Site icon Jernih.co

Renungan Deden Ridwan: Belajar Lurus dari Jenderal Hoegeng

Hoegeng membuktikan bahwa jujur tak menjadikan seseorang kecil. Justru di sanalah letak kebesaran manusia. Sederhana tidak berarti kalah. Integritas adalah warisan yang usianya lebih panjang daripada bangunan mewah atau angka saldo. Hoegeng memilih menjaga api itu sampai akhir hayatnya–api yang tak membakar, melainkan menerangi; api yang menjadikannya sederhana, jujur, dan tak tergoyahkan.

JERNIH– Saudaraku. Ada satu nama yang selalu datang menghampiri ingatanku. Kadang di meja kerja, di antara tumpukan kertas yang dingin dan kaku. Kadang di jalanan bising, di tengah lalu-lalang manusia yang sibuk mengejar uang. Kadang di malam-malam lengang, ketika aku mencari pegangan moral.

Nama itu: Hoegeng. Ya, nama lengkapnya: Jenderal Polisi Drs. Hoegeng Iman Santosa. Sosok yang oleh banyak orang disebut sebagai polisi paling jujur. Barang langka. Milik bangsa ini.

Kita sering mendengar lelucon getir: “Cuma ada tiga polisi jujur–patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.” Kata-kata Gus Dur itu diucapkan dengan nada guyon, tetapi sesungguhnya menyimpan luka kolektif bangsa. Kita tertawa, tapi di relung hati terdalam sadar: itu sindiran yang lebih tajam dari seribu kritik. Jika benar hanya ada “tiga”, betapa mahalnya harga kejujuran di ufuk negeri ini.

Aku membayangkan Hoegeng duduk di kursi Kapolri. Berpakaian dinas lengkap, dengan pangkat, atribut, dan tongkat komando. Ruangan besar. Telepon berdering. Tumpukan berkas di meja. Lalu seseorang–entah pengusaha, entah utusan–datang membawa koper berisi uang, dengan senyum penuh isyarat.

“Pak, ini sekadar tanda terima kasih…”

Hoegeng menatapnya datar. “Bawa pulang saja. Aku tak butuh itu.”

Tak ada basa-basi. Tak ada senyum palsu. Hanya garis lurus–tegak, tenang, tak tergoyahkan.

Ketahuilah. Yang membuatku tertegun bukan semata keberaniannya menolak suap, melainkan cara ia menjalani keseharian. Rumahnya kecil. Mobilnya sederhana. Istrinya tetap menyiapkan sarapan dengan tangan sendiri.

Suatu hari, sang anak bertanya lirih, “Pak, mengapa rumah kita sederhana sekali. Teman-teman lain bangga, ayah mereka punya rumah besar.”

Hoegeng menjawab dengan senyum tipis, “Biarlah begitu. Yang penting, kita tidak makan uang haram.”

Jawaban itu seperti palu mengetuk jantungku. Membuatku berpikir keras: apa arti semua yang kita kejar, bila akhirnya warisan kita hanyalah rasa malu dan noda?

Bertahun-tahun setelah ia tiada, nilai itu dihidupkan kembali lewat sebuah penghargaan bernama Hoegeng Awards yang digagas Mabes Polri. Sebuah upaya merawat api keteladanan: bahwa integritas bukan dongeng, melainkan kenyataan yang mesti terus dijaga.

Setiap kali mendengar kisah para penerimanya, aku terenyuh. Rupanya, benih-benih Hoegeng masih tumbuh di hati bangsa ini.

Lihatlah Iptu Andi Sri Ulva Baso, perwira muda yang menciptakan “meja tanpa laci” di ruang pelayanan publik. Terobosan sederhana, namun mengguncang: ia menghapus ruang bagi pungli. Atasannya bahkan berkata, “Waktu awal melihat gebrakannya Ulva, saya tak menyangka anak ini mampu membuat terobosan di lembaga yang–menurut kita waktu itu–agak sulit bicara pencegahan korupsi.” Integritas bisa bermula dari satu meja kosong, dari keberanian kecil untuk berkata: cukup sampai di sini.

