Benarkah keempat pulau ini memang milik Aceh? Di sini sejarah bicara. Bahkan tanpa perlu masuk ke perdebatan akademis yang rumit, cukup membuka kembali pelajaran sejarah di sekolah menengah ataupun buku-buku ensiklopedia umum. Di sana terang disebutkan, kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam dahulu meliputi seluruh Aceh sekarang, sebagian besar pesisir timur dan barat Sumatera, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya: Pahang, Kedah, dan Johor.
Oleh : Werdha Candratrilaksita*
JERNIH– Empat pulau yang sejak lama menjadi bagian dari Aceh tiba-tiba saja dipindahkan ke Sumatera Utara. Keputusan ini tertuang dalam surat resmi Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang diteken Tito Karnavian pada 25 April 2025.
Empat pulau yang dimaksud ialah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Secara administratif, semua pulau itu selama ini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Sejatinya keputusan itu sudah berlaku sejak sebulan lalu. Namun gaungnya baru meledak ketika beredar video viral Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (atau Muallem), meninggalkan pertemuan dengan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution. Pertemuan itu rencananya membahas peluang kolaborasi pemanfaatan keempat pulau tersebut.
Jejak Sejarah Aceh Darussalam
Pertanyaan dasarnya sederhana: benarkah keempat pulau ini memang milik Aceh? Di sini sejarah bicara. Bahkan tanpa perlu masuk ke perdebatan akademis yang rumit, cukup membuka kembali pelajaran sejarah di sekolah menengah atau pun buku-buku ensiklopedia umum. Di sana terang disebutkan, kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam dahulu meliputi seluruh Aceh sekarang, sebagian besar pesisir timur dan barat Sumatera, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya: Pahang, Kedah, dan Johor.
Dari sisi barat Sumatera, pengaruh Aceh membentang dari Singkil sampai Pariaman. Barus, yang kini masuk Tapanuli Tengah Sumut, termasuk wilayah yang pernah berada dalam kekuasaan Aceh. Maka secara logika sejarah, wajar saja bila keempat pulau di dekat Singkil itu diklaim sebagai bagian dari Aceh.
Ada pula sumber utama: Bustanussalatin, kitab karya ulama besar Aceh, Syeikh Nurudin Ar-Raniri, dari abad ke-17. Kitab tua ini sudah ratusan tahun tersimpan di Perpustakaan Tanoh Abee, Aceh Besar, dan menjadi rujukan penting dalam penulisan sejarah Aceh, termasuk penyusunan kurikulum sejarah nasional.
Penulis memang bukan sejarawan. Namun, pengalaman hidup di Aceh, Sumut, dan Sumbar memperlihatkan banyak bukti lain tentang pengaruh Aceh di kawasan pesisir Sumatera. Misalnya, kemiripan arsitektur masjid dan benteng, kesamaan adat istiadat pernikahan, hingga rujukan ulama-ulama yang sama: Syeikh Nurudin Ar-Raniri, Syeikh Abdurrauf As-Singkili, hingga Syeikh Burhanuddin Ulakan dari Pariaman. Cerita turun-temurun masyarakat pesisir pun banyak mengisahkan wilayah mereka sebagai bagian Aceh Darussalam di masa lampau.
Bukti di Meja, Kenapa Dipindahkan?
Meski Tito Karnavian mempersilakan siapa saja menggugat ke PTUN, seyogianya keputusan pemindahan itu tak dilakukan secara tergesa. Keempat pulau itu, sejak 1949, sudah termasuk Karesidenan Aceh. Lalu pada 1956, saat Aceh resmi menjadi provinsi sendiri terpisah dari Sumatera Utara, statusnya tetap bagian dari Aceh.
Berbagai fakta administrasi juga menunjukkan hal serupa. Pemerintah Aceh membangun fasilitas di sana: dermaga, tugu batas wilayah, mushala, rumah singgah, semua dibiayai APBD Aceh. Surat keputusan Kepala Inspeksi Agraria Aceh pada 1965 menyatakan keempat pulau tersebut sebagai milik pribadi warga Aceh Selatan. Peta resmi TNI AD tahun 1978 juga memasukkan keempat pulau itu ke dalam wilayah Aceh. Bahkan hingga kini, budaya masyarakatnya pun masih kental Aceh. Tidak ada jejak keterlibatan Pemprov Sumut dalam pengelolaan di sana.
Ancaman Eksploitasi: Belajar dari Raja Ampat
Persoalan tidak berhenti pada tarik-menarik wilayah semata. Tersimpan kekhawatiran lain: eksploitasi sumber daya alam. Empat pulau ini menyimpan kekayaan hayati: terumbu karang, hutan bakau, biota laut, pasir putih, bahkan dangkalan yang muncul saat laut surut. Gubernur Sumut Bobby Nasution sempat menyebut adanya potensi cadangan minyak dan gas bumi di kawasan tersebut.
Bila kelak eksplorasi migas benar dilakukan, risikonya bukan kecil. Keanekaragaman hayati yang unik itu terancam rusak. Padahal kawasan ini bukan sekadar kawasan bahari, tapi juga kawasan cagar budaya. Tak jauh dari keempat pulau itu, berdiri Barus—salah satu pintu masuk Islam di Nusantara, sekaligus jalur awal masuknya Portugis, Belanda, hingga misionaris Kristen. Barus bahkan tercatat dalam sejarah Mesir Kuno sebagai penghasil kapur barus (Dryobalanops aromatica), yang disebut dalam Al-Qur’an dan digunakan membalsem mumi.
Penulis berharap, pemerintah pusat tak lagi salah langkah. Belajarlah dari Raja Ampat yang nyaris hancur akibat izin pertambangan, sebelum akhirnya pemerintah mencabut izin empat perusahaan tambang di sana. Jangan biarkan kisah buruk itu berulang di empat pulau kaya hayati di perbatasan Aceh dan Sumut. [ ]
* Mahasiswa Doktoral Administrasi Publik Universitas Diponegoro