Pilpres curang yang akan melahirkan pemimpin yang cacat dari banyak aspek –karakter, hukum, legitimasi, dan integritas — justru akan menjerumuskan kita ke dalam lumpur kebinasaan, yang memerlukan waktu lama untuk memulihkannya. Padahal, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan sosial tak dapat ditunda lebih lama.
Oleh : Smith Alhadar*
JERNIH– Presiden Joko Widodo telah mengurung Indonesia dalam ruang pengap tanpa jalan ke luar yang mudah. Pilpres seharusnya melahirkan pemerintahan baru yang segar, dengan visi-misi baru, stabil, dan kuat untuk melangkah ke depan.
Sayangnya, hal itu sangat mungkin tak terwujud. Sebaliknya, pesta demokrasi rakyat berpotensi berujung menyedihkan bagi bangsa yang, sepanjang sejarah modernnya, berulang kali dijerumuskan pemimpinnya sendiri ke dalam bahaya eksistensialnya.
Menghadapi kondisi ini, para sivitas akademika dari berbagai kampus, tokoh bangsa, intelektual, aktivis, masyarakat sipil, dan mahasiswa bangkit memprotes penyelenggaraan pilpres yang tidak fair, penuh intimidasi, personalisasi Bansos, politisasi hukum, memobilisasi seluruh institusi negara, birokrasi, dan aparat desa untuk memenangkan salah satu paslon.
Semuanya tak mungkin terjadi tanpa instruksi dari Istana yang terang-terangan menyatakan akan intervensi, berpihak, dan berkampanye untuk paslon jagoannya. Jokowi meremehkan keprihatinan seluruh anak bangsa yang ingin melihat Indonesia tetap berjaya di tengah tantangan internal dan eksternal yang kompleks.
Kepercayaan diri Jokowi yang berlebihan ini terbangun di atas asumsi — sejalan dengan hasil jajak pendapat lembaga-lembaga survei yang bisa jadi keliru — bahwa kepuasan masyarakat pada kinerja pemerintahannya masih cukup tinggi. Mungkin ini benar, tapi keluhan rakyat atas meningkatnya biaya hidup–pun sebagaimana diungkap lembaga survei– akibat kenaikan sembako dan sulitnya mencari pekerjaan juga tergolong tinggi.
Dus, ada bahaya sosial laten yang bisa meledak sewaktu-waktu. Hilangnya kepekaan sosial dan defisit literasi politik Jokowi-lah yang menyebabkan ia berani mewujudkan mimpi politik dinastinya, yang bahkan tak terbayangkan oleh Soekarno dan Soeharto.
Karena mimpi Jokowi tak dapat dibuyarkan, Indonesia–sebelum, saat pencoblosan, dan setelah itu– mungkin akan menghadapi empat skenario buruk berikut.
Pertama, Pilpres akan terselenggara sesuai jadwal, 14 Februari 2024. Prediksi pemenangnya adalah paslon Prabowo-Gibran. Mungkin hanya dalam satu putaran. Karena jumlah kursi di DPR yang dimiliki parpol-parpol pengusung ini kurang dari 50 persen, Prabowo-Gibran — dibantu penuh presiden — akan membujuk parpol lain, baik dari pengusung paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dengan sejumlah iming-iming menggiurkan agar Prabowo-Gibran mendapat dukungan mayoritas suara di Parlemen.
Kalau tidak, pemerintah tak dapat bekerja. Fungsi DPR adalah mengawasi eksekutif, membuat UU, dan menetapkan anggaran negara. Apakah parpol-parpol tersebut akan bersedia bergabung dengan paslon yang kemenangannya diyakini terjadi secara curang? Mengingat sebagian besar parpol di negeri ini berwatak pragmatis dan oportunis, bisa jadi ada yang mau bergabung.
Tapi bisa jadi juga tidak. Karena hasil Pilpres cacat legal dan moral, parpol-parpol akan berpikir dua kali untuk ikut serta ke dalam gerbong Prabowo-Gibran yang rapuh demi menjaga citra sekaligus menghukum “pemenang” yang turun ke arena pertarungan dengan cara-cara tidak senonoh. Pemerintah tak punya legitimasi untuk memungkinkannya bekerja. Kalau demikian, akan terjadi turbulensi politik nasional yang memaksa Pilpres diselenggarakan ulang.
