Sejarah pisau ini erat kaitannya dengan salah satu perjuangan Kopassus di medan operasi tempur Timor Timur (sekarang Timor Leste). Penggunaan pisau komando baru tahun 1970-an, saat satuan ini masih bernama Kopasandha (Komando Pasukan Sandhi Yudha). Dari sekian banyak jejak perjuangan mereka, ada kisah seorang anggota Kopassus melegenda dan menjadi sejarah. Ia adalah Pratu Suparlan, satu di antara anggota Kopassus yang mengorbankan nyawanya saat menjalankan misi demi menyelamatkan pasukan yang lebih besar.
Oleh : Egy Massadiah*
JERNIH–Subuh menjelang terang tanah. Tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari senapan yang entah apa jenisnya. Mungkin gabungan antara AK-47, brent, Uzi, MP-5, dan lain-lain, yang kesemuanya merupakan senjata organik Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat.
Pagi buta Senin 7 Agustus 2023 itu, “Satgas Tribuana 107” merangsek. Gempuran masif menyalak. Setelah sekitar 30 menit, pasukan berhasil menguasai wilayah musuh.
Itulah simulasi suasana menjelang pembaraten angkatan ke-107 Kopassus Tahun Ajaran 2023. Sebelum tradisi sakral itu dilakukan, mereka melakukan demo Serangan Regu Komando. Waktunya selalu menjelang matahari terbit. Lokasinya pun tak berubah, masih di Pantai Permisan, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Pendidikan ini dibagi dalam tiga tahap, Tahap Basis, Tahap Hutan dan Tahap Rawa Laut. Di dalamnya ditanamkan ilmu komando: tekad yang tinggi dimana dalam keadaan stress dan lelah tetap mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Termasuk long march dari Bandung ke Cilacap dengan 10 etape siang dan malam hari sepanjang 455 kilometer.
Bukan jalan sembarang jalan. Mereka berjalan dengan PDL (pakaian dinas lapangan) lengkap dengan sepatu lars, ransel dan senapan.
Saat itu, para undangan yang terdiri dari orang tua dan keluarga siswa, sudah tiba di lokasi. Sebagian undangan yang berlatar belakang militer (apalagi Kopassus), mendengar suara tembakan seperti sedang berada di medan peperangan, tampak kalem-kalem saja.
Sementara, bagi yang baru pertama kali menyaksikan dan mengalami, tampak ekspresi cemas yang luar biasa. Apalagi kaum ibu. Ada ekspresi ketakutan mendengar rentetan tembakan, dan memacu degup jantung lebih kencang. Gendang telinga serasa tersayat.
Rangkaian upacara pembaretan, dipimpin langsung Danjen Kopassus Mayjen TNI Deddy Suryadi, S.I.P., M.Si. Ia didampingi Dan Pusdiklatpassus, Brigjen TNI Yudha Airlangga, serta pejabat utama Kopassus. Tampak di antaranya Asintel Kopassus Letkol Inf Farid Yudho, Asops Kopassus Letkol Inf Wahyo Yuniartoto, Aspers Kopassus Letkol Inf Nur Wahyudi, Aslog Kopassus Letkol Inf Ginda Muhammad Ginanjar, Aster Kopassus Kolonel Inf Irfan Amir, Asren Kopassus Kolonel Czi Bayu Kurniawan, Dangrup 1 Serang Kolonel Romel Jangga Wardana, Dansat 81 Kopassus Letkol Charles Aling.
Bopongan prajurit
Usai tradisi pembaretan, sigap sejumlah prajurit langsung mendekati Danjen Kopassus. Mereka berjongkok, melesakkan satu pundaknya di antara dua kaki, diikuti prajurit lain di sisi yang satu, lalu mereka mengangkatnya tinggi-tinggi dalam bopongan para prajurit.
Yel-yel Komando mereka pekikkan dengan kompak dan semangat. Gemblengan yang begitu keras, sudah sampai pada titik pembaretan serta pemasangan brevet Komando Pasukan Khusus. Sebuah lambang: prajurit yang telah digodog dalam kancah diklat yang membara laksana api. Prajurit dengan brevet Kopassus memiliki keberanian, kecekatan, dan keterampilan prajurit komando di bidang operasi darat, laut, dan udara.
