Jernih.co

Selamat Datang di Republik Talkshow: Negeri yang Hebat dalam Bicara, Lupa dalam Bekerja

Ilustrasi, maghrib.id

Kalau ada acara internasional, Indonesia akan menyulap venue semegah mungkin, lengkap dengan tarian tradisional, dekorasi eksotis, dan penyambutan yang membuat tamu-tamu luar negeri merasa seperti bintang film. Pada U.S.-ASEAN Summit 2023 saja, Wakil Presiden AS Kamala Harris bahkan mengatakan acaranya “seperti Hollywood”.

Oleh : Rahmat Mulyana*

JERNIH– Jika berbicara adalah olahraga Olimpiade, Indonesia pasti sudah mengantongi emas setiap tahun. Kita punya keahlian luar biasa dalam diskusi, seminar, panel, dan forum-forum canggih yang menjanjikan solusi bagi negeri. Sayangnya, prestasi kita dalam eksekusi justru mirip tim sepak bola nasional di Piala Dunia: penuh harapan di awal, penuh alasan di akhir.

Konferensi Adalah Industri, Eksekusi Adalah Mimpi

Coba hitung berapa banyak konferensi yang diadakan setiap tahunnya di Jakarta, Bali, atau kota-kota lain dengan fasilitas hotel bintang lima? Mulai dari Future of Indonesia’s Digital Economy, Unlocking Indonesia’s Potential, hingga Sustainability Summit 2025—semuanya terdengar spektakuler, penuh janji perubahan. Tapi, perubahan itu sendiri? Ah, itu bisa didiskusikan lagi di konferensi tahun depan.

Rahmat Mulyana

Kalau konferensi adalah industri, kita sudah pasti ekspor terbesar dunia. Ada industri event organizer yang berkembang pesat, PR perusahaan yang sibuk membuat post LinkedIn “senang sekali dapat menjadi bagian dari panel”, dan tentu saja, para pembicara langganan yang lebih sering duduk di panggung diskusi ketimbang meja kerja mereka sendiri.

Para Bintang Panggung: “Panel Mafia” dan Kasta Konferensi

Di dunia bisnis dan pemerintahan Indonesia, ada sekumpulan orang yang telah naik kasta dari pekerja menjadi panelis profesional. Para Panel Mafia ini memiliki ciri khas:

1.CEO Serba Sibuk – Katanya sih pemimpin perusahaan besar, tapi sepertinya lebih banyak muncul di panggung konferensi daripada di kantornya.

2.Tech Bro Evangelist – Menganut agama disrupsi dan mengajarkan dunia bahwa semua bisa di-startup-kan, padahal bisnisnya cuma bikin aplikasi yang sama dengan seribu pendahulunya.

3.Pejabat yang Cinta Sorotan – Berkhotbah tentang pemangkasan birokrasi, tapi seminggu kemudian justru menambah formulir tambahan yang wajib di-stempel lima instansi.

4.Moderator Setia – Tidak banyak berkontribusi, tapi jago mengangguk dengan ekspresi “saya sangat paham”.

5.Konsultan Ber-PowerPoint – Datang membawa presentasi penuh angka-angka dan prediksi yang indah, tapi setelah acara selesai, tidak ada yang ingat apa isinya.

Mereka ini bukan sekadar pembicara, tapi warga tetap konferensi, yang berputar seperti planet mengelilingi matahari, atau dalam hal ini, hotel bintang lima yang selalu menjadi tempat acara.

Jokowi dan Diplomasi Hollywood: “Yang Penting Mewah”

Presiden Joko Widodo tampaknya juga paham betul bahwa acara besar lebih berkesan daripada hasil kerja nyata. Makanya, kalau ada acara internasional, Indonesia akan menyulap venue menjadi semegah mungkin, lengkap dengan tarian tradisional, dekorasi eksotis, dan penyambutan yang membuat tamu-tamu luar negeri merasa seperti bintang film.

