Di Kades Barnea Bani Israel mengalami kelelahan pisik dan mental, sehingga tidak mampu melanjutkan perjalananan ke Palestina yang sudah di depan mata.
Oleh : Usep Romli H.M.
Gunung Sinai di semenanjung Sinai, Mesir, dipercaya sebagai tempat Nabi Musa menerima wahyu, yang terkenal dengan sebutan “Sepuluh Perintah Allah” (The Ten Commandement). Disebut juga Tursina atau Jabal Musa. Sejak dua dasawarsa yang lalu, Gunung Sinai menjadi salah satu tujuan wisata penting di Mesir, selain piramid, spinx, dan tempat-tempat yang berkaitan dengan sejarah agama Yahudi, Nasrani dan Islam.
Seperti diketahui, pada perang bulan Juni 1967, Israel merebut semenanjung Sinai dari Mesir. Dijadikan zona militer. Mesir berhasil merebut kembali Sinai, pada perang Oktober 1973. Melalui perjanjian Camp David (1979), yang diprakarsai Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, diputuskan, seluruh sememanjung Sinai kembali menjadi milik Mesir, dengan imbalan Mesir mengakui Israel dan membuka hubungan diplomatik resmi dengan negara Zionis Yahudi itu.
Perjalanan menuju Gunung Sinai, sesungguhnya cukup berat. Karena hanya ada alat transportasi darat saja, berupa bus pariwisata dari Ismailia yang terletak di sisi Terusan Suez bagian utara. Tapi hal itu justru menjadi daya tarik tersendiri. Para wisatawan diajak menempuh perjalanan kl.600 km, memakan waktu 8-10 jam, menyusuri padang pasir, menuju arah selatan. Di sebelah kanan, bentangan laut Terusan Suez, dan di sebelah kiri hamparan padang pasir. Mengingat cuaca dan udara panas, kebanyakan perjalanan wisata dilakukan malam hari. Berangkat dari Ismailia, lewat penyeberangan Suez, kira-kira pukul 20.00 dan akan tiba di pelataran parkir kaki Gunung Sinai, dinihari atau subuh.
Tapi tak sedikit wisatawan berjiwa petualang, terutama yang muda-muda, melakukan perjalanan siang hari. Karena ingin menyaksikan pemandangan sepanjang perjalanan yang merupakan rute “eksodus” Bani Israil menuju “Tanah yang Dijanjikan” (Palestina).
Beberapa buku tentang “eksodus”, antara lain “The Foot of Moses” karya Davis Pearlman (1986), memang menyebutkan rute Ismailia, Suez, Ras Sudar, Marah, Elim (Wadi Firan), Rephidim, berujung di Gunung Sinai. Dari Sinai dilanjutkan ke sisi semenanjung Sinai bagian timur, dan berakhir di Kades Barnea. Di sini Bani Israel mengalami kelelahan pisik dan mental, sehingga tidak mampu melanjutkan perjalananan ke Palestina yang sudah di depan mata. Mereka menetap selama 40 tahun. Baru setelah datang pemimpin baru bernama Yoshua, siap memasuki Palestina melalui kota Jericho.
Versi lain, rute “eksodus” Bani Israel dari Mesir ke Palestina, melalui jalur utara. Dari kota Ramses, menuju El Arish, masuk ke Kuseira dan berujung di Kades Barnea. Namun rute ini dianggap lemah. Selain terlalu mudah, juga tidak melewati Gunung Sinai. Padahal selama perjalanan, Bani Israel mengalami aneka macam cobaan, berupa kekurangan makanan dan minuman, serta gangguan dari para perampok penyamun di berbagai tempat yang dilalui.
Tapi selama perjalanan itu pula, Bani Israel mendapat banyak anugerah dari Allah SWT, berupa pancaran air minum segar yang ke luar batu setelah dipukul Nabi Musa dengan tongkatnya. Tempat pancaran air itu diperkirakan di kawasan Elim yang disebut juga Wadi Firan. Juga mendapat makanan bergizi yang diturunkan dari langit, sejenis roti yang dinamakan “manna” serta sejenis getah pohonan semanis madu, yang disebut “salwa”. Sepanjang perjalanan, mereka dinaungi awan penahan terik matahari (Quran, S.al Baqoroh : 57).
Di kaki Gunung Sinai, tak ada pemukiman penduduk. Kecuali beberapa tenda kaum Baduwi nomaden. Hanya ada satu bangunan kuno, besar dan kokoh. Yaitu biara St.Catherina yang konon dibangun tahun 530 Masehi oleh Kaisar Romawi Yustianus I. Biara ini sekarang, selain tempat ibadah kaum Nasrani, berfungsi pula sebagai penginapan para turis yang ziarah ke puncak Gunung Sinai.
Tinggi Gunung Sinai kl.2.500 meter di atas permukaan laut. Terdapat dua puncak besar. Yang agak rendah Jabal Musa, dan satu lagi lebih tinggi disebut Rasus Safsafah. Walaupun mayoritas ahli sejarah Injil mempercayai puncak Jabal Musa sebagai tempat turunnya “Sepuluh Perintah”, sebagian lagi lebih mempercayai Rasus Safsafeh sebagai tempat turunnya wahyu itu, karena lokasinya memang lebih tinggi.
Mendaki Gunung Sinai memerlukan kesiapan fisik dan mental prima. Termasuk jika menunggang unta atau kuda yang banyak ditawarkan pemandu wisata di dekat biara. Sebab jalan yang ditempuh, sangat curam, kecil, penuh batu,dengan posisi rata-rata tegak lurus. Mirip sekali dengan jalur pendakian ke Gua Hira, Mekkah, Saudi Arabia, tempat Nabi Muhammad Saw menerima wahyu pertama Al Quran dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril.
Mencapai puncak Rasus Safsafeh lebih sulit lagi daripada mencapai puncak Sinai, karena lebih tinggi dan tidak begitu banyak dikunjungi. Hanya beberapa orang saja yang mau dan mampu menuju ke situ.
Begitu tiba ke puncak Sinai, rasa lelah terobati oleh keindahan pemandangan. Ke arah timur, bentangan pasir Gurun Sinai kuning kecoklatan. Ke arah selatan, ujung semenanjung Sinai dengan kota wisata elit Sharm esh Sheik, samar-samar kelihatan dibatasi biru putih pantai Laut Arab, dihiasi hamparan karang kemerah-merahan.
Berkunjung ke Sinai, paduan ziarah batiniah bernilai sejarah dan keelokan panorama alam sekitar yang sulit dicari bandingannya. [ ]