Arief terus menunjukkan perlawanan terhadap Orde Baru. Menjelang Pemilu 1971, ia mendirikan “Golongan Putih” (Golput). Dan bersama WS Rendra, mengadakan “Malam Tirakatan” untuk merenungkan perjalanan bangsa dan negara yang senantiasa menjauh dari cita-cita Proklamasi 1945 “adil makmur sejahtera
Oleh : Usep Romli H.M.
Ikut berdukacita atas meninggalnya Prof.Dr.Arief Budiman beberapa hari lalu. Banyak obituari mengiringi kepergiaan pakar psikologi dan sosiologi itu. Rata-rata berisi kenangan keakraban dengan beliau selama berkiprah di dunia intelektual Indonesia. Baik sebagai pengajar di perguruan tinggi dalam negeri, maupun di luar negeri. Terutama di Melbourne, Australia.
Ada sisi lain yang kurang terungkap. Antara lain, kiprah Arif Budima di bidang sastra dan budaya. Walaupun tak pernah menghasilkan karya sastra, baik prosa maupun puisi, Arif Budiman sejak duduk di bangku SAM telah banyak menulis tentang sastra dan budaya. Terutama tentang seni lukis dan drama. Semacam pengamat atau penganalisis bentuk-bentuk seni dan budaya.
Karena itu, sangat dimengerti, jika pada tahun 1963, Arief Budiman yang ketika itu masih bernama Soe Hok Jien, menjadi salah seorang tokoh pencetus “Manifesto Kebudayaan”. Bersama H.B.Jassin, Wiratmo Soekito, Bokor Hutasuhut, Taufik Ismail, Goenawan Mohammad, Bastari Asnin, Zaini, Gregorius Sidharta, dll., Arief Budiman berada di garda depan. Mengawal “Manifesto Kebudayaan” yang ditujukan untuk melawan dominasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap arah kebudayaan nasional Indonesia. Lekra/PKI dengan faham “realisme sosial” akan menjerumuskan bangsa dan negara menjadi komunistis.
Perjuangan “Manifesto Kebudayaan” yang oleh pihak PKI disebut “Manikebu”, gagal total. Presiden Soekarno melarangnya (17 Agustus 1964) dengan alasan (yang dibisikkan orang-orang PKI), menghambat dan menodai Manifesto Politik yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara.
Nasib kaum “Manifestan” (pendukung Manifesto Kebudayaan) sangat tragis . Mereka dilarang bekerja di lembaga pemerintahan. H.B. Jassin dipecat dari dosen Fakultas Sastra UI. Wiratmo Soekito diberhentikan dari RRI. Tulisan-tulisan mereka juga dilarang dimuat di media massa yang rata-rata pro-PKI.
Namun Arief Budiman cukup beruntung. Ia mampu menyelesaikan studinya di Fakultas Psikologi UI, hingga lulus pada tahun 1964. Bersama adiknya, Soe Hok Gie, Arief menjadi demonstran anti Orde Lama, setelah peristiwa “G-30-S/PKI”, 30 September 1965, yang berpengaruh terhadap peralihan kekuasaan nasional. Presiden Soekarno pelan-pelan digantikan oleh Jendral Soeharto. Pada masa peralihan yang sulit dan ketat itu, muncul gerakan demonstrasi anti Soekarno/Orde Lama, yang dipelopori Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sepanjang th.1966-1967.
Dalam demo-demo itu, Arief lebih berperan sebagai pemasok gagasan lewat tulisan-tulisannya di harian KAMI, Kompas, Indonesia Raya, Sinar Harapan, dll. Tidak aktif terjun ke lapangan seperti adiknya, yang menuangkan pengalaman berdemo dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” (1982). Soe Hok Gie wafat September 1968, terkena semburan gas beracun ketika mendaki puncak Gunung Semeru, Jawa Timur.
Sikap kritis Arief Budiman, berlanjut hingga ke masa Orde Baru. Berbagai penyimpangan kebijakan Orde Baru terus ia kritisi. Ketika para awak media Mingguan “Mahasiswa Indonesia” (1966-1974) beramai-ramai menjadi calon legislative Golongan Karya (Golkar), untuk Pemilu 1971, Arief Budiman mencela tindakan itu, yang ia anggap menghianati cita-cita perjuangan angkatan 1966 yang anti “establishment”. Kebekuan kekuasaan. Arief sudah memprediksi, Presiden Soeharto dengan Orde Barunya, telah melupakan janji dan rencananya menegakkan “rule of law”, dan anti korupsi. Justru biang-biang kekorupsian sudah bergejala sejak Orde Baru berkuasa. Antara lain, korupsi Bulog.
Padahal menurut Arief, koran “Mahasiswa Indonesia” diterbitkan sebagai penyalur aspirasi angkatan 1966 yang membela hati nurani rakyat. Jika sudah mengikatkan diri kepada satu kekuatan politik, tidak elok lagi.
Polemik berlangsung seru. Para redaktur “MI” yang menjadi caleg Golkar, seperti Rahman Tolleng, Awan Karmawan Burhan, Mansur Tuakia, Sulaeman Tjakrawiguna, Midian Sirait, dll,, memaparkan argumentasi masing-masing. Menolak tuduhan Arief Budiman.
Perbedaan pandangan antara Arief dan “MI” terus berlanjut. Namun tidak muncul lagi ke depan publik. Mereka sepakat membawa visi dan misi masing-masing.
Arief terus menunjukkan perlawanan terhadap Orde Baru. Menjelang Pemilu 1971, ia mendirikan “Golongan Putih” (Golput). Dan bersama WS Rendra, mengadakan “Malam Tirakatan” untuk merenungkan perjalanan bangsa dan negara yang senantiasa menjauh dari cita-cita Proklamasi 1945 “adil makmur sejahtera”, karena kenyataannnya keadilan, kemakmuran, dan kersejahteraan,tetap saja belum terwujud. Banyak contoh ketidakadilan yang berlangsung. Seperti pemerkosaan Sum Kuning, gadis penjual telur, yang kasusnya tenggelam begitu saja, karena terduga pemerkosanya anak seroang pejabat penting. Kasus pemecatan Jendral Polisi Hugeng, karena mengungkap penyelundupan mobil mewah yang dilakukan Robby Cahyadi, seorang cukong “peliharaan” penguasa, dll.
Untuk kegiatannya itu, Arief dan W.S. Redra sempat ditahan pihak berwajib. Bahkan “Golput” gagasan Arief difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga sekarang.
Mungkin untuk meredamnya, pemerintah “menyekolahkan” Arif ke Paris (1971). Kemudian ke Amerika Serikat, hingga meraih gelar Doktor (Ph.D).
Yang unik, skripsi sarjana Arief di Fakultas Psikologi UI adalah tentang Chairil Anwar, penyair Indonesia terkenal yang berusia pendek (1922-1949). Skripsi itu kemudian dijadikan buku, berjudul “Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan” (1976). Pengantar buku itu ditulis di Paris, 2 Maret 1973. Isinya mengupas sajak-sajak Chairil Anwar dari sisi psikolgis dan filsafat. Sangat mendalam dan ilmiah.
Sebuah sumbangan sangat berharga bagi dunia sastra Indonesia. [ ]