Site icon Jernih.co

Sindrome Mataraman Belum Mati

Kalau di era Pak Harto birokrat jadi pemain kunci, maka dalam demokrasi ala reformasi, pemain kunci pengganti aparat birokrasi adalah politisi partai. Mereka inilah bupati-bupati modern namun dengan mental feodal era kolonial.

Oleh   : Hendrajit*

JERNIH–Di alam pikir budaya politik Jawa, ternyata ada dua konsep yang secara teoritis satu kesatuan, padahal secara praktik bisa dibelah dua dan tidak saling berhubungan.

Pertama, kedaulatan atau istilah Jawanya “Parentah”. Satunya lagi, pelaksana kekuasaan atau dalam Jawa adalah “Panguasa”.

Hendrajit

Dalam pakem murni suatu kerajaan sebenarnya itu biasa. Kedaulatan atau Parentah ada pada ranah raja atau ratu. Panguasa atau pelaksana kekuasaan ada pada Patih atau Perdana Menteri.

Namun pada era penjajahan Belanda sejak 1830, secara jeli memanfaatkan celah ini untuk membangun struktur politik buat melayani skema penjajahannya.

Kasunanan Solo dan Kasultanan Yogya, merupakan proyek rintisan Belanda. Setelah membatasi Kasunan Solo dan Kasultanan Yogya pada wilayah-wilayah yang semakin kecil, Belanda berhasil memaksa kedua kerajaan untuk melimpahkan hak pelaksanaan kekuasaannya terhadap Banyumas dan Bagelen.

Dengan begitu, para bupati kedua daerah itu ditunjuk atas rekomendasi dan persetujuan Belanda. Maka walaupun para calon bupati Bagelen dan Banyumas direkrut dari trah kaum bangsawan keraton, namun bupati terintegrasi sebagai aparat birokrasi pemerintah kolonial Belanda.

Cara Belanda macam ini, jadi bom waktu saat Indonesia merdeka. Mental para aparat birokrasi dari atas sampai bawah memandang dirinya sebagai raja-raja kecil yang sok kuasa, lebih suka dilayani ketimbang melayani warga masyarakat, dan memperkaya diri tanpa kepekaan pada nasib orang banyak. Kecuali untuk diri, keluarga dan keturunannya, maupun kelompoknya.

Dalam menyikapi skema penjajahan gaya baru di era modern sekarang, warisan penjajah ini juga memudahkan asing untuk menerapkan penjajahan nirmiliternya.

Tidak beda dengan mentalitas para bupati zaman dulu yang patuh pada birokrasi penjajahan Belanda namun melestarikan budaya feodalisme yang melekat pada jabatan bupati, jaksa, patih, wedana dan asisten wedana, maka mental birokrasi terbentuk sampai sekarang.

“Oke kalian boleh jajah kami, tapi ibarat kami ini kepala mandor bangunan, semua tenaga kerja bangunan harus keluarga kami. Mulai dari tukang semen, tukang cat, tukang cor, dan sebagainya.”

Dalam era demokrasi pasca reformasi, mentalitas birokrasi ala kolonial sarat feodalisme itu bukannya mati. Tapi malah meluas ke ranah politik kepartaian dan parlemen. Yang akhirnya barang tentu, istana.

Kalau di era Pak Harto birokrat jadi pemain kunci, maka dalam demokrasi ala reformasi, pemain kunci pengganti aparat birokrasi adalah politisi partai. Mereka inilah bupati-bupati modern namun dengan mental feodal era kolonial.

Inilah hakekat oligarki dan kartel politik zaman sekarang. Sebagai broker terhadap kepentingan asing tetap dengan mindset feodalisme tempo doeloe: “Silakan jajah kami , tapi dalam pelaksanaannya, dalam operasionalisasinya, yang mengerjakan orang-orang kami semua.”

Maka itu, dalam membaca ulang budaya Nusantara, harus dipilah secara tepat, mana yang murni kearifan lokal, dan mana kearifan lokal yang ditunggangi feodalisme. [ ]

*Pengkaji geopolitik dan wartawan senior

Exit mobile version