Site icon Jernih.co

Shamsi Ali Tentang Peristiwa Ade Armando*

Pakar ilmu komunikasi Ade Armando, diselamatkan polisi setelah mengalami penganiayaan oleh massa yang disebut-sebut bukan massa aksi mahasiswa dalam demonstrasi 114, Senin lalu.

Dari “Syariah itu tidak ada”, “saya Muslim tapi tidak percaya Syariah”, “azan itu panggilan biasa”, “Al-Quran itu bisa dibaca dengan cara Minang, Sunda, Jawa, dan lain”. Dari “shalat lima waktu tidak diperintahkan dalam Al-Quran”, hingga “usulan menghapuskan haji dan umrah karena hanya memiskinkan umat”. Bahkan dengan kasar “menuduh orang Islam dungu karena banyak mikirin selangkangan”.

Oleh   : Shamsi Ali*

JERNIH– Sebuah peristiwa menjadi viral dari acara demontrasi mahasiswa se-Indonesia di Jakarta, kemarin. Pemukulan atau kekerasan terjadi kepada seorang aktivis media sosial, Ade Armando, yang didahului dengan cekcok mulut dengan beberapa pihak, termasuk dengan emak-emak yang hadir.

Saya memakai kata “salah satu” karena peristiwa yang ‘terkecam’ ini sudah sering kita saksikan. Beberapa kali demonstrasi ada saja yang jadi korban, bahkan nyawa pun hilang begitu mudah dan murah. Hanya saja kali ini dibuat berbeda. Berita-berita media, termasuk media mainstream nampak tidak terlalu peduli dengan ‘substansi’ tuntutan mahasiswa. Hampir semuanya mengarah kepada kekerasan yang menimpa Ade Armando.

Saya kemudian menjadi terheran-heran, bahkan kebingungan. Selama ini ketika terjadi kekerasan, baik kepada rakyat biasa, mahasiswa, bahkan kepada polisi itu sendiri, rasanya biasa-biasa saja. Tapi Ade Armando kok heboh sedunia? Siapa dan apa kelebihan, dan sebenarnya apa yang sedang diperankan Ade Armando?

Sekali lagi saya tegaskan jika saya menentang kekerasan apa pun. Siapa pun dan apa pun yang dilakukan seseorang, termasuk Ade Armando, harusnya direspons melalui kanal hukum dan aturan maupun etika akhlak yang ada.

Dalam sebuah tatanan masyarakat yang memiliki pemerintahan sah, warga tidak diperbolehkan main hakim sendiri. Dan karenanya saya menyerukan agar pelaku maupun ‘otak pelaku’ harus segera ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perlakuannya.

Namun pada saat yang sama saya juga ingatkan hendaknya setiap peristiwa menjadikan kita mampu melakukan introspeksi dan perenungan. Sebenarnya kenapa sebuah peristiwa itu terjadi? Apa penyebab dan motivasinya? Di saat itulah harusnya kita bisa menemukan bahwa pada alam semesta ini ada hukum ‘sebab akibat’. Adanya reaksi karena disebabkan oleh aksi yang mendahului.

Jika kita mengikuti sepak terjang Ade Armando dalam beberapa tahun terakhir pastinya memang banyak yang tersentak sensitivitasnya. Dari opini yang jelas menentang “dasar-dasar keyakinan dan praktik agama” hingga ke kata-kata merendahkan dan menghina pemeluk agama tertentu. Dan lebih mengherankan lagi agama itu adalah agama yang diakui sebagai agamanya sendiri.

Dari “Syariah itu tidak ada”, “saya Muslim tapi tidak percaya Syariah”, “azan itu panggilan biasa”, “Al-Quran itu bisa dibaca dengan cara Minang, Sunda, Jawa, dan lain”. Dari “shalat lima waktu tidak diperintahkan dalam Al-Quran”, hingga “usulan menghapuskan haji dan umrah karena hanya memiskinkan umat”. Bahkan dengan kasar “menuduh orang Islam dungu karena banyak mikirin selangkangan”.

Semua itu–dan banyak lagi yang lain–menjadi bagian dari “insensitivitas” Ade Armando dalam menyampaikan opini-opini yang diakui sebagai opini keagamaan. Sebenarnya tidak saja tidak sensitif kepada agama dan umat ini. Tapi sekaligus menggambarkan “illiterasi” (kejahilan/kebodohan) Ade Armando dalam memahami agama. Sekaligus kejahilan dan kebodohannya dalam mengkomunikasikan ide-ide nyeleneh binti tersesat dan menyesatkan itu. Padahal ia ditenggarai sebagai ahli komunikasi.

Hal yang ingin saya tekankan kali ini adalah mengingatkan pentingnya semua pihak untuk menumbuhsuburkan dua hal. Satu, urgensi menumbuhkan “religious sensitivity”. Yaitu membangun rasa sensitif dan kepedulian rasa (sense) terhadap agama dan rasa beragama orang lain.

Dua, lebih dari sekedar sensitif, seseorang yang berakal itu akan berusaha membangun religious literacy (literasi beragama). Yaitu berusaha memahami agama dan rasa beragama orang lain. Dalam bahasa Al-Qur’an inilah yang disebut dengan “lita’arafu” atau mengenal dan memahami (Surah 49:13).

Hal penting lainnya yang diingatkan oleh peristiwa semacam ini adalah urgensi penegakan hukum secara serius dan merata. Jika selama ini Ade Armando dengan terang-terangan melakukan penghinaan kepada agama dan pemeluk agama kenapa masih saja berkeliaran bahkan mengaku dilindungi? Itulah yang saya maksud dalam sebut pernyataan baru-baru ini, bahwa ketika sense of justice hilang pastinya akan menimbulkan keresahan publik.

Pada akhirnya apa yang menimpa Ade Armando juga menunjukkan bahwa kita tidak selalu hidup dalam dunia maya. Ada masanya akan menjadi dunia nyata. Dunia nyata itulah yang dirasakan oleh Ade Armando setelah sekian lama terbuai oleh pelukan dunia mayanya.

Tapi ingat, setelah dunia nyata saat ini akan ada dunia nyata yang pasti lagi. Dunia di mana segalanya akan hadir kembali dan dipertanggung tawabkan. Masalahnya yakinkah Ade Armando dengan itu? Allahu a’lam! [  ]

NYC Subway, 12 April 2022

*Judul telah diubah oleh redaksi

Exit mobile version