Site icon Jernih.co

Sketsa Abadi Sang Begawan Estetika, Mengantar Kepergian Romo Mudji Sutrisno

Warisan terbesarnya adalah teladan tentang bagaimana menjadi sosok yang religius sekaligus sangat humanis dan terbuka. Ia membuktikan bahwa kesalehan tidak harus menjauhkan seseorang dari realitas sosial.

WWW.JERNIH.CO –  Dunia intelektual dan kebudayaan Indonesia kehilangan salah satu lentera terbaiknya. Romo Mudji Sutrisno, S.J., sang imam Yesuit yang lebih dikenal melalui guratan sketsa dan kedalaman filsafatnya, telah menuntaskan ziarahnya di dunia.

Ia tidak hanya pergi sebagai seorang rohaniwan, tetapi sebagai seorang “begawan” yang selama puluhan tahun tekun merawat akal sehat serta kehalusan budi bangsa ini.

Lahir di Surakarta, kota yang membentuk dasar kepekaan estetikanya, Romo Mudji membawa spirit Jawa yang inklusif ke panggung global. Kepergiannya meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada kanvas sejarah pemikiran Indonesia, menyisakan ruang kosong yang selama ini ia isi dengan narasi kemanusiaan yang teduh.

Bagi mereka yang pernah bersinggungan dengannya, Romo Mudji adalah sosok “Jembatan” yang ulung. Ia adalah manusia yang mampu berdiri dengan satu kaki di altar gereja yang sakral, dan kaki lainnya di tengah hiruk-pikuk kesenian rakyat serta pergulatan sosial.

Pendidikan tingginya di Universitas Gregoriana, Roma, tidak menjadikannya penghuni menara gading yang eksklusif. Sebaliknya, ia membawa pulang instrumen filsafat Barat bukan untuk mendominasi, melainkan untuk membedah dan meninggikan kearifan lokal Indonesia.

Ia sangat percaya bahwa Tuhan tidak hanya ditemukan dalam teks doa yang kaku, tetapi juga bergetar dalam jemari perajin wayang, guratan kuas pelukis, hingga suara kritis para aktivis demokrasi yang memperjuangkan keadilan.

Sumbangsihnya membentang luas melampaui sekat-sekat institusi. Sebagai Guru Besar di STF Driyarkara, ia tidak sekadar mengajar teori estetika; ia menanamkan kesadaran fundamental bahwa estetika adalah etika. Baginya, seseorang yang peka terhadap keindahan seharusnya memiliki nurani yang tajam sehingga tidak tega merusak martabat manusia lain.

Di sisi lain, ia dikenal sebagai “Sketsawan Spiritual” yang kerap menangkap esensi jiwa melalui gambar-gambar cepat di atas kertas kecil atau serbet saat berdiskusi.

Bahkan, jejak pengabdiannya menyentuh jantung demokrasi saat ia mendedikasikan diri sebagai anggota KPU periode 2002-2007, membawa misi suci untuk memastikan bahwa politik Indonesia tetap memiliki “roh” dan tidak terjebak dalam prosedur teknis yang kering dan tanpa jiwa.

Kepergiannya memicu gelombang duka yang tulus dari berbagai kalangan. Seorang kolega budayawan mengenangnya sebagai “cermin toleransi yang autentik” yang tidak sekadar bicara tentang perbedaan, tetapi merayakannya dengan tindakan.

Sementara itu, bagi para mahasiswanya, ia adalah “oase” yang mampu mengubah kuliah filsafat yang berat menjadi ruang refleksi yang jernih dan penuh kasih. Romo Mudji adalah pribadi yang “ringan langkah”; ia bisa hadir di pameran seni mewah maupun aksi solidaritas kemanusiaan di jalanan dengan kebersahajaan yang sama, tanpa pernah menonjolkan jubah imamatnya secara berlebihan.

Warisan pemikirannya yang paling abadi terletak pada caranya memaknai budaya. Ia sering mengingatkan bahwa budaya berasal dari kata “budi” dan “daya”—sebuah ikhtiar menggunakan budi pekerti untuk berdaya menciptakan kehidupan yang lebih manusiawi.

Melalui karya monumental seperti buku Estetika: Filsafat Keindahan, ia mewariskan kompas bagi bangsa ini agar tidak kehilangan jati diri di tengah arus globalisasi. Kini, sang petualang rasa itu telah sampai di tujuan akhirnya. Jika selama hidupnya ia sibuk membedah makna keindahan dalam setiap helai realitas, kini ia telah berhadapan langsung dengan Sang Keindahan Mutlak.

Selamat jalan, Romo Mudji. Sketsamu di dunia mungkin telah usai, namun warna pemikiranmu akan terus mewarnai cakrawala Indonesia.(*)

BACA JUGA: Sekilas Paradigma Hierarkis dan Non-hierarkis dalam Filsafat

Exit mobile version