Adat yang berkembang di SAD soal makanan memang menarik. Saat mendapatkan hewan buruan besar atau louk godong seperti rusa, babi, tapir, kijang, dan beruang, hasil buruan dari hasil usaha laki-laki atau jenton itu harus diserahkan terlebih dulu kepada pihak betina (perempuan). Dialah yang akan membagikan hasil buruan itu kepada sesama anggota rombongnya. Namun prinsip menghargai prestasi masih berlaku. Pihak jenton yang mendapatkan hewan buruan akan disebut orang bulih, sementara pihak betina yang mendapatkan hak atas hewan tersebut dan menjadi pembagi hasil buruan disebut orang sempu. Keduanya, baik orang bulih maupun orang sempu akan mendapat porsi lebih banyak dibanding anggota lainnya.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JAKARTA— Tumenggung Tarib menepuk air di jolang–sebutan untuk baskom plastik ukuran puluhan liter–di depannya. Seketika itu lele-lele hitam gemuk yang rata-rata sebesar hasta orang dewasa itu pun menggeliat, bergerak, menimbulkan buih di air yang mengental karena lendir ratusan ikan berkumis yang disukai banyak orang itu. Ada puluhan jolang berjajar, menampung hasil panen dari lima kolam yang dibuat di wilayah rombongnya.
Ini panen keberapa dari kolam-kolam pemeliharaan lele–disebut ikan kli oleh orang SAD– yang dibuatkan PT Sari Aditya Loka (SAL) untuk rombong yang dikepalainya itu. Tarib adalah tumenggung atau kepala marga dari rombongnya yang berlokasi di Kutai, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Di masa lalu, terma “berlokasi’ sebenarnya akan terdengar ganjil dikaitkan dengan keberadaan Suku Anak Dalam (SAD). Tapi saat ini, manakala pepohonan tinggi di hutan satu persatu roboh lenyap dan ruang hidup suku semakin sempit, kaum SAD pun menerima kenyataan bahwa hidup nomaden sudah tak mungkin lagi dilakukan. Mereka harus memilih lahan, dan hidup tinggal di sana. Nomaden adalah masa lalu, saat ‘rimbo bungaron raya’—hutan rimba yang berlimpah dengan hasil pangan dan aneka buruan—masih menjanjikan. Kini, sejak bungaron terjejak buldoser ‘orang-orang terang’, hal itu telah jadi sekadar dongeng manis pengantar tidur para bocah SAD.
Tumenggung Tarib menyukai ikan lele, begitu pula semua warganya. Sejak dulu, manakala kaum SAD harus turun ke sungai, mengobok tepian di sekitar akar-akaran dan perdu yang menjalar ke badan sungai dengan tangan, sambil berhati-hati untuk tidak tertusuk patilnya yang beracun, warga SAD suka ikan berdaging lembut yang lezat itu. Bekarang namanya. Lele bisa direbus, dimasak laiknya sayur. Bisa pula dibakar. Belakangan, saat minyak goreng lebih gampang didapat, goreng lele lebih enak karena bisa dimakan hingga tulang dan duri-duri kecilnya yang garing.
“Tapi dulu, lele yang kami makan kami ambil dari sungai, bukan dari kolam peliharaan,” kata Tumenggung Tarib. Ada nada yang terdengar ganjil saat ia berbicara soal itu. Ada semacam kerinduan akan masa lalu, meski tak terasa semacam kecewa pada apa yang saat ini ada. Hal yang wajar, mengingat sejatinya warga SAD memiliki semacam sumpah yang telah hidup ratusan tahun. Sumpah yang hanya karena terdesak oleh kondisi dan keadaan alam, membuat mereka kini kian sulit menepatinya secara mutlak.
Tumenggung Tarib bercerita, pada panen ikan pertama, ia bahkan masih tak bisa memakan ikan-ikan lele peliharaannya. “Ingat bahwa dulu kami tabu memakan apa pun yang dipelihara,” kata dia. Itu sesuai tabu adat, semacam sumpah nenek moyang warga SAD yang telah dijunjung ratusan tahun. Sumpah yang dilakukan pasangan Dewo Tunggal dan Putri Gading, nenek moyang warga SAD yang memilih tinggal di rimba itu, yang antara lain berjanji untuk hidup:“…berlantai gambut, beratap daun, berdinding benor, berayam kuwau, berkambing kijang, memakan buah betatal dan minum air di bungkul kayu…” Sekian lama warga SAD yakin bahwa pelanggaran atas sumpah itu bisa mendatangkan karma atau kutukan.
