Jernih.co

Sebutir Kurma yang Jadi Penolak Doa

Waktu datang lagi ke Kubah Sakhra, Malaikat yang dulu, masih ada di sisi batu karang. Yang satu berkomentar,”Tuh Ibrahim bin Adham yang do’anya ditolak gara-gara memakan sebutir kurma tak halal.” “Oh,tidak. Sekarang do’anya sudah makbul lagi, karena ahli waris pemilik sebutir kurma sudah menghalalkannya.”

Oleh   :  Usep Romli H.M.

Bulan Ramadan, tanpa kurma, tak afdol rasanya. Biar hanya sebiji, untuk tajil. Cukup mantap. Karena itu, setiap orang yang berpuasa, selalu berusaha memiliki buah kurma sekedarnya.

Kurma termasuk tanaman yang tumbuh sepanjang tahun. Tetapi biasanya  dipanen saat musim gugur atau awal musim dingin di negara asalnya, yaitu Arab. Kondisi kurma akan lebih segar saat di musim tersebut.

Usep Romli HM

Buah kurma kaya dengan karbohidrat, dan sumber nutrisi. Di antaranya serat, protein, kalsium, zat besi, dan vitamin B6. Sehingga banyak  manfaat bagi tubuh. Antara lain, menjaga kesehatan pencernaan, menangkal radikal bebas, memenuhi kebutuhan, dll.

Banyak jenis dan nama kurma yang beredar luas di pasaran. Termasuk di Indonesia. Seperti Ajwa yang dianggap “kurma Nabi” karena beliau Saw suka menyantap kurma jenis itu. Atau Sukari, yang rasanya amat manis. Juga kurma Amber, yang disebut juga “kurma Madinah”. Dan banyak lagi.

Banyak pula kisah-kisah teladan yang berkaitan dengan kurma. Umpamanya, kisah Sayydina Umar bin Khattab, khalifah kedua (tahun 40 H). Konon, Umar sering termenung di bawah kerimbunan pohon kurma sambil berlinang air mata. Tak lama kemudian, ia tertawa terbahak-bahak.

Seorang sahabat merasa heran menyaksikan kelakuan Umar. Tanpa ayal, ia bertanya,” Ya Amirul Mu’minin, aku heran melihat engkau  termenung di bawah pohon kurma. Sambil menangis tersedu-sedu. Lalu engkau tertawa terbahak-bahak. Mengapa demikian?”

Lama Umar tak menjawab. Setelah menenangkan diri, ia berkisah : “Setiap melihat kebun dan pohon kurma, aku selalu teringat kepada pengalamanku di masa jahiliyyah. Aku punya bayi perempuan. Cantik dan lucu. Hanya saja, kebiasaan jahiliyyah menganggap punya anak perempuan suatu kehinaan. Karena anak perempuan tak berguna. Tak akan jadi jago perang seperti laki-laki. Maka setiap anak perempuan, dibunuh. Dikubur hidup-hidup. Nah, termasuk anakku. Ia dikubur hidup-hidup di bawah pohon kurma. Jika teringat  kepadanya, aku selalu menangis. Jika ia dibiarkan hidup, mungkin sudah memberi beberapa cucu bagiku. Ah, dasar zaman kebodohan dan kegelapan. Aku hanya bisa menangis. Menyesali kelakuanku dulu.”

Sahabat itu mengangguk-angguk.  “Tapi kemudian engkau tertawa-tawa?”

“Ya, karena ingat kelakuan pada zaman jahiliyyah juga. Jika panen kurma, kami beramai-ramai membuat patung dari buah kurma segar. Kami jadikan berhala sembahan. Jika tiba musim paceklik, patung buah kurma itu kami makan beramai-ramai. Coba bayangkan, sesembahan kami dimakan oleh para penyembahnya. Lucu bukan? Untunglah Islam datang menyelamatkanku dan orang-orang beriman dari kelakuan tak waras itu.”

Kisah unik tentang kurma dialami pula oleh Ibrahim bin Adham (wafat th.165 H/782 M). Ia terkenal sebagai ulama sufi yang dikenal do’anya mustajab. Dituturkan oleh Syekh Qalyubi, penulis kitab “An Nawadir”, Ibrahim bin Adham selesai berhaji, akan berangkat ziarah  ke Masjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli sekilo kurma dari pedagang tua dekat Masjid Harom. Ketika pesanannya dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak dekat bungkusan kurmanya. Ia menyangka, itu butiran yang jatuh dari sekilo kurma yang dibelinya. Lalu ia memakannya sambil menerima bungkusan.

Tiga bulan perjalanan naik unta, tibalah Ibrahim di Kubah Sakhra. Ia bermaksud I’tikaf di situ. Tiba-tiba terdengar dua Malaikat berkata-kata sisi batu karang:

“Tuh Ibrahim bin Adham yang do’anya makbul akan beribadah di sini. Semoga membawa berkah.”

“Oh, tidak,“jawab Malaikat satu lagi. Dulu memang makbul. Tapi setelah memakan sebutir kurma milik pedagang kurma dekat Masjidil Haram, kemakbulannya hilang karena telah memakan barang tak sah. Barang haram.”

Ibrahim terkejut mendengar percakapan malaikat itu. Ia segera ingat keoada sebutir kurma yang dimakannya karena menyangka sudah halal. Segera ia keluar. Naik untanya untuk kembali ke Masjid Haram. Akan meminta kehalalan sebutir kurma yang tak sengaja ia makan kepada pedagangnya.

Tiga bulan nenempuh perjalanan. Begitu tiba di Masjidil Haram, lansung menemui tempat pedagang kurma dulu. Tapi orangnya tak ada. Penunggu jongko seorang anak muda.

“Wahai anak muda, tahukah engkau di mana pedagang kurma tua yang tiga bulan lalau, berjualan di sini, “tanya Ibrahim. Jawab anak muda,”O, itu ayah saya. Telah wafat sebulan yang lalu. Dagangan kurmanya saya teruskan, karena menjadi warisan saya.”

Ibrahim terkejut. Lalu menerangkan masalahnya dari awal dan dari akhir. “Karena engkau ahli warisnya, saya minta penghalalan atas sebutir kurma milik ayahmu yang telah saya  makan.”

“Bagi saya pribadi, tak masalah. Tapi ahli waris ayah saya ada dua belas orang. Dan peristiwa kurma yang kau makan terjadi ketika ayah masih hidup. Masih belum buka waris. Saya menghalalkan, tapi entah saudara-saudara saya.”

“Di mana alamat-alamatnya? Akan saya temui satu persatu…”

Anak muda itu memberikan alamat saudara-saudarnya. Ada yang dekat, masih di kota Mekah. Ada yang jauh di kota-kota lain. Ibrahim segera berangkat. Menemui satu persatu. Menjelaskan masalahnya dan minta sebutur kurma itu dihalalkan, agar do’anya tidak ditolak Allah SWT.

Tiga bulan ia berkeliling. Alhamdulillah, semua menghalalkan kurma sebutit itu.

Waktu datang lagi ke Kubah Sakhra, Malaikat yang dulu, masih ada di sisi batu karang. Yang satu berkomentar,”Tuh Ibrahim bin Adham yang do’anya ditolak gara-gara memakan sebutir kurma tak halal.” “Oh,tidak. Sekarang do’anya sudah makbul lagi, karena ahli waris pemilik sebutir kurma sudah menghalalkannya.” [  ]

Exit mobile version