Jernih.co

Tanah untuk Rakyat: Menggugat Ketimpangan Agraria dan Harapan Redistribusi yang Berkeadilan

Peresahan dan redistribusi tanah dalam perspektif kerakyatan bukan hanya soal teknis pembagian tanah, tetapi juga soal keadilan sosial, partisipasi rakyat, dan keberlanjutan pembangunan. Lembaga think tank memiliki peran menyediakan basis ilmiah dan kebijakan.

JERNIH –  Persoalan agraria, khususnya peresahan (penyelesaian konflik) dan redistribusi tanah, merupakan isu mendasar dalam pembangunan yang berkeadilan. Tanah bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga sarana hidup dan ruang sosial budaya bagi masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan agraria harus berpijak pada perspektif kerakyatan, yaitu keberpihakan pada rakyat kecil, petani, dan kelompok rentan yang kehidupannya sangat bergantung pada tanah.

Persoalan agraria bukan sekadar urusan sertifikat, angka hektare, atau administrasi belaka. Ia adalah soal hidup dan mati rakyat kecil. Tanah bagi petani bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga ruang sosial, budaya, bahkan spiritual. Maka, ketika tanah dikuasai segelintir elite, bukan hanya sumber pangan yang terampas, melainkan juga harga diri rakyat.

Kebijakan agraria sejatinya harus berpijak pada perspektif kerakyatan—sebuah keberpihakan tegas pada petani, masyarakat adat, serta kelompok rentan yang bergantung penuh pada tanah sebagai sumber hidupnya.

Indonesia menghadapi masalah klasik berupa ketimpangan penguasaan tanah. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sekitar 1% penduduk menguasai lebih dari 50% aset tanah produktif, sementara mayoritas petani hanya memiliki lahan sangat sempit atau bahkan tidak memiliki sama sekali.

Hal ini mengakibatkan konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan atau pemerintah. Disusul dengan menurunnya kesejahteraan petani karena akses terhadap tanah terbatas. Sebagai akibatnya terjadi urbanisasi paksa akibat hilangnya sumber hidup di desa.

Konflik agraria di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Data KPA menunjukkan tahun 2023 terjadi 241 konflik agraria dengan luasan mencapai lebih dari 640 ribu hektare, melibatkan sekitar 100 ribu keluarga. Konflik terbesar terjadi di sektor perkebunan, kehutanan, dan infrastruktur.

Beberapa contoh kasus yang mengemuka di antaranya Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah yang menimbulkan konflik masyarakat vs perusahaan semen terkait keberlangsungan ruang hidup petani. Di Mesuji, Lampung terjadi konflik horisontal petani dengan perusahaan perkebunan yang berujung pada kekerasan. Sementara di tanah adat di Kalimantan dan Papua, masyarakat adat kehilangan wilayahnya karena ekspansi sawit dan tambang.

Secara umum permasalahan utama dalam peresahan adalah negara sering berpihak pada investasi dibanding masyarakat. Mekanisme penyelesaian konflik masih birokratis dan lambat. Ditambah kurangnya pengakuan hukum terhadap tanah adat.

Di sisi redistribusi tanah yang menjadi program inti Reforma Agraria, pemerintah menargetkan distribusi 9 juta hektare tanah (4,5 juta hektare legalisasi aset dan 4,5 juta hektare redistribusi tanah). Namun, realisasinya masih jauh dari target. Ada beberapa kendala di antaranya tumpang tindihnya regulasi antara Kementerian ATR/BPN, KLHK, dan Kementerian Desa. Keterbatasan data mengenai tanah terlantar dan tanah negara. Juga resistensi dari pemilik modal yang lahannya dianggap masuk objek redistribusi.

Menurut laporan Ombudsman RI (2022), banyak tanah objek reforma agraria (TORA) yang seharusnya untuk rakyat justru diberikan kembali kepada korporasi dengan alasan “efisiensi investasi.”

Berbagai persoalan ini amat rumit tuntas akibat beberapa faktor seperti politik-ekonomi di mana dominasi oligarki tanah yang punya kedekatan dengan penguasa. Di sektor hukum agraria banyak undang-undang sektoral (perkebunan, kehutanan, tambang) yang tumpang tindih dengan UUPA 1960. Ada pula kurangnya transparansi di mana data tanah, termasuk HGU (Hak Guna Usaha), tidak dibuka ke publik. Yang menjengkelkan adalah resistensi birokrasi dimana ada kepentingan dalam mempertahankan status quo.