Tetapi di dunia SAD saat ini, tatkala ruang hidup kian sempit dan segala persoalan hidup menghimpit, bertahan hanya menerima apa yang ‘diberikan’ hutan bisa mendatangkan tak hanya kesengsaraan, tapi bahkan kematian.
Aditya Anindita, lebih akrab disapa Indit, salah seorang pendiri Sokola Rimba, LSM yang melakukan pendampingan pembelajaran baca-tulis-hitung pada anak-anak SAD sejak awal 2000-an, bercerita bahwa saat ini tingkat ketergantungan warga SAD terhadap barang-barang konsumsi dari ‘dunia terang’ alias dari luar rimba, sudah tinggi. Jika di masa lampau warga SAD hanya memerlukan garam dan kain sebagai produk non-hutan untuk mereka konsumsi, dengan persentuhan kehidupan yang kian kerap, kini bisa dikatakan seluruh kebutuhan orang terang, juga merupakan kebutuhan warga SAD. Oh ya, itu termasuk telepon selular, tv dan sepeda motor—Honda kata mereka.
Tingkat ketergantungan itu, menurut Indit bahkan sudah mengkhawatirkan. “Untuk karbohidrat pun sudah tergantung pasar karena mudahnya akses ke pasar. Gula, beras, kopi dan teh, makanan kemasan seperti mie instan dan sejenisnya, juga sarden,” kata Indit. Sarden, ikan dalam kemasan kaleng, yang di masa lalu tentu ‘diharamkan’ untuk dimakan. Meroboh alam dalam bahasa SAD, yang artinya melanggar adat.
Tumenggung Tarib barangkali termasuk warga SAD yang belakangan melepas kebiasaan lama tersebut. Pada panen lele kedua dan seterusnya, Tumenggung Tarib tak hanya menjual lele-lelenya itu ke pasar. Ia memakan serta membagikan hasil panen lele kepada warganya, sebagaimana kebiasaan yang masih terjaga baik di kalangan warga SAD. Sebagian, untuk mendapatkan keperluan lain yang tidak bisa mereka dapatkan dari hutan, lele-lele itu dijual. Uangnya untuk pembeli keperluan warga SAD di rombongnya.
Kini bahkan tak hanya lele. Seiring kian langkanya ‘kuwau’ (unggas hutan), ayam pun mulai mereka pelihara. Untuk itu, PT SAL–atas saran dan permintaan warga SAD–juga membangun proyek percontohan budi daya ayam mulai 2018.
Proyek percontohan itu awalnya digulirkan dalam skala kecil, sebagai cara untuk mengetahui respons warga SAD tentang rasa memiliki dan tanggung jawab untuk memelihara ayam dan kandang. Bagaimana pun pihak PT SAL yakin, warga SAD yang mau jadi peserta perlu dikenalkan dulu akan kebiasaan berbudi daya. Mereka harus tahu bahwa semua itu membutuhkan berbagai ketekunan dan kedisiplinan, seperti dalam pemberian pakan, air dan pembersihan kandang.
Melampaui target, hasilnya ternyata sangat menggembirakan. Pembudidayaan ayam yang awalnya dilakukan di sub kelompok Mete itu kini berkembang lebih luas. Program tersebut saat ini juga berjalan di kelompok Saidun (19 KK) dan kelompok Ngepas, yang terdiri dari delapan kepala keluarga.
Pemberian bantuan produktif tersebut dilakukan PT SAL seiring pemberian bantuan yang sifatnya ‘konsumtif’. Sejak lama PT SAL memfasilitasi semua biaya pendidikan anak-anak Orang Rimba di sekolah formal, mulai dari seragam hingga perlengkapan sekolah.
Perusahaan juga menyediakan rumah kos khusus yang dikenal dengan Madu Rimbo (Asrama Terpadu untuk Siswa Orang Rimbo), bagi siswa Orang Rimba yang bersekolah di sekolah formal. Mereka tinggal bersama guru dan pengasuh yang juga bertindak sebagai pembimbing mereka selama berada di asrama. Biaya pendidikan dan biaya hidup selama di asrama itu ditanggung PT SAL. Saat ini ada 105 siswa yang tengah menempuh pendidikan di sekolah formal. Sekitar 83 anak merupakan siswa Sekolah Dasar, 15 anak Sekolah Menengah Pertama dan empat siswa di Sekolah Menengah Atas/Kejuruan.
