Jernih.co

Tujuh Puluh Tiga Tahun Mosi Integral Natsir: Meneladani Mohammad Natsir Menyelamatkan NKRI

Ilustrasi: Mohammad Natsir

“Di sini, fungsi Soekarno-Hatta itu untuk mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan kembali.  Setelah “mosi integral” berhasil, saya dipercayai jadi perdana menteri. Tapi saya tidak memikirkan hal itu sama sekali tadinya. Saya juga heran. Wartawan Harian Merdeka, Asa Bafagih bertanya kepada Soekarno tentang siapa yang akan jadi perdana menteri. Kata Soekarno, “Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi, mereka punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi”.

Oleh   :  Adian Husaini*

JERNIH–Jangan lupakan 3 April! Dan jangan ribut terus. Tanggal 3 April itu hari penting! Itulah tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada 3 April 1950, Mohammad Natsir, ketua Fraksi Partai Masyumi mengajukan ”Mosi Integral” di Parlemen  Republik Indonesia Serikat (RIS). Itulah mosi Integral Natsir, yang memungkinkan bersatunya negara-negara bagian ke dalam NKRI. 

Adian Husaini

Mosi Integral Mohammad Natsir  pada 3 April 1950 itu kemudian mengantarkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itulah Proklamasi kedua yang secara resmi diumumkan pada 17 Agustus 1950. Proklamasi pertama ialah tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan Mosi Integral Natsir itu, maka bubarlah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan hasil konferensi Inter Indonesia–antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) –di Yogyakarta, 19-22 Juli 1949.

Pembentukan BFO merupakan upaya Belanda untuk ”mengepung” Republik Indonesia. Negara-negara BFO adalah: Negara Dayak Besar, Negara Indonesia Timur, Negara Borneo Tenggara, Negara Borneo Timur, Negara Borneo Barat, Negara Bengkulu, Negara Biliton, Negara Riau, Negara Sumatera Timur, Negara Banjar, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, dan Negara Jawa Tengah. Dengan demikian, Belanda berhasil menunjukkan, bahwa wilayah negara Republik Indonesia hanyalah di sebagian Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera. (Lihat, Anwar Harjono dkk., “Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan”, (Jakarta:  Pustaka Antara, 1978).

Prof. Dr. Din Syamsuddin menyatakan, bahwa Mosi Integral Mohammad Natsir merupakan tonggak sejarah penting dan menentukan dalam sejarah kehidupan bangsa. Mosi Integral itu menyatukan dan menyelamatkan Indonesia dari upaya perpecahan. Mosi itu juga merupakan bukti komitmen tokoh-tokoh Islam terhadap NKRI. (Lihat, “Mosi Integral Natsir 1950”, karya Ahmad Murjoko (Bandung: PersispRes, 2020).

Ketua MPR-RI (2004-2009) Dr. Hidayat Nurwahid menyampaikan bahwa Fraksi PKS DPR-RI beberapa kali menggelar peringatan Mosi Integral Natsir tersebut. Ia pun sudah ikut menandatangani usulan agar tanggal 3 April ditetapkan sebagai nasional, yaitu Hari NKRI. Bung Hatta memang menyebut peringatan Proklamasi 17 Agustus 1950 merupakan ”Proklamasi Kedua”.  ”Bangsa dan Umat perlu diingatkan bahwa tanpa karunia Allah dan kenegarawanan M. Matsir dengan Mosi Integralnya itu, mungkin RIS (Republik Indonesia Serikat) akan berlanjut, dan kita tidak mengenal lagi NKRI yang sudah ”dikubur” oleh kolonialis Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949,” tulis Hidayat Nurwahid dalam pengantarnya untuk buku karya Ahmad Murjoko.

Hidayat mengajak kaum muslim Indonesia tidak terpengaruh paham sekulerisme, Islamofobia, dan juga Indonesia-fobia. Paham Sekulerisme menganggap bahwa keberadaan Islam di Indonesia dianggap sebagai biang masalah dan tidak ada jasanya bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya, Indonesia-fobia menganggap Indonesia sebagai negara kafir yang tidak ada kaitannya dengan Islam dan para ulama.

Itulah pentingnya memahami dan mengingat peristiwa Mosi Integral Natsir, pada 3 April 1950.  Pemerintah RI pun telah mengakui jasa besar Mohammad Natsir untuk bangsa Indonesia. Pada tahun 2008, Mohammad Natsir, pendiri dan Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang pertama, mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.  Salah satu jasa besarnya adalah mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

                                                        ***

Perjuangan Mohammad Natsir dalam menyelamatkan NKRI memang sangat fenomenal. Natsir bukan hanya merumuskan gagasannya dengan cerdas, tetapi juga berhasil meyakinkan para tokoh Indonesia ketika itu yang berasal dari seluruh faksi dan aliran ideologis. Natsir memerlukan waktu dua setengah bulan untuk melakukan lobi.