John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (1971) menawarkan konsep Justice as Fairness (Keadilan sebagai Kewajaran). Jika prinsip Rawls diterapkan pada kebijakan agraria, maka tanah sebagai sumber daya utama tidak boleh hanya terkonsentrasi pada kelompok tertentu (korporasi, elite politik), karena itu melanggar prinsip keadilan. Redistribusi tanah dipandang sebagai bentuk koreksi terhadap ketidaksetaraan, sehingga petani kecil, masyarakat adat, dan kelompok rentan mendapatkan akses yang lebih besar.Keadilan dalam distribusi tanah bukan berarti semua orang mendapat bagian sama, tetapi mereka yang paling membutuhkan harus mendapat prioritas.

Dalam konteks ini, lembaga think tank (pusat kajian/riset kebijakan) serta masyarakat memiliki peran strategis dalam memastikan kebijakan redistribusi tanah tidak hanya menjadi program administratif, tetapi juga instrumen untuk mencapai keadilan sosial sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3): “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Dalam pendekatan Strukturalisme agraria, ketimpangan kepemilikan tanah dapat melahirkan hubungan produksi yang eksploitatif: petani miskin bergantung pada pemilik tanah, bekerja sebagai buruh tani, atau terpaksa meninggalkan desa.

Strukturalisme agraria adalah pendekatan dalam studi agraria yang melihat bahwa ketimpangan penguasaan tanah bukan sekadar persoalan teknis atau administratif, tetapi merupakan masalah struktural dalam masyarakat. Artinya, distribusi tanah yang timpang membentuk struktur sosial-ekonomi yang timpang pula. Ada kelompok kecil (elite pemilik tanah/korporasi) yang menguasai sumber daya besar. Di sisi lain ada kelompok mayoritas (petani kecil, buruh tani, masyarakat adat) yang hampir tidak punya tanah.

Secara tegas Dr. HC. Ir. Gunawan Wiradi, M.Sos.Sc, peletak dasar konsep reformasi agragria mengatakan, ““Reforma agraria bukan hanya membagi-bagi tanah, tetapi membangun basis baru bagi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang lebih adil.”

Seirama dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, terutama Cita ke 6 di mana pemberantasan kemiskinan dan pemerataan ekonomi dimulai dari bawah, dari desa, dari tempat-tempat adat yang selama ini jauh dari pengamatan dan cenderung merupakan kelompok yang rentan oleh persoalan agraria.

Membahas penguatan peresahan dan redistribusi tanah dapat didongkrak oleh lembaga-lembaga pemikir independen (think tank). Lewat geraknya yang fleksibel dan terlepas dari lingkar kekuasaan, lembaga seperti GREAT Institute mesti bisa mengusung soal ini ke permukaan. “Lembaga pemikir adalah katalisator gagasan; mereka menyediakan opsi kebijakan yang mungkin tidak dapat dihasilkan sendiri oleh pemerintah,” jelas James G. McGann, pakar think tank global.

Peran itu di antaranya meliputi melakukan kajian berbasis data dengan menghimpun fakta lapangan mengenai konflik tanah, ketimpangan agraria, dan dampaknya pada masyarakat. Melakukan advokasi kebijakan dengan memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar kebijakan redistribusi berpihak pada masyarakat miskin dan petani kecil.

Minimnya pengetahuan dan literasi rakyat tentang persoalan agraria dapat ditempuh dengan menggelar edukasi publik. Membantu masyarakat memahami hak-hak agraria serta prosedur redistribusi tanah. Tentu pula melakukan monitoring dan evaluasi  dalam engawasi implementasi kebijakan agar tidak menyimpang dari tujuan kerakyatan.

Namun peran terbesar tetap ada pada masyarakat itu sendiri. Tanpa partisipasi rakyat—petani, masyarakat adat, organisasi agraria—reforma hanya akan menjadi jargon administratif. Seperti kata Paulo Freire, “Tidak ada pembebasan sejati tanpa partisipasi aktif rakyat dalam menentukan nasibnya.”

Teringat akan ungkapan Bung Hatta, “Tanah untuk mereka yang benar-benar menggarapnya, bukan untuk mereka yang memperalatnya.” (*)

BACA JUGA: Great Institute: Menyemai Pemikiran sebagai Bekal Menuju Indonesia Emas 2045

Exit mobile version