Site icon Jernih.co

Renungan Deden Ridwan: Mama Amin, Obor Sunyi dari Tegalpanjang

Namanya K.H. Aminullah Zakaria al-Anshori. Lebih dikenal sebagai Mama Amin. Di lidah rakyat: Mama Ajengan Tegalpanjang. Sebutan “mama” bukan sembarangan. Itu pengakuan atas ilmu dan akhlaknya. “Kalian bukan hanya mengusung senjata,” ucap Mama Amin. Lirih namun tegas. “Kalian mengangkat kehormatan umat-bangsa. Berjihad di jalan suci. Jangan takut mati. Takutlah pada hidup yang sia-sia.”

JERNIH– Saudaraku,

Di peta Jawa Barat, Babakan Tegalpanjang hanyalah titik kecil di utara Sukabumi. Berlokasi di Desa Priangan Jaya, Kecamatan Sukalarang. Kampung mungil yang dirintis seorang ulama. Mungkin tak tercatat di Google. Namun ia hidup di hati para santri.

Bagiku, Tegalpanjang adalah denyut sunyi yang menyimpan bara sejarah. Rumah-rumah kayu. Sawah-sawah menghampar. Kebun-kebun rimbun. Aliran sungai menggelegar. Kabut pagi yang setiap hari seperti mengajarkan kesabaran. Dari tanah ini, seorang ulama kharismatik menyalakan api yang tak pernah padam.

Namanya K.H. Aminullah Zakaria al-Anshori. Lebih dikenal sebagai Mama Amin. Di lidah rakyat: Mama Ajengan Tegalpanjang. Sebutan “mama” bukan sembarangan. Itu pengakuan atas ilmu dan akhlaknya. Apalagi ia adalah cucu Syaikh Tubagus Muhammad Hussain Cimuncang: garis “darah biru” yang melahirkan banyak ulama di Jawa Barat, khususnya Sukabumi.

Beliau hidup di dua samudera: ilmu dan perlawanan. Namun jalannya bukan jalan ramai. Bukan rapat akbar. Bukan bendera partai. Bukan Munaslub. Mama Amin memilih jalan senyap. Mengajar. Membina. Berdoa yang membakar jiwa.

Sebaliknya, sahabat karibnya, K.H. Ahmad Sanusi, memilih jalur politik dan organisasi. Ajengan Sanusi berdiri di “Poros Cantayan”. Memimpin gerakan. Menghadapi penjajah. Dari kubah Masjid Pesantren Gunung Puyuh hingga ruang sidang BPUPKI. Mama Amin berdiri di “Poros Gentur” bersama Ajengan Syatibi. Menguatkan umat dari dalam. Tanpa hingar-bingar panggung.

Bagi sebagian orang, beda jalan melahirkan perkelahian. Tapi bagi mereka berdua, persahabatan jauh lebih kokoh dari perbedaan. Tak ada jurang. Mereka sering duduk di beranda. Berkelakar atau bercanda. Menyeruput kopi. Membicarakan umat dan bangsa.

“Sanusi,” kata Mama Amin suatu sore, “Engkau menempuh jalan ramai. Aku menempuh jalan sunyi. Tapi bukankah kita menuju mata air yang sama?”

Ajengan Sanusi tersenyum. “Benar, Amin. Sungai-sungai kita akan bertemu di laut kemerdekaan. Penjajah ini harus diusir. Tak boleh ada celah sejengkal pun mereka kembali.”

Ketahuilah. Tahun 1947. Agresi Militer I Belanda  mencekam udara Sukabumi. Pun Tanah Air pada umumnya. Tentara KNIL menatap setiap wajah dengan curiga. Rumah kayu Mama Amin menjadi markas rahasia pejuang Hizbullah dan Sabilillah.

Malam-malam, para pejuang datang mengetuk pintu dengan kode yang hanya mereka mengerti. Di dalam, lampu teplok menerangi wajah letih. Namun tetap tersenyum. Tetap bahagia.

“Kalian bukan hanya mengusung senjata,” ucap Mama Amin. Lirih namun tegas. “Kalian mengangkat kehormatan umat-bangsa. Berjihad di jalan suci. Jangan takut mati. Takutlah pada hidup yang sia-sia.”

Ia memberi mereka doa. Nasihat. Pun logistik seadanya: beras, kopi, gula. Semua dilakukan di bawah mata-mata Belanda yang mengendus setiap langkah.

Simaklah. Sampai pada subuh muram, rahasia itu pecah. Tentara KNIL mengepung. Rumah disiram bensin. Api menjilat dinding. Merambat ke rak kitab. Ribuan kitab–buah cinta ilmu puluhan tahun–terbakar habis. Bau kertas hangus bercampur kain. Menyayat hati. Api itu, kata orang, tak padam selama dua minggu.

Mama Amin digiring ke penjara. Namun kisah yang diwariskan dari mulut ke mulut mengatakan: beliau berkali-kali lolos. Entah karena kelengahan penjaga. Entah karena pertolongan Sang Mahacinta, Penguasa Semesta.

Catatlah. Jauh sebelum itu, pemerintah Hindia Belanda memberinya Akte Pengakuan Ulama (Erkenning van Inlandsche Geestelijke Leider). Dokumen penting ini mengakui otoritas ilmunya. Namun di baliknya ada belenggu. Salah satu pasalnya: dilarang memberontak, membantu pejuang, atau memobilisasi rakyat melawan Belanda.

Bagi sebagian orang, akte itu alasan untuk diam. Tapi bagi Mama Amin, akte itu tameng. Sesekali ia tunjukkan pada pejabat kolonial. Namun di balik itu, ia melanggar semua larangannya: membantu pejuang, menguatkan rakyat, mengirim logistik, memobilisasi doa. Sampai Belanda sadar. Membalas dengan api yang menghanguskan rumah dan kitab-kitabnya.

Renungkanlah. Mama Amin mengajarkan bahwa tidak ada jalan perjuangan yang lebih mulia dari jalan lain, selama tujuannya sama: kemerdekaan, keadilan, dan kemaslahatan umat. Jalan ramai atau jalan sunyi. Panggung politik atau sajadah doa. Yang membuatnya luhur adalah keikhlasan dan keberanian.

Di zaman ini, ketika perbedaan jalur sering menjadi alasan saling merendahkan, bahkan saling mengafirkan, Mama Amin dan Ajengan Sanusi memberi teladan mulia: sungai-sungai berbeda pun bisa bermuara di laut yang sama. Maka, jangan pertajam perbedaan. Perkuat persamaan. Demi memuliakan sesama manusia.

Pesantren Tegalpanjang mungkin hanya titik kecil di peta. Tapi dari titik itu, seorang ulama mutabahhir menyalakan obor sunyi. Obor yang mengubah ego menjadi pengabdian. Membakar takut menjadi berani. Obor itu masih menyala. Jika kita mau melihatnya. Dan mau menyalakan kembali pelita di hati kita. Bahkan sekarang pun.

Sebagai penutup, izinkan mengutip kata-kata Mama Amin yang sangat bertenaga. Menggetarkan sekaligus membekas di hati mereka yang mengenalnya:

“Cinta kepada Allah itu menuntut kita mencintai manusia. Dan cinta kepada manusia itu memaksakan kita berani melawan kezaliman. Kalau cinta hanya diam, ia bukan lagi cahaya, melainkan abu. Agama adalah cinta yang bergerak.”[ ]

Exit mobile version