Tahun 2020 lalu, tiga siswa yang bersekolah di Yogjakarta telah lulus. Melalui proses konsultasi panjang, seorang siswa memutuskan melanjutkan pendidikan tinggi di D4 Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan di Politeknik Pembangunan Pertanian Bogor (Polbangtan Bogor). Dua siswa lain memutuskan kuliah D3 agribisnis di Universitas Jambi. Semua ditanggung perusahaan melalui melalui kerja sama antara PT SAL Polbangtan dan dengan Universitas Jambi.
Semua bantuan bervisi panjang itu tidak melenyapkan bantuan ‘jangka pendek’. PT SAL tetap menggulirkan program pemberian beras dan bahan makanan sebagai program jangka pendek. Awalnya hanya diperuntukkan bagi 123 KK. Saat ini, program itu telah mampu menjangkau 313 KK atau sekitar 1.197 jiwa). “Pemberian bantuan makanan dilaksanakan dengan tujuan memastikan Orang Rimba mendapatkan asupan makanan sesuai dengan kebutuhan,” kata PT SAR dalam pernyataan tertulis.
Dalam sebuah terbitan internal PT SAL dikatakan, program pemberian beras yang dimulai pada 2011 itu hanya menjangkau rombong Sikar. Sejak Oktober 2018, program tersebut diberikan kepada seluruh warga SAD yang bermukim di sekitar PT SAL-1. “Dalam prosesnya target penerima beras saat ini menjadi 313 KK, mencakup 1.197 jiwa. Setiap KK mendapatkan 10-20 Kg, beras tergantung kebutuhan setiap kelompok.” Terbitan itu menegaskan, sejak 2018 itu telah didistribusikan 97 ton beras dan 7.373 paket bahan makanan.
Seorang pelaksana bantuan PT SAL yang meminta anonimitas mengatakan, dalam proses pemberian bantuan itu ia mengaku belajar dari warga SAD. “Budaya yang tumbuh dalam warga SAD adalah budaya saling berbagi, saling mengasihi,” kata dia. Aneh juga manakala ia meminta namanya tidak dicantumkan dengan jelas.
“Di sini, di Bukit Duabelas, semua dibagi bersama,” kata Rindu Marituha, salah seorang pemimpin rombong di sana. Warga SAD hidup dalam kebersamaan.Ia mencontohkan, babi hasil buruan, kalau pun hanya seekor akan dijual sebagian. Sisanya diolah untuk dimakan bersama-sama. Contoh lainnya, beras pemberian PT SAL, atau yang mereka beli manakala cadangan sudah habis, juga dinikmati bersama-sama semua anggota kelompok.Begitu pula manakala ada tamu yang datang membawa makanan, seperti biscuit, kue-kue kering, wafer, bahkan rokok, dibagi rata. Itulah yang dilihat karyawan PT SAL yang terlibat langsung dalam pemberian bantuan tersebut.
Adat yang berkembang di SAD soal makanan memang menarik. Saat mendapatkan hewan buruan besar atau louk godong seperti rusa, babi, tapir, kijang, dan beruang, hasil buruan dari hasil usaha laki-laki atau jenton itu harus diserahkan terlebih dulu kepada pihak betina (perempuan). Dialah yang akan membagikan hasil buruan itu kepada sesama anggota rombongnya. Namun prinsip menghargai prestasi masih berlaku. Pihak jenton yang mendapatkan hewan buruan akan disebut orang bulih, sementara pihak betina yang mendapatkan hak atas hewan tersebut dan menjadi pembagi hasil buruan disebut orang sempu. Keduanya, baik orang bulih maupun orang sempu akan mendapat porsi lebih banyak dibanding anggota lainnya.
“Di sini kami percaya, tidak boleh ada warga yang lapar ketika warga yang lain masih memiliki bahan makanan,” kata Marituha. Mungkin karena itu, antropolog dari Komunitas Konservasi Indonesia atau KKI Warsi, Robert Aritonang, yang lebih dari 10 tahun melakukan advokasi terhadap Orang Rimba di Bukit Duabelas, pada sebuah media menyatakan bahwa Tumenggung Marituha tergolong pemimpin rombong yang paling berhasil.
