Ki Anom dan dalang Entus Susmono, misalnya, sering menampilkan sinden Megan O’Donoghue–warga negara AS– dan Hiromi Kano–berkebangsaan Jepang. Sedangkan Ki Seno sering menampilkan Elisha Oscarus Allaso, sinden berdarah gado-gado Minang, Venezuela, Sulawesi, dan Prancis.
Oleh : Agus Kurniawan
JERNIH– Melalui Keputusan Presiden No. 30 Tahun 2018, Pemerintah menetapkan tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Nasional.
Pemilihan tanggal 7 November itu merujuk pada penetapan Unesco tentang wayang sebagai salah satu warisan agung budaya dunia (Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada tanggal 7 November 2003.
Sayang sekali menjelang hari besar wayang itu seorang penggiat wayang kulit ternama Jogjakarta, Ki Seno Nugroho, wafat. Dunia wayang sangat kehilangan. Sebab, Ki Seno ikut berkontribusi besar terhadap kelestarian wayang kulit sebagai tontonan populer di era kontemporer. Wayang kulit (kembali) digemari oleh para milenial, selain tentu saja oleh generasi yang lebih tua.
Ki Seno memang membuat terobosan besar dalam “syiar” wayang dengan memanfaatkan teknologi informasi. Setidaknya dua langkah strategis dia lakukan untuk merebut hati para milenial. Pertama, Ki Seno membangun jejaring penggemar (fans club) yang dinamakan PWKS (Penggemar Wayang Ki Seno). PWKS tersebar di berbagai kota bukan hanya di Pulau Jawa, tetapi juga di luar Jawa.
Kedua, Ki Seno memanfaatkan kanal Youtube untuk menyiarkan secara langsung (streaming) pertunjukkannya. Ini membuat pagelaran wayang kulit menjadi lebih fleksibel untuk dinikmati: dapat diunduh dan ditonton di waktu lain dan dari tempat lain — sesuatu yang relatif sulit pada masa lalu. Akun resmi Youtube Ki Seno maupun akun-akun turunannya berhasil memiliki ratusan ribu subscriber. Tayangannya sendiri meraih jutaan view.
Ki Seno juga secara aktif berperan dalam transformasi wayang kulit dari seni pertunjukan bayangan (shadow puppetry) menjadi seni panggung (stage performance). Ki Seno memang tak sendirian. Dia salah satu wakil dari semangat zaman. Bersama-sama para dalang lain seangkatannya, Ki Seno bahu-membahu melestarikan seni “kuna” ini agar bisa bertahan dari gerusan budaya kontemporer lain.
Perintis transformasi ini sebenarnya para dalang yang lebih senior, seperti Ki Manteb Soedarsono, Ki Anom Soeroto, dan lainnya. Tetapi momentum totalitasnya dilakukan oleh para dalang sesudahnya.
Dulu, sesuai namanya, wayang adalah seni pertunjukkan bayangan. Dalang dan para kru (penabuh gamelan dan pesinden) menjalankan pertunjukkan dari balik layar yang biasa disebut kelir atau pakeliran, yang tidak dilihat langsung oleh penonton. Wayang dimainkan oleh dalang di bawah sorotan lampu kecil bernama blencong. Bagus tidaknya pertunjukkan dinilai salah satunya dari gerakan bayangan wayang pada pakeliran.
Semakin mahir seorang dalang, polah tingkah wayang akan semakin hidup. “Hidupnya” wayang itulah yang konon berhasil meyakinkan para kurator Unesco di kantor pusatnya, Prancis, untuk menetapkan wayang kulit sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia.
Tetapi pola perilaku penonton wayang kulit kini bergeser. Jika dulu mereka menonton dari balik layar, kini mereka lebih menikmati menonton langsung di “dapurnya” wayang. Jika dulu mereka terhipnotis oleh “hidupnya” (bayangan) wayang pada pakeliran, kini penonton lebih tersihir kelincahan dalang menggerakkan wayang, kekompakan para penabuh gamelan, juga paras elok para pesinden — sesuatu yang tidak biasa dilakukan pada masa lalu. Wayang kulit saat ini tak berbeda jauh dengan seni pertunjukkan panggung yang lain, seperti wayang orang, ketoprak, drama, atau orkestra.
Memang sejak era Ki Manteb, Ki Anom, dan dalang segenerasinya, pertunjukkan wayang pelan-pelan bertransformasi menjadi pentas panggung (stage performance). Untuk mendukung hal ini, para dalang pun dituntut untuk lebih kreatif menata pertunjukkannya. Salah satunya dengan mengundang para seniman panggung yang dulu bukan bagian dari pentas wayang. Misalnya komedian. Atau pesinden populer yang tidak melulu menembang, tetapi juga menampilkan humor atau dagelan. Mereka biasanya tampil dalam sesi khusus dari pagelaran wayang, yang dinamakan limbukan atau goro-goro.
Para komedian kondang yang sering tampil dalam pentas wayang misalnya Kirun, Tukul, Marwoto, Ki Gareng Semarang, Cak Dikin, Percil, Yudo, dan lainnya. Selain komedian, kini juga jamak para dalang menampilkan pesinden unik, misalnya berkebangsaan asing atau pun keturunan asing. Ki Anom dan dalang Entus Susmono, misalnya, sering menampilkan sinden Megan O’Donoghue — warga negara AS — dan Hiromi Kano — berkebangsaan Jepang. Sedangkan Ki Seno sering menampilkan Elisha Oscarus Allaso, sinden berdarah gado-gado Minang, Venezuela, Sulawesi, dan Prancis. Tujuan penampilan mereka tentu saja untuk menghidupkan panggung.
Kini tak tahu lagi apakah masih ada penonton wayang kulit yang mau menikmati pentas dari balik layar seperti zaman dahulu. Mungkin hampir tak ada lagi. Jika begitu, masihkah wayang disebut seni pertunjukan bayangan? Atau lebih layak dinamakan seni panggung?[ ]
Penulis bisa dicolek pada akun goeska@gmail.com