Danjen Deddy juga memompakan semangat “Tribuana Chandraca Satha Dharma”. Artinya, prajurit yang telah menguasai taktik dan teknik ilmu perang khusus. Mahir dan andal bergerak secara cepat di berbagai medan baik di darat, laut, dan udara. Berjiwa patriotik tinggi, senantiasa siap sedia melaksanakan tugas pokok ke setiap penjuru dan siap menghadapi berbagai ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan.
“Selaku Danjen Kopassus dan atas nama pribadi, saya mengucapkan selamat kepada para prajurit yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan komando selama tujuh bulan dengan baik,” ujar bintang dua kelahiran Bandung, 14 September 1973 itu.
Deddy mengaku bangga melantik para prajurit muda, para kesatria muda yang berani, percaya diri, dan optimis serta selalu siap mendedikasikan diri sebagai pemersatu bangsa. “Hari ini, para prajurit akan memulai perjalanan dan pengabdian nyata. Buktikan kemampuan dan kesetiaan dalam mengemban tugas, dalam melayani masyarakat, bangsa, dan negara,” ujar lulusan terbaik Dikreg XLVIII Seskoad (2010) itu.
Danjen menambahkan, tugas prajurit komando tidak mudah. Apalagi di tengah perubahan yang cepat, disrupsi teknologi, geopolitik yang dinamis, yang harus disikapi secara cepat dan tepat. Selain itu, dunia kemiliteran juga berubah cepat. Kita tidak boleh ketinggalan dalam menyikapi teknologi.
“Siapkan diri menghadapi setiap ancaman. Gunakan teknologi untuk ancaman yang juga menggunakan teknologi,” pesan Danjen Deddy kepada peserta pembaretan yang berjumlah 54 perwira, 88 bintara dan 90 tamtama.
Wadanjen Kopassus (2021 – 2022) itu juga meminta para prajurit terus belajar dan berlatih menempa kemampuan dan keahlian. “Siapkan dirimu menjadi teladan masyarakat yang menjaga integritas, menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai keprajuritan, dan berdiri di depan dalam membantu masyarakat,” ujar Deddy yang juga mantan Kasdam IV/Diponegoro (2022 – 2023).
Sebagai prajurit komando, dan pasukan elit kebanggan bangsa dan negara, Deddy menekankan agar mengedepankan kesiapan operasional dan kesiapsiagaan tinggi sebagai wujud profesionalitas prajurit yang dibentuk secara khusus di atas kemampuan prajurit dan satuan lain.
“Prajurit Kopassus dibentuk dengan keras namun terukur. Dilatih pada titik-titik maksimal kemampuan manusia untuk disiapkan menjadi prajurit militan, profesional, serta adaptif dilandasi moralitas dan loyalitas,” ujar Deddy, tegas.
“Kepada orang tua yang hadir di sini, saya ikut berbahagia sebagaimana yang bapak ibu rasakan. Mereka bukan hanya kebanggaan bapak-ibu sekalian. Mereka juga kebanggaan bangsa Indonesia, TNI-AD, dan satuan Kopassus,”kata Deddy.
Tak lupa, Danjen Deddy juga mengucapkan terima kasih kepada Komandan Pusdiklatpassus Kopassus, para pembina dan pelatih atas dedikasinya dalam menjadikan para prajurit perkasa dan pemberani serta berkarakter.
Usai acara resmi, Komandan Jenderal Kopassus meminta perwakilan prajurit menyampaikan kesan dan pesan. Mulai dari prajurit tamtama, bintara hingga perwira. Mereka merasa sangat berterima kasih atas pendidikan keras yang telah diberikan. Dengan begitu, mereka mampu bertahan di tengah hutan, dalam suhu yang dingin, tanpa bekal makan.
Juga latihan berat berjalan kaki ratusan kilometer, menyeberangi sungai, rawa dan lautan. Setiap kesan dan pesan yang menggugah semangat, spontan disambut pekik “Komando” secara serentak dan menggelegar.
Mereka akan menjadi prajurit yang lekat dengan “pisau komando” sebagai ciri atau identitas. Ke depan, akan lebih menyatu dengan brevet komandonya. Masuk markas di Cijantung, akan disambut gapura pisau komando. Bahkan di atas batu karang lepas Pantai Permisan, juga tampak pisau komando raksasa menancap.
Pisau komando dengan panjang gagang 10 cm, dan bilah pisah 18 cm, itu bukan pisau yang berfungsi untuk mengiris, tetapi menusuk.
Sejarahnya erat dengan salah satu perjuangan Kopassus di medan operasi tempur Timor Timur (sekarang Timor Leste).
