Ketika Prof Haedar Nashir menyampaikan kritik terkait UU Omnibuslaw Ciptaker. Beliau mengatakan,”Sekali pemerintah dan DPR berkehendak, maka tak ada kekuatan apa pun yang dapat mencegah dan menghentikannya. Dan mungkin suara Tuhan pun, tak akan didengar,”ujarnya.
Oleh : Deni al Asyari*
JERNIH– Sejak pergantian kepemimpinan Muhammadiyah dari Bapak KH Ahmad Azhar Basyir (1994), Muhammadiyah secara bergantian dipimpin oleh para tokoh dengan latar belakang profesor (akademisi).
Sebut saja mulai kepemimpinan Prof Amien Rais (1995 ), Prof A. Syafii Maarif (1998), Prof Din Syamsuddin ( 2005 ), hingga Prof Haedar Nashir ( 2015 ), semua berlatar belakang guru besar dari masing-masing kampus yang berbeda.
Dalam membaca relasi Muhammadiyah dan negara, empat kepemimpinan di bawah masing-masing guru besar ini, juga memiliki corak, gaya dan irama yang berbeda. Walau secara substansi, sesungguhnya sama. Karena, Muhammadiyah dalam tindakan dan kebijakannya, tidak lepas dari khittah perjuangannya dan pedoman hidup Islami dalam berorganisasi.
Bagi sosok Prof Amien Rais, Relasi Muhammadiyah dan Negara cenderung bersifat oposisi biner. Dalam arti, Prof Amien Rais meletakkan Muhammadiyah sebagai kekuatan Civil Society dalam memperkuat demokrasi. Maka, tidak heran, sejak dulu hingga saat sekarang, beliau tidak pernah absen dari mengkritik pemerintah ( rezim ) yang berkuasa. Sekalipun rezim itu didukung oleh beliau langsung. Karena tanpa kontrol yang kritis, negara bisa saja salah arah. Maka Muhammadiyah sebagai kelompok Civil Society, sangat penting menunjukkan konsistensinya mengawal jalannya pemerintahan.
Sedangkan bagi Prof A Syafii Maarif, menempatkan relasi Muhammadiyah dengan negara lebih akomodatif-Kritis. Artinya, dalam satu moment, Muhammadiyah akan berikan kritik dan presure, namun pada sisi lain, Muhammadiyah juga akomodatif terhadap negara. Sebab, Prof A Syafii Maarif, meyakini, bahwa Muhammadiyah terlahir bukan disiapkan untuk mengurus negara, melainkan untuk mengurus kehidupan sosial dan keagamaan yang bersifat kultural.
Tidak jauh berbeda dengan pandahulunya, Prof Dien Syamsuddin, juga cenderung menempatkan relasi negara dan Muhammadiyah, sebagai relasi kritis-konstruktif. Muhammadiyah dalam konteks ini, lebih diposisikan sebagai gerakan balancing atau penyeimbang bagi kekuatan negara.
Karenanya, bagi Prof Dien Syamsuddin, Muhammadiyah bukan saja perlu menjaga jarak yang sama dengan politik, namun juga perlu menjaga kedekatan yang sama dengan semua kekuatan politik. Sebab ada saatnya Muhammadiyah harus mengkritik dan ada kalanya Muhammadiyah harus menerima, jika itu diangap baik bagi bangsa.
Prof Haedar Nashir, walaupun dilihat sedikit berbeda, namun di tangan beliaulah tradisi kepemimpinan Muhammadiyah dalam membangun relasi dengan negara, diramu dengan baik. Mungkin sebagian terlihat relasi Muhammadiyah dan negara lebih akomodatif, namun jika dicermati sesungguhnya tidaklah demikian. Justru pola yang dibangun tidak jauh berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya, yaitu dengan meramu tiga pendekatan sebelummya, dengan model relasi yang bersifat kritis-konstruktif-akomodatif.
Hanya saja, Prof Haedar Nashir memiliki gaya tersendiri. Bagi Haedar, membangun bukan dengan cara merusak, mengingatkan, bukan dengan cara menjaga jarak, meluruskan bukan dengan cara membuat kegaduhan. Selain tetap melakukan komunikasi-komunikasi langsung dan resmi dalam menyampaikan masukan dan kritik, Prof Haedar juga tidak jarang, melakukan kritik dengan gaya yang lebih teduh, santun tapi tajam.
Sebagai contoh yang mutakhir misalnya, ketika Prof Haedar Nashir menyampaikan kritik terkait UU Omnibuslaw Ciptaker. Beliau mengatakan,”Sekali pemerintah dan DPR berkehendak, maka tak ada kekuatan apa pun yang dapat mencegah dan menghentikannya. Dan mungkin suara Tuhan pun, tak akan didengar,”ujarnya.
Kalimat ini, walau pun terkesan datar, namun sangat tajam dan menghunjam orang yang dikritik. Dan inilah pola serta gaya dari Prof Haedar. Namun tidak jarang juga, Prof Haedar menyampaikan kritik dan masukan secara langsung kepada pihak terkait untuk menyampaikan apa yang menjadi aspirasi umat.
Namun, secara keseluruhan, empat guru besar dalam memimpin Muhammadiyah, sama-sama menempatkan Muhammadiyah dalam relasinya dengan negara sebagai relasi yang kritis, konstruktif dan akomodatif. Karena Muhammadiyah tidak punya kepentingan secara pragmatis dan struktural politik dengan kekuasaan. Melainkan, kepentingan yang lebih besar untuk anak bangsa dan kemakmuran negeri tercinta ini.
Jadi jika dibaca secara jernih, empat tokoh yang pernah dan sedang menakhodai Muhammadiyah ini, mereka adalah orang-orang yang tulus ingin membangun negeri ini. Dan yang perlu juga diketahui, bahwa beliau semua terlahir dan besar dari “rahim” yang sama, yaitu Majalah Suara Muhammadiyah.
Semoga beliau semua selalu dalam lindungan Allah swt dan sehat walafiat. [ ]
*Refleksi dan analisis pribadi sebagai pimred Suara Muhammadiyah