“Tumenggung Marituha berhasil menyatukan warganya untuk tetap bertahan pada hukum adat rimba. Pada saat banyak warga rimba tergagap oleh modernisasi di luar rimba, mereka tetap merasa nyaman hidup bersama-sama secara sederhana. Mereka memanfaatkan alam secukupnya demi bertahan hidup,” kata Robert.
Namun memberi bantuan tidak membuat PT SAL alpa mengajak warga SAD produktif menghasilkan bahan makanan sendiri. Melalui upaya pendampingan, dibuatlah kebun umbi-umbian di dua wilayah, yaitu wilayah Pematang Kabau–dekat dengan rombong Temenggung Nggrip, Selambai, Bepak Nuliy, Ninjo/Meriau, Saidun, Tarib, Mete, Ngelam, Betaring, Bepayung dan Afrizal– dan di wilayah Mentawak yang dekat dengan wilayah Temenggung Sikar, Temenggung Jang dan Temenggung Ngepas. Dari lahan yang baru mencapai luas dua hectare dan 0,3 Ha tersebut telah dihasilkan 6.179 kg umbi-umbian yang didistribusikan ke seluruh warga SAD.
Dalam proses pendampingan selama ini, PT SAL mempercayai proses bottom-up alias memprioritaskan suara yang datang dari bawah, dari warga SAD. Karena itu tidak heran bila ada pula upaya pendampingan untuk penampungan labi-labi yang diusulkan warga SAD. Labi-labi adalah kura-kura sungai yang digemari warga SAD. Berawal dari permintaan warga SAD bernama Meriau untuk menampung kura-kura hasil buruan yang mereka tangkap di sungai- sungai sekitar Desa Bukit Suban dan Sungai Air Hitam, terwujudlah tiga unit kolam penampungan itu.
Kolam tersebut berfungsi sebagai tempat pemeliharaan labi-labi yang diburu warga SAD sampai tahap siap dikonsumsi atau dijual kepada sesame warga. Rombong Temenggung Nyerak dan rombong Meriau sangat antusias mengikuti program usulan mereka tersebut.
Wajar bila semua itu membuat Tumenggung Tarib mengakui bahwa PT SAL telah banyak membantu mereka dengan sekian banyak program yang dilakukan. Menurut Tarib, yang paling terasa adalah bantuan sekolah dan kesehatan. “Jika kami sakit, diberikan layanan kesehatan hingga ke Bangko dan sembuh,” kata Tarib.
Pengakuan yang sama dinyatakan Mijak Tampung, aktivis Kelompok Makekal Bersatu (KMB). Warga SAD itu menyatakan, kehadiran PT SAL sangat membantu warga SAD,khususnya dalam memberikan bantuan pendidikan dan kesehatan. “Tapi PT SAL masih harus lebih memahami lagi kebutuhan SAD yang masih berada di kawasan hutan,” kata Mijak, warga SAD yang tergolong cukup berpendidikan itu.
Sementara Tumenggung Njang menyatakan, mereka merasakan secara langsung bantuan yang diberikan PT SAL secara regular dalam bentuk beras, kopi, garam,minyak goreng, kentang dan sebagainya.
Tampaknya karena itu maka SAL tahun ini meraih dua penghargaan dalam kontribusinya kepada pengembangan Komunitas Adat Terpencil (KAT), terutama kepada Suku Anak Dalam (SAD). Penghargaan tersebut diberikan oleh Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pemerintah Provinsi Jambi.
“PT SAL merupakan extended family dari Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yang sudah sangat dekat dengan Balai TNBD,”ujar Kepala Balai TNBD, Haidir, mengakui.
Sementara Pemerintah Provinsi Jambi menyerahkan penghargaan kepada PT SAL atas kepeduliannya mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial di Provinsi Jambi. Semua karena kiprah SAL mengembangkan tiga program besar, yakni Pendidikan, Kesehatan, dan Ekonomi untuk warga SAD.
“Kami ingin Suku Anak Dalam dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik dan layak,” ujar Thresa Jurenzy, community development officer (CDO) PT SAL. [ ]