Jernih.co

TAKJIL WAR: Ketika Politik Memisahkan, Takjil Menyatukan

Seorang suster berburu takjil. foto : Suster Maxima

Ramadan di Indonesia kali ini memang agak lain dengan fenomena ‘Perang Takjil’ a.k.a. ’Takjil War’. Konflik antarumat beragama yang brutal? Tidak sama sekali, Sodara-sodara! Ini justru gambaran keakraban nonis (“non Islam”) dengan kaum Muslimin di bulan suci nan mulia.

Oleh     :  Akmal Nasery Basral*

JERNIH—1/  Nama Marcel Saerang kembali viral. Bukan sebagai penyanyi boyband Motion, grup yang pernah melambungkan namanya pada 2012-2013, melainkan kini sebagai pendeta. Cuplikan khotbahnya di Gereja Tiberias, Bandung, pada Senin (18/3), muncul di pelbagai platform media sosial, dan ditonton jutaan kali oleh warganet.

Pengkhotbah muda berdarah Manado itu berkelakar, “Untuk agama kita toleran, untuk takjil kita duluan. Jam 3 mereka (umat Islam) sedang lemas (puasa), kita sudah standby,” katanya bersemangat, tawa menggelegar jemaat. “Teman-teman (Muslim) saya mengatakan, Paskah nanti telur-telur kami borong supaya kalian rayakan Paskah dengan Kinder Joy,” lanjutnya membuat jemaat kian terpingkal-pingkal. (Kinder Joy adalah permen dalam kemasan telur plastik yang disukai anak-anak. Separuh isinya krim cokelat dan susu, separuhnya berisi mainan).

Ramadan di Indonesia kali ini memang agak lain dengan fenomena ‘Perang Takjil’ a.k.a. ’Takjil War’. Konflik antarumat beragama yang brutal? Tidak sama sekali, Sodara-sodara! Ini justru gambaran keakraban nonis (“non Islam”) dengan kaum Muslimin di bulan suci nan mulia.

Istilah ‘ takjil war’ terinspirasi dari ‘ ticket war (perang tiket)’ yang terjadi ketika publik membeli tiket konser musisi internasional. Tersebab jumlah tiket terbatas, tak semua peminat konser bisa dapat. Kondisi serupa terjadi dalam ‘ takjil war’. Berapa banyak pun Anda punya uang jika takjil sudah ludes, apa yang mau dibeli untuk berbuka puasa?

Takjil adalah kata serapan dalam bahasa Indonesia untuk ‘makanan kecil/kudapan buka puasa’. Sejatinya, kata bahasa Arab ini berarti “menyegerakan” (kata kerja transitif) bukan “makanan buka puasa” (kata benda). Apa yang harus “disegerakan”? Berbuka (membatalkan) puasa begitu terdengar azan maghrib. Tak boleh ditunda-tunda meski tubuh masih kuat menahan lapar dan dahaga.

Biasanya umat Islam membeli takjil sesudah salat ashar atau sesudah jam 4 petang sekaligus ngabuburit (jalan-jalan sore menjelang buka puasa). (Dalam basa Sunda, artinya “mendatangi waktu burit atau petang”–redaksi). Namun kini di banyak tempat penjualan takjil, traditional appetizer  aneka jenis itu sering sudah habis bahkan pada jam 2-3 diborong pembeli: dari cewek berpakaian seksi hingga biarawati berpenampilan rapi. Singkatnya: dari kalangan nonis. Konteks itulah yang diceritakan Pendeta Saerang dengan kocak di atas.

2/  Ada beberapa alasan mengapa nonis ikut semangat berburu takjil. Pertama,   beragam penganan tradisional yang susah ditemukan pada bulan-bulan lain, muncul bersamaan di bulan Ramadan. Ada nuansa serpihan tradisi dan memori kultural bagi kalangan tua, ada dorongan eksplorasi rasa bagi generasi muda.

Novelis Jonathan Safran Foer dan pengajar penulisan kreatif di New York University mengatakan, “Food is not rational. Food is culture, habit, craving, identity,” untuk menggambarkan kondisi ini.

Kedua, di tengah suasana kontestasi pilpres yang kadang menimbulkan gesekan di kalangan akar rumput–tak jarang gesekan itu terpicu oleh isu bermuatan agama–membuat kondisi masyarakat tak bisa sepenuhnya rileks, terutama setahun terakhir. Ketegangan sampai tahap tertentu muncul. Diakui atau tak diakui.

