Jernih.co

Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Berpulang, Kisah Raja yang Menjaga Takhta dan Tradisi Jawa

Kepergian Pakubuwono XIII di usia 77 tahun menandai akhir dari satu babak penting dalam sejarah panjang Mataram, meninggalkan jejak pengabdian, rekonsiliasi, dan keteladanan dalam menjaga warisan leluhur.

JERNIH – Keraton Solo muram memendam duka. Minggu pagi, 2 November raja junjungan keraton berpulang. Sri Susuhunan Pakubuwono XIII berpulang pada pukul 07.30 WIB di Rumah Sakit Indriati, Solo Baru, setelah menjalani perawatan intensif sejak September 2025. Pakubuwono XIII wafat akibat komplikasi penyakit yang diderita karena faktor usia, termasuk gangguan ginjal dan kadar gula darah yang tinggi. Kabar kepergian Sang Raja disampaikan secara resmi oleh pihak Keraton dan segera disambut duka mendalam oleh masyarakat Surakarta dan para pemerhati budaya Jawa di seluruh Nusantara.

Lahir di Surakarta pada 28 Juni 1948 dengan nama Gusti Raden Mas Suryo Partono (sebelumnya GRM Suryadi), ia adalah putra tertua dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII. Sejak muda, Sang Raja dikenal tenang, berwibawa, dan memegang teguh ajaran kejawen. Baginya, Keraton bukan sekadar simbol kekuasaan, melainkan pusat spiritual dan kebudayaan Jawa yang harus dijaga dengan hati dan laku.

Sebagai pewaris utama, ia dianugerahi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Hangabehi, dan aktif berkiprah dalam pelestarian budaya Keraton, termasuk saat berperan sebagai Pangageng Museum Keraton Surakarta. Dedikasinya terbukti saat kebakaran besar melanda Keraton pada 1985 — beliau memimpin langsung upaya penyelamatan pusaka dan arsip penting, hingga dianugerahi Bintang Sri Kabadya I atas jasanya.

Perjalanan menuju takhta bagi PB XIII bukanlah kisah yang mudah. Setelah wafatnya PB XII pada 2004, keraton dilanda krisis suksesi yang panjang. Tanpa penetapan putra mahkota resmi, muncul dua klaim atas takhta: dari KGPH Hangabehi (Suryo Partono) dan adik tirinya KGPH Tedjowulan. Konflik ini melahirkan periode “raja kembar” yang berlangsung hampir delapan tahun, memecah kehidupan internal Keraton dan menimbulkan keprihatinan luas di kalangan masyarakat budaya.

Namun, pada tahun 2012, upaya rekonsiliasi difasilitasi oleh Pemerintah Kota Surakarta membuahkan hasil. Tedjowulan mengakui Hangabehi sebagai raja sah dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono XIII, dan menerima gelar kehormatan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung. Momentum ini menandai bersatunya kembali Keraton Surakarta di bawah satu panji kepemimpinan.

Di bawah kepemimpinan Pakubuwono XIII, Keraton Surakarta kembali menegaskan perannya sebagai penjaga warisan budaya Jawa.

Beberapa langkah penting yang diwariskannya antara lain:

Pelestarian Tradisi Adat dan Spiritual

Upacara-upacara sakral seperti Sekaten (peringatan Maulid Nabi) dan Tingalan Jumenengan Dalem (peringatan kenaikan takhta) tetap dijalankan dengan penuh khidmat. Di tengah modernitas, beliau memastikan ritus-ritus tradisional tetap terjaga sebagai pengikat identitas Mataram.

Keraton sebagai Pusat Pendidikan Budaya

PB XIII membuka gerbang Keraton bagi publik dan generasi muda. Ia mendorong kolaborasi seniman, membuka ruang edukasi, dan menjadikan Keraton sebagai laboratorium hidup bagi kesenian, bahasa, serta filosofi Jawa.

Menyiapkan Generasi Penerus

Untuk menjamin keberlanjutan Keraton, pada tahun 2022 PB XIII menetapkan putranya, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Purbaya, sebagai Putra Mahkota. Langkah ini menunjukkan pandangan visioner agar Keraton tetap kokoh di masa mendatang.

Jenazah Sri Susuhunan Pakubuwono XIII disemayamkan secara adat di Keraton Surakarta. Upacara persemayaman dilakukan di Masjid Pujosono, tempat di mana abdi dalem, keluarga, dan masyarakat memberikan penghormatan terakhir.

Pemakaman dijadwalkan pada Rabu, 5 November 2025, sesuai hitungan kalender Jawa yang sakral. Jenazah akan dikirab keluar dari keraton menggunakan kereta jenazah khusus raja, melintasi rute Keraton – Alun-alun Selatan – Loji Gandrung, sebelum diberangkatkan menuju Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri, Bantul, Yogyakarta.

PB XIII akan terlebih dahulu disemayamkan di Pesanggrahan Probo Suyoso, di dalam kompleks Imogiri, sebelum dipindahkan ke kedaton khusus yang akan dibangun untuknya.

Kepergian PB XIII menorehkan duka mendalam, namun juga mengukuhkan warisannya: dedikasi tanpa pamrih untuk menjaga harmoni, budaya, dan spiritualitas Jawa di tengah arus zaman. Di bawah naungannya, Keraton Surakarta kembali menemukan bentuknya sebagai penjaga moral dan budaya bangsa.

Sebagaimana tutur seorang abdi dalem senior, “Sunan Hangabehi iku raja sing ora mung lenggah ing dampar, nanging uga ana ing ati rakyaté.”

(“PB XIII adalah raja yang tak hanya bertakhta di singgasana, tetapi juga di hati rakyatnya.”) (*)

BACA JUGA: Alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon Persembahan bagi Warga dan Sultan Sepuh ke-14

Exit mobile version