Karena yang diperlukan adalah suara yang bersipongang, kadang para buzzer itu seolah apa yang digambarkan Upanishad di versi-versi awal, manakala orang-orang baik yang menyebarkan warta kebenaran dianggap sebagai sebarisan anjing: yang satu memegang ekor anjing di depannya, sementara mulut semuanya dengan takzim mengulang-ulang kalimat yang sama.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–“Saya telah terlalu banyak melihat kebencian.” Kalimat itu diucapkan Martin Luther King,Jr, tokoh pergerakan Hak Asasi Manusia Amerika Serikat di tahun 1960-an. Kita tahu, kebencian pula yang mengirimkan butir-butir peluru pejal yang mengakhiri hidupnya.
Andai saja Martin Luther King hidup saat ini. Jika saja, dan ia mungkin akan lebih keras mendesah, mengeluhkan apa yang dilihat, yang pasti pula menyesakkan dada, menyempitkan ruang nafasnya.
Andai Martin Luther hidup saat ini, di era saat media sosial tak hanya meraja, tapi juga merajalela. Di zaman medsos, manakala orang-orang tidak hanya bisa saling sapa, namun juga saling cerca tiap detik, dan tenggelam dalam kemabukan keributan. Seolah berhantam secara maya adalah candu, atau mungkin jadi sejenis hobi baru.
Lalu teknologi membentuk waktu bagi datangnya pekerjaan baru. Para pendengung, kaum buzzer. Di Indonesia, entah mengapa mereka sering dilekatkan sebagai persona yang telah merelakan diri meletakkan nurani, menyimpan lebih dulu otak di almari sebelum melakukan kerja dan aksi. Persoalannya, ini memang pekerjaan yang meniscayakan tingginya rasa tega dan tumpulnya tenggang rasa. Karena yang diperlukan adalah suara yang bersipongang, kadang para buzzer itu seolah apa yang digambarkan Upanishad di versi-versi awal, manakala orang-orang baik yang menyebarkan warta kebenaran dianggap sebagai sebarisan anjing: yang satu memegang ekor anjing di depannya, sementara mulut semuanya dengan takzim mengulang-ulang kalimat yang sama.
Di masa manakala orang bisa menyerang sambil sembunyi di balik pintu besi, orang kate dan manusia kerdil pun bisa menjelma laiknya raksasa. Jika tak pernah terungkap dan terbuka jati dirinya, publik wajar menganggap mereka preman bernyali besar. Umpatan mereka menggelegar, tudingan mereka terasa bak sejuta telunjuk yang keras terpentang, saking hebatnya serangan.
***
Hari-hari ini, nama Eko Kunthadi (kembali) bergaung. Wajar saja, kita kadang tak bisa lepas dari profesi yang ditekuni. Eko konon seorang buzzer, profesi baru yang kita ulas tadi. Lebih tepatnya, ia sering dsebut-sebut sebagai buzzer Istana karena celotehannya selalu mengesankan membela kebijakan pemerintah Jokowi. Seolah, kalau memakai jargon di masa lalu, ia jenis orang yang “pejah gesang nderek Jokowi”. Begitu.
Sebagai buzzer politik, tempat berkubang dan wilayah cari makan Eko tentu saja dunia politik. Pada 2021 ia terpilih sebagai ketua umum Koordinator Nasional (Kornas) Ganjarist, warga yang mendediksikan hidup mereka untuk membela Ganjar Pranowo, untuk periode 2021-2026. Baru saja posisi itu ia tinggalkan. Ada yang bilang dipaksa kalangan internal karena justru posisinya saat ini merugikan Ganjar yang tengah berproses menuju Pilpres 2024. Ada pula media yang menyebutkan itu terjadi tanpa paksaan. Eko sadar diri, alih-alih membawa untung, bukan tak mungkin yang diberikannya kepada nama Ganjar malah sisi buntung. Tapi yang mana pun yang benar, memangnya kita peduli?
Konon, di masa mudanya ia sempat mematangkan diri di sebuah organisasi mahasiswa luar kampus. Organisasi kokoh yang telah menabalkan sekian banyak nama pejabat publik dan politisi negeri ini. Institusi kemahasiswaan, yang meski kian terasa tak bisa keluar dari jerat pragmatisme, tetap saja dilekatkan sebagai lembaga yang punya hawa agama.
Latar belakang itu tak urung membuat banyak orang tercengang,”Kok bisa?” Tentu saja bisa, karena hidup hanya bisa dibekukan Profesor Charles Xavier. Itu pun hanya dalam komik Marvel. Di realitas, yang berjalan justru keyakinan purba filsuf Heraclitos,”Panta rei—semua mengalir, segalanya berubah.” Apa istimewanya dia hingga tak terangkum dalam keyakinan besar itu?
Saya sempat membaca beberapa postingnya sebelum kejadian terakhir terjadi. Mulut Eko memang pedas buat sebagian kalangan public. Lidahnya tajam, terutama kepada beberapa kalangan orang Islam, saudaranya seagama.
Soal itu, tak banyak yang tahu mengapa. Mungkin saja berhubungan dengan pengalaman pribadi yang ia temui manakala aktif di organisasi kemahasiswaan bernuansa agama tadi. Dan itu wajar saja. Bukankah tak mungkin Darmawan Sepriyossa dikecewakan Organisasi Pemuda Penggemar Teddy Bear Cabang Richmon, Virginia, misalnya? Saya lebih mungkin kecewa akan Karang Taruna kampung saya.
Dari masa purba pun kita gampang memetik contoh. Dalam “The Story of Civilization”, misalnya, Will Durant menukil tokoh Verocana yang selama 32 tahun jadi murid Prajapati di Swargamaniloka. Tapi saat kembali diturunkan ke bumi, ia justru mendurhaka para dewa dengan mengajarkan ateisme.
Atau, kelamaan hidup di lingkungan yang ‘nyantri’—duilah!–, membuat dunia luar memiliki pesona jauh di atas sebenarnya bagi dia. Ibaratnya seperti yang dialami Marco Polo, yang melihat badak dalam perjalanan melintasi Sumatra pada abad 13, sebagai bukti adanya hewan dongeng Eropa, Unicorn!
Kita tahu, dengungan mutakhir Eko membuatnya terjerat masalah. Cuitannya yang melontarkan kalimat tidak dewasa untuk orang setua dia, memantik persoalan. Eko dianggap menghina Ustadzah Imaz Fatimatuz Zahra, putri pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Lirboyo adalah pondok besar, wajar membuat umat Islam—terutama—di Jawa Timur, gusar. Bukan sedikit yang mendesak agar ia dipolisikan, cara-cara khas para buzzer Istana. Jika benar Eko (telah) meminta maaf, saya kira itu sebaik-baiknya sikap dia saat ini. [dsy]