Contoh paling nyata? Saat IMF-World Bank Annual Meeting 2018 di Bali yang menelan biaya puluhan juta dolar. Lalu ada juga G20 Summit di Bali 2022, dan tentu saja U.S.-ASEAN Summit 2023, di mana Wakil Presiden AS Kamala Harris bahkan mengatakan acaranya “seperti Hollywood”.

Bukan tidak mungkin, kalau para pemimpin dunia berkumpul di Indonesia, mereka lebih terkesan dengan kualitas katering dan tari-tarian sambutan ketimbang kebijakan yang dibahas.

Indikator Pembangunan? Lihat Jumlah Event, Bukan Hasil

Coba kita ukur efektivitas pemerintah bukan dari jumlah kebijakan yang berhasil diterapkan, tetapi dari jumlah acara yang mereka buat. Sebab, dalam realitas pemerintahan kita:
-Regulasi tetap ribet, meski ada 100+ konferensi tentang Ease of Doing Business.

-Ekonomi digital masih jalan di tempat, walaupun ada ratusan seminar tentang digital transformation.

-Startup kita masih jualan yang itu-itu saja, meski ribuan forum membahas inovasi.

-Jakarta masih tenggelam, meskipun ada puluhan summit tentang sustainability setiap tahunnya.

Kesimpulannya? Semakin banyak acara dibuat, semakin jelas bahwa kita lebih suka membicarakan masalah daripada menyelesaikannya.

Solusi (Yang Mungkin Tidak Akan Pernah Dijalankan)

Baiklah, karena kita juga bisa bermain dalam dunia wacana, berikut beberapa solusi yang bisa diterapkan—kalau saja kita benar-benar ingin berubah:

1.Laporan Progres Wajib – Setiap konferensi harus melaporkan apa yang sudah dicapai dari konferensi tahun sebelumnya. Kalau tidak ada hasil? Maaf, konferensi dilarang diadakan lagi.

2.Kurangi Panel, Tambah Workshop – Daripada acara penuh teori dan diskusi kosong, lebih baik bikin workshop eksekusi yang langsung menciptakan solusi nyata.

3.Blacklist Panelis Langganan – Jika seseorang sudah berbicara di lebih dari lima konferensi dalam setahun, beri mereka istirahat. Mungkin dengan begitu, mereka bisa benar-benar mengerjakan sesuatu yang layak dibahas.

4.Tolak Kesuksesan Acara Berbasis Foto & LinkedIn Post – Konferensi dianggap sukses bukan karena jumlah peserta dan post LinkedIn, tetapi berdasarkan hasil nyata yang diimplementasikan setelah acara.

5.Pajak Konferensi Berlebihan – Jika jumlah konferensi di Indonesia mencapai angka tertentu, kenakan pajak untuk acara yang tidak memiliki target eksekusi yang jelas.

Namun, mari kita jujur. Solusi ini mungkin akan berakhir seperti semua key takeaway di konferensi Indonesia: dicatat, didiskusikan, lalu dilupakan.

Kesimpulan: Negeri Talkshow, Bukan Negeri Aksi

Indonesia telah menjadi Republik Talkshow, di mana pemerintah, eksekutif, dan pemimpin bisnis lebih sibuk tampil di forum-forum mewah ketimbang benar-benar menyelesaikan masalah. Kita gemar memoles citra dengan acara spektakuler tanpa peduli apakah ada dampak nyata bagi masyarakat.

Sementara itu, realitas di luar ruang konferensi tetap sama: birokrasi berbelit, startup cuma jualan promo diskon, dan isu lingkungan hanya jadi bahan pidato. Tapi tidak masalah! Jika ada yang protes soal kurangnya eksekusi, kita bisa bikin satu lagi konferensi bertajuk “Meningkatkan Eksekusi: Dari Wacana ke Aksi”. Lokasi? Tentu saja, di hotel bintang lima.

Jadi, siap untuk konferensi berikutnya? Jangan lupa daftar early bird, biar dapat kopi gratis di acara! []
*Kepala Pusat Studi Kebijakan Publik IAI Tazkia

Exit mobile version