Kedua, Pilpres tetapi terselenggara, tapi hasilnya publik dan parpol pengusung paslon yang kalah tak mengakui kalau pemenangnya adalah Prabowo-Gibran. Pasalnya, intervensi Istana sudah terlalu jauh dan kecurangan tak dapat ditoleransi lagi. Kalau demikian, hasil Pilpres kehilangan legitimasi.
Mungkin saja sepanjang mahasiswa seluruh Indonesia tidak turun ke jalan, gejolak politik dapat diatasi pemerintah melalui cara-cara represif oleh aparat keamanan yang ditengarai sudah terkooptasi Istana. Tapi pemerintah akan diisolasi negara-negara Barat. Ujungnya ekonomi bangsa terpuruk yang mengganggu stabilitas negara.
Ketiga, Pilpres tetap berlangsung, tapi terjadi keributan di mana-mana antara Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan para saksi dari kubu Anies-Muhaimin serta Ganjar-Mahfud karena terjadi intimidasi atau kecurangan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Juga mungkin pertikaian keduanya pada tiap jenjang rekapitulasi suara.
Kalau kepolisian, Panwaslu, dan KPPS gagal mengatasinya, lagi-lagi hasil pemungutan suara akan tertolak oleh pihak yang merasa dirugikan. Memang ada Mahkamah Konstitusi yang menjadi wasit tertinggi bagi kekisruhan dan komplain ini, namun melihat kenekatan Istana dalam berbuat culas sejak awal demi kemenangan Prabowo-Gibran, sulit kita membayangkan MK bersikap adil terhadap delik pada paslon dukungan Presiden. Kalau demikian, negara menghadapi masalah serius yang dapat membuyarkan jerih payah pesta demokrasi yang sangat mahal ini.
Keempat, Pilpres tidak jadi dilaksanakan atau ditunda lantaran sebelum hari H mahasiswa turun ke jalan secara besar-besaran. Kalau nanti mendapat orkestrasi dari elite dan berbagai pihak yang mendorong rakyat ikut berdemonstrasi mendukung tuntutan mahasiswa agar presiden dimakzulkan, maka sejarah politik kelam Indonesia modern terulang.
Jokowi akan menjadi presiden keempat yang dijatuhkan rakyat setelah Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid. Mau tidak mau Pemilu akan dijadwal ulang dan konstelasi parpol-parpol pendukung paslon-paslon saat ini akan ikut berubah. Bahkan mungkin saja paslon-paslon baru yang muncul kemudian bukan lagi Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud, dan Prabowo-Gibran. Besar kemungkinan Prabowo-Gibran tereliminasi karena resistensi masyarakat sipil dan tokoh bangsa terhadap paslon ini cukup kuat.
Sebenarnya kita sudah berkomitmen untuk terjadinya pergantian kekuasaan secara reguler dan damai setiap lima tahun. Tapi nampak jalan itu tidak tersedia saat ini. Dus, kita seolah dipaksa untuk mengambil jalan tidak normal karena mungkin ini pilihan terbaik di antara yang terburuk.
Jokowi dan mimpi dinastinya akan buyar seketika. Konsolidasi demokrasi yang kini mengalami kemunduran hebat dapat dipulihkan. Bukan cuma itu. Kita juga dapat mengembalikan negara kekuasaan (machsstat) yang diciptakan Jokowi ke negara hukum (rechsstat), cita-cita membasmi KKN yang ditengarai dilakukan Jokowi dan keluarganya dapat dilaksanakan, proyek-proyek mercusuar yang mubazir dan tak berguna dapat dihentikan.
Alhasil, banyak yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi dan mengangkat kembali marwah negara di mata dunia internasional. Cita-cita menjadi negara maju dan beradab pada 2045 menjadi berpengharapan untuk dicapai bila pemimpin berikutnya punya kapasitas intelektual yang cukup, integritas, leadership yang mumpuni, dan rekam jejak yang bisa diperiksa.
Pilpres curang yang akan melahirkan pemimpin yang cacat dari banyak aspek — karakter, hukum, legitimasi, dan integritas — justru akan menjerumuskan kita ke dalam lumpur kebinasaan, yang memerlukan waktu lama untuk memulihkannya. Padahal, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan sosial tak dapat ditunda lebih lama. [ ]
*Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)