Penggunaan pisau komando baru ada tahun 1970-an, saat satuan ini masih bernama Kopasandha (Komando Pasukan Sandhi Yudha). Dari sekian banyak jejak perjuangan mereka, ada kisah seorang anggota Kopassus melegenda dan menjadi sejarah. Ia adalah Pratu Suparlan, satu di antara anggota Kopassus yang mengorbankan nyawanya saat menjalankan misi demi menyelamatkan pasukan yang lebih besar.
Kisah heroik yang terjadi pada Januari 1983 itulah yang senantiasa membara di setiap dada prajurit Komando. Nama Pratu Suparlan kemudian diabadikan sebagai lapangan udara Suparlan Pusdiklatpassus Batujajar, Bandung, Jawa Barat, yang diresmikan KSAD Jenderal TNI Edi Sudrajat pada 26 Mei 1991.
Deru haru berpacu
Saat tiba pada puncak acara pembaretan dan penyematan brevet komando, panitia mempersilakan para orang tua untuk siap-siap. Panitia memilah, prajurit yang karena satu dan lain hal orang tua atau keluarganya berhalangan hadir di Pantai Permisan, diminta membuat barisan tersendiri.
Setelah semua siap, para orang tua dipersilakan menyematkan baret merah di kepala putra kebanggaannya. Sekaligus menyematkan brevet komando kebanggaan di dada.
Sejenak terjadi suasana “kalang kabut”. Maklum para orang tua susah payah mencari anaknya yang nyaris semua mirip karena tertutup cat kamuflase warna hitam hijau. Beberapa orang tua butuh waktu lumayan lama untuk bisa menemukan sang anak.
Sedangkan, Danjen, para asisten, menyematkan baret dan brevet kepada para prajurit komando yang tidak dihadiri orang tua atau keluarganya.
Saat itulah, suasana haru berpacu dengan debur ombak laut Selatan. Para orang tua tak kuasa menahan air mata. Tidak sedikit yang sangat emosional hingga tak kuasa menahan ledakan tangis dan membuncahnya air mata. Sejumlah siswa tampak merangsek ke kaki ibunya, bersimpuh, bersujud. Sementara sang ibu menahan haru dengan air mata bercucuran.
Para prajurit pun larut dalam perasaan haru. Dalam tubuh penuh peluh, wajah penuh cat kamuflase, dua bola mata mereka tampak menjadi jelas dengan binar-binar air mata.
Pemandangan sama juga terjadi di barisan prajurit yang lain. Hadirin pun tak kuasa menahan rasa haru. Bagi sebagian orang tua yang juga purnawirawan komando, terkenang pada peristiwa yang dulu dialaminya juga. Di tempat yang sama. Di waktu yang sama. Di pantai yang sama. Dalam suasana sakral yang mengharu-biru.
Meski langit cerah, tetapi hujan tangis di Pantai Permisan memang seperti tak kunjung reda. Para prajurit yang sudah berbaret merah dan berbrevet komando, duduk berjajar dan saling berhadap-hadapan. Kepada mereka diberikan masing-masing nasi kotak.
Bisa jadi, itulah makanan “terbaik” yang mereka dapat sejak mengikuti pendidikan dan pelatihan di Batujajar, Bandung Barat. Menjadi “yang terbaik” karena dibagikan di saat pembaretan. Saat-saat berpadunya puncak kelelahan dan kegembiraan.
Kini, di hadapannya tergeletak sekotak nasi lengkap dengan lauk yang enak. Apa daya, tubuh kotor, tangan kotor, pakaian kotor, duduk di hamparan pasir pula.
Panitia mempersilakan para orang tua ikut lesehan di samping anaknya masing-masing. Para ibu pun sigap membukakan nasi kotak, lalu menyuapkan nasi putih beserta lauk ke mulut sang putra. Tangis pun tak dapat dibendung. Terkenang kembali, saat-saat sang ibu menyuapi buah hatinya di usia balita dulu.
Kini, setelah anaknya menjadi prajurit Kopassus, Tuhan memperkenankannya mengulang moment-moment paling membahagiakan dalam hidup dan kehidupan seorang ibu: menyuapi anak kesayangan.
Debur ombak Laut Selatan, menjadi saksi moment tumpahnya seluruh restu sang ibu bagi sang putra, demi mengawal bangsa dan negara. Komandooo! [ ]
*Penulis adalah wartawan senior, pegiat budaya dan media