Ada pula Brigjen Arief Adiharsa, salah satu kandidat Hoegeng Awards, yang berpesan: “Jaga integritas dengan terapkan rasa malu berbuat salah.”  Betapa sederhana, betapa dalam.

Akar integritas bukan sekadar aturan atau sanksi, melainkan rasa malu–rasa yang membuat kita enggan berkhianat meski tak seorang pun mengawasi.

Lalu Aipda Rahmad Muhajirin, Bhabinkamtibmas di Bojonegoro, penerima Hoegeng Awards 2025. Ia bukan polisi panggung, melainkan polisi jalanan–lebih dekat dengan rakyat kecil daripada dengan pejabat. Dalam sebuah wawancara ia berkata pelan: “Saya tidak ingin sekadar disebut teladan, tapi ingin hidup nyata di tengah rakyat.” Kalimat itu menyalakan api di dalam dadaku.

Integritas bukan sekadar penghargaan, melainkan keberanian untuk hidup sederhana, jujur, dan dekat dengan rakyat–apa pun risikonya.

Integritas sering menjadi jargon, tetapi pada Hoegeng dan para penerusnya, ia telah menjelma darah-daging. Bukan teori moral yang dingin, melainkan napas harian penggerak jiwa.

Aku pun bertanya kepada diriku sendiri: bila aku yang duduk di kursi itu, beranikah menolak koper berisi uang itu? Aku terdiam. Terpekur. Tak ada jawaban.

Sadarlah. Godaan itu hadir bukan hanya bagi pejabat, melainkan bagi kita semua–dalam hal-hal kecil yang sering dianggap sepele. Saat kita membiarkan yang salah dengan alasan, “toh semua orang juga begitu.”

Di situlah gema suara Hoegeng kembali terdengar: “Kalau kau menggadaikan integritas demi kenyamanan, apa arti hidupmu?” Aku membayangkan negeri ini dipenuhi orang-orang yang menempuh jalan lurus seperti Hoegeng.

Pejabat lebih sibuk menjaga nama daripada menambah harta. Pemimpin merasa lebih mulia hidup sederhana daripada kaya dari noda. Orangtua mewariskan kehormatan, bukan rekening.

Terdengar mustahil, barangkali. Namun sejarah selalu digerakkan oleh mereka yang berani dianggap aneh. Melawan arus.

Hoegeng membuktikan bahwa jujur tak menjadikan seseorang kecil. Justru di sanalah letak kebesaran manusia. Sederhana tidak berarti kalah. Integritas adalah warisan yang usianya lebih panjang daripada bangunan mewah atau angka saldo.

Jejak itu masih ada–bukan semata kisah masa lalu, melainkan arah bagi masa depan.  Hoegeng bukan hanya nama dalam buku sejarah. Ia cermin yang menatap balik ke wajah kita, sambil bertanya lirih namun tegas: “Maukah kau tetap lurus ketika dunia di sekitarmu bengkok?”

Kejujuran bukan warisan yang bisa diturunkan seperti harta, melainkan api kecil yang mesti dijaga: bisa padam oleh angin kompromi, tetapi bisa pula menyala abadi bila terus dipelihara.

Hoegeng memilih menjaga api itu sampai akhir hayatnya–api yang tak membakar, melainkan menerangi; api yang menjadikannya sederhana, jujur, dan tak tergoyahkan.

Saudaraku, renungkanlah. Api itu kini berada di tangan kita–entah dibiarkan padam, entah dirawat agar terus menyala. Maka tanyakanlah pada dirimu: ketika langkahmu berhenti, akankah namamu tinggal sebentuk noda yang lekas terhapus, atau tetap sebagai jejak berkilau di jalan sejarah? [ ]

Exit mobile version