petani membeli pupuk secara bebas.

Selama ini, pupuk subsidi hanya menjadi bancakan. Untunglah petani kita cukup cerdas mengatasinya. Di Tahun 2019, realisasi penyaluran pupuk subsidi masih 8,5 juta ton. Pada 2022, angkanya turun menjadi 7,5 juta ton. Tapi, kendati penyaluran pupuk subsidi turun 1 juta ton, produksi beras 2022 malah naik menjadi 31,5 juta ton–dari 31,3 juta ton di 2019.

Presiden (terpilih) Prabowo Subianto sudah berjanji akan mencapai swasembada pangan dalam empat tahun pertama pemerintahannya. Tentu saja, janji itu bisa diupayakan. Namun, swasembada tidak akan jatuh seketika dari langit. Perlu penahapan pasti dalam pencapaiannya—dan itu harus dimulai dari tahun ini juga.  Jangan sampai tercipta rekor baru impor beras karena itu akan sangat riskan. Apalagi jika kurs rupiah terus terdepresiasi. Jangan sampai nasib perut rakyat kita tergantung pada sawah di negeri orang.

[INILAH.Com ]

Exit mobile version