Kemudian ia membaca ayat 21 S.Al Hasyr : “Andaikan Kami menurunkan Al Quran ini kepada sebuah gunung, niscaya kalian akan melihatnya khusyuk dan terbelah karena takut kepada Allah.”
Oleh : H.Usep Romli H.M.
Malik bin Dinar (wafat 130 H/749 M), sangat berhasrat menjadi anggota pengurus Masjid Umayyah, Damaskus. Sebab, selain mendapat gaji tetap dan besar, fasilitas tempat tinggal, dll, dia pun akan mendapat penghormatan dari semua orang, karena dianggap orang dekat Sultan Al Hisyam, penguasa Bani Umayyah ke 10 (105-125 H/724-744 M).
Untuk mencapai keinginannya, Malik menjadi jamaah masjid Umayyah. Bahkan setelah salat fardlu selesai dan jamaah lain pulang ke rumah masing-masing, Malik tetap bertekun di situ. Membaca wirid dan berdo’a, agar keinginannya tercapai. Hingga tiba lagi waktu salat fardlu. Ia selalu berharap, keberadaannya di masjid, diketahui para jamaah dan pengurus masjid lain.
Begitulah terus-menerus dari hari ke hari. Tapi tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Apalagi menawari bekerja sebagai pengurus masjid.
Genap setahun melaksanakan ibadah pamrih, muncul kesadaran pada diri Malik. Ia menyesali kesia-siaannya. Ia pun bertobat. Lalu beribadah sungguh-sungguh hanya untuk dan kepada Allah SWT. Tak lagi berbekas ingatan salat untuk jabatan. Ia benar-benar menyerahkan jiwa-raga, niat dan tujuannya, semata hanya kepada Allah Maha Ahad. Dainunnah lillahi wahdah.
Suatu pagi, di luar terdengar kesibukan. Ternyata Sultan Al Hisyam datang melakukan inspeksi mendadak. Ia memeriksa seluruh bangunan masjid, dan menemukan retak-retak di bagian mimbar.
“Perbaiki segera,” perintah Sultan.” Cari orang yang mau dan mampu mengerjakannya hari ini juga.”
“Kebetulan, Paduka, “pengurus masjid berhatur sembah. ”Ada seorang ahli ibadah yang tak pernah meninggalkan tempat sujudnya. Barangkali dia tak akan menolak jika direkrut memperbaiki retak-retak itu.”
“Panggil ke sini. Akan kuperintahkan langsung dan akan kuberi surat pengangkatan sebagai anggota pengurus masjid,“ kata Sultan.
Malik bin Dinar mendengar seluruh percakapan itu. Ia langsung bersujud dan menangis : “Ya Allah, setahun penuh aku beribadah pamrih demi jabatan pengurus masjjd, tak seorang pun mempedulikan. Tapi baru saja semalam aku beribadah tulus ikhlas, banya bagiMu, Engkau bahkan mengutus Sultan untuk memberiku jabatan yang kuidam-idamkan itu. Tidak, ya Allah, aku tidak akan menerimanya. Aku akan terus beribadah kepadaMu tanpa pamrih apa-apa, kecuali mengharap keridlaanMu, ya Allah !”.
Sambil bercucuran air mata , Malik bin Dinar melompat dari jendela masjid. Kabur pontang-panting, meninggalkan kemegahan Masjid Umayyah, Sultan dan para pengiringnya, serta pengurus masjid yang sibuk mencari-cari dirinya untuk dijadikan pengurus masjid. Ia tidak mau lagi berurusan dengan segala urusan duniawi yang penuh kepalsuan.
Para penulis sejarah sufi klasik, antara lain Fariduddin Attar dalam “Tazkiratul Awliya”, menyebutkan, peristiwa itu merupakan awal pertobatan Malik bin Dinar untuk terjun sepenuhnya sebagai “abidin” (ahli ibadah). Malik bin Dinar terkenal juga sebagai kaligrafer, pembuat kaligrafi yang indah dan disukai orang, sehingga menjadi sumber nafkahnya sehari-hari.
Sebagai hafidz (penghafal Al-Quran), Malik bin Dinar sering mempertanyakan kepada dirinya sendiri :“Apa yang telah ditanamkan Al-Quran kepada hatiku? Sesungguhnya Al-Quran itu bagaikan musim semi bagi orang beriman. Sama halnya dengan hujan yang merupakan musim seminya bumi. Hujan menerpa biji-bijian, untuk merekahkan tunas-tunas tumbuhan baru, yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Apa yang telah ditanamkan Al-Quran dalam hatiku? Apa yang telah kuamalkan dari ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran yang telah kuhafal itu?”
Kemudian ia membaca ayat 21 S.Al Hasyr : “Andaikan Kami menurunkan Al Quran ini kepada sebuah gunung, niscaya kalian akan melihatnya khusyuk dan terbelah karena takut kepada Allah.”
Dan Malik bin Dinar menangis :“Kapan aku khusyuk dan takut kepada Allah, tatkala membaca Al Quran?” [ ]