Datangnya bulan Ramadan dan kebutuhan akan takjil menjadi katup pelepas tekanan (pressure relieve valve) yang alami di kalangan masyarakat beragam keyakinan. “There is no love sincerer than the love of food,” ungkap George Bernard Shaw. Kalimat itu bisa juga diparafrasekan dengan sedikit imajinasi menjadi “ketika politik memisahkan, takjil menyatukan.”

Ketiga, keharmonisan hubungan nonis dan kaum Muslimin dalam dunia per-takjil-an sesungguhnya sudah berjalan lama, bukan baru tahun ini saja. Hanya, masifnya medsos saat ini menjadi corong utama yang semakin memperkuat fenomena ‘Perang Takjil’ ini menjadi begitu membahana.

Di banyak tempat, para nonis bukan hanya menjadi konsumen (pembeli) untuk konsumsi sendiri. Mereka pun ikut membagikan takjil kepada warga Muslim sekitar, seperti dilakukan jemaat Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel Supratman di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat; Pemuda Gereja Katolik Santo Paulus Miki di Salatiga, Jawa Tengah; atau umat Buddha Theravada Indonesia dan Anak-Anak Sekolah Minggu Buddha Asoka Manggala di Kota Cirebon, Jawa Barat, yang membagikan takjil di depan Vihara Dewi Welas Asih. Ini sekadar menyebut beberapa contoh dari sekian banyak semarak berbagi takjil serupa.

Keempat, siapa pun yang membeli takjil, agama apa pun yang mereka anut, pada dasarnya sudah berperan nyata dalam menggerakkan roda ekonomi UMKM, yang para pelakunya tak jarang tetangga dan teman-teman sendiri. Ini membuat buhul ikatan sosial semakin kuat dan guyub.

3/  Di WAG Basralicious, grup yang anggotanya para pembaca karya-karya saya dan sudah berjalan enam tahun (sejak sebelum pandemi), beberapa anggota berbagi pengalaman tentang takjil. Dua testimoni saya bagikan di sini.

Eddy Ruswandi, alumnus Fakultas Teknik UI ’84 yang pernah berkantor di samping Pasar Benhil (Bendungan Hilir)—salah satu pusat takjil di Jakarta–melihat fenomena ‘Perang Takjil’ saat ini sebagai hal positif. Sebab, para penjual takjil yang dagangannya habis sebelum salat ashar, membuat mereka punya waktu lebih banyak untuk menyiapkan diri berbuka bersama keluarga masing-masing.

Sementara bagi Yunia Prasetyani, alumnus Sastra Jepang ‘87 Universitas Padjadjaran Bandung yang menghabiskan masa kecil di Ungaran, Jawa Tengah, ada pengalaman pribadi agak traumatik.

“Sebagai anak kecil yang nonis, saya cuma bisa melihat dari balik pagar teman-teman yang sedang berebut jaburan, begitu di kampung kami takjil disebut. Kadang saya diusir karena dianggap mengganggu padahal hanya menonton di balik pagar,” tulis Yunia. “Entah bila waktu itu saya diajak masuk turut menikmati takjil di teras musholla, mungkin saya bisa log-in lebih cepat.”

Log in adalah bahasa gaul sekarang untuk mualaf. Yunia ‘ log in’, menjadi Muslimah, pada tahun kedua kuliah di Bandung. Bersyahadat di bulan Ramadan pada saat buka puasa bersama teman-teman kuliahnya. “Saya yang tomboi dan sering pakai celana pendek dapat hidayah untuk berjilbab. Saya pinjam baju muslimah dan kerudung dari teman-teman yang berhijab,” tulis ibu tiga orang anak ini mengenang perjalanan spiritualnya.

4/  Maka, bagi kawan-kawan muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa, jangan pernah khawatir kehabisan takjil untuk berbuka. Khawatir lah jika tak bisa berbagi takjil kepada para tetangga terdekat dan warga sekitar—termasuk kepada para nonis. Sebab, salah satu makna agama sebagai rahmat bagi alam semesta ( rahmatan lil ‘alamin), ternyata bisa datang dari takjil yang sederhana. [  ]

Cibubur, 22 Maret 2024

*Penggemar takjil, penerima Anugerah Sastra Andalas 2022.

Exit mobile version