Keberhasilan Mohammad Natsir dalam menggolkan ”Mosi Integral” itu menunjukkan kepiawaiannya dalam berpolitik. Ia memiliki integritas, ilmu, kemampuan komunikasi, dan juga lobi. Dan tentu saha, ia telah diberikan hikmah oleh Allah, sehingga bisa mengambil langkah yang tepat untuk menyelamatkan NKRI. 

Kepada Majalah Tempo (edisi 2 Desember 1989), Natsir menceritakan kisah perjuangan  Mosi Integral tersebut: ”Setelah tidak menjabat Menpen, saya aktif di Masyumi. Waktu itu saya di parlemen sebagai ketua fraksi Masyumi. Itu sudah ada KMB yang mengakui 15 negara bagian. Salah satu dari negara bagian yang diakui adalah negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogya.”

“Mulanya saya diminta oleh Bung Hatta pergi ke Yogya menjadi perdana menteri. Saya tidak mau. Biarlah orang Yogya saja, kata saya. Saya sudah terikat di Jakarta, di Partai Masyumi. Masyumi sebagai alat perjuangan, saya anggap lebih penting daripada suatu negara bagian.”

“Meskipun Yogya menjadi negara bagian, sesudah KMB, kita bertekad mengembalikan RI seperti semula. Saya bicara dengan fraksi-fraksi. Dengan Kasimo dari Partai Katolik, dengan Tambunan dari Partai Kristen, dengan PKI, dan sebagainya. Dari situ saya mendapat kesimpulan: mereka itu, negara-negara bagian itu, semuanya mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya, asal jangan disuruh bubar sendiri.”

“Dua bulan setengah saya melakukan lobby. Tidak mudah, lebih- lebih dengan negara-negara bagian di luar Jawa. Umpamanya negara bagian di Sumatra dan Madura. Setelah selesai semua, lantas saya adakan “mosi integral” yang kabur-kabur. Ha-ha-ha… kabur, sebab kita menghadapi Belanda. Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau lagi. Belanda tidak boleh tahu ke mana perginya rencana itu.”

“Sesudah itu saya perlu datang ke Yogya. Tapi Yogya tidak mau membubarkan diri. Lantas saya katakan: Kita punya program menyatukan kembali semuanya, jadi kita bayar ini dengan sama-sama membubarkan diri. Walaupun beberapa pemimpin sudah setuju, masyarakatnya belum mau, karena harga dirinya tersinggung.

Sampai pukul 3 dini hari kami membicarakan soal itu dengan jurnalis-jurnalis, orang-orang penting, dan pemimpin-pemimpin di Yogya. Ada yang bilang, “Kalau kita pulihkan dengan cara membubarkan diri, apa tidak sulit nanti? Hilang kita punya negara.” Wah, itu masuk akal juga.”

“Lalu saya katakan, kita mempunyai program. Program mempersatukan kembali.  Untuk itu ada dua alternatif. Pertama, kita berperang dulu dengan semuanya. Dengan negara Pasundan, dengan negara Madura, Jawa Timur, dan lain-lain. Mereka semuanya akan kalah, dan kita menjadi satu. Alternatif kedua, kita tidak berperang. Kita ajak mereka membubarkan diri dengan maksud untuk bersatu. Nah, kita, negara Yogya ini punya Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mereka tidak. Saya katakan lagi, “Dalam sejarah jangan kita lupakan faktor pribadi; mutu pribadi orang itu menunjukkan siapa itu Soekarno-Hatta. Tidak akan ada yang bisa mengatakan ‘tidak’ kalau kita majukan nama Soekarno-Hatta menjadi Presiden RI. Sedangkan kita, para pemimpin-pemimpin ini, diam sajalah mengikut. Kalau diperlukan, ya, dipakai, dan kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Pokoknya, tidak ada satu pun dari negara-negara bagian itu yang akan menolak Soekarno-Hatta menjadi presiden.”

“Di sini, fungsi Soekarno-Hatta itu untuk mempersatukan, untuk memproklamasikan, dan untuk mempersatukan kembali.  Setelah “mosi integral” berhasil, saya dipercayai jadi perdana menteri. Tapi saya tidak memikirkan hal itu sama sekali tadinya. Saya juga heran. Wartawan Harian Merdeka, Asa Bafagih bertanya kepada Soekarno tentang siapa yang akan jadi perdana menteri. Kata Soekarno, “Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi, mereka punya konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi”.

                                                    ***

Bung Karno mengakui kehebatan perjuangan Mohammad Natsir dengan Mosi Integralnya. Setelah “Mosi Integral” berhasil, Natsir dipercaya Presiden Soekarno untuk menjadi Perdana Manteri.

Kepahlawanan Mohammad Natsir melanjutkan tradisi para tokoh Islam dalam menjaga dan mengokohkan NKRI. Dalam situasi sekarang, bangsa kita memerlukan tokoh-tokoh integratif seperti Soekarno-Hatta, HOS Tjokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikoesoemo, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, dan sebagainya. Semoga Allah SWT menyelamatkan dan menjayakan negeri kita. Aamiin. [  ]

* Dr. Adian Husaini, ketua umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia

Exit mobile version