Seolah tanpa merasa sakit, Abbad mencabut panah yang menembus tubuhnya itu, lalu melanjutkan bacaan Al-Qur’an-nya. Ia demikian tenggelam dalam kekhusyu’an shalat. Tak berapa lama, sang penembak pun melancarkan serangan panahnya yang kedua dan ketiga yang juga bersarang di tubuh Abbad.
Oleh : Tessa Sitorini
JERNIH– Di malam hari dalam perjalanan pulang dari suatu ekspedisi militer, Rasulullah SAW dan para sahabatnya beristirahat di sebuah lembah. Segera setelah Kaum Muslim menambatkan tali untanya, Sang Rasul bertanya: “Siapa yang akan berjaga malam ini?”
Suara lantang terdengar dari Abbad bin Bishr dan Ammar bin Yasir yang dengan sigap berkata, “Kami, wahai Rasulullah!” Mereka adalah dua laki-laki yang disatukan dalam sebuah persaudaraan oleh Baginda Rasulullah SAW sesaat setelah hijrah ketika Beliau tiba di Madinah.
Abbad dan Ammar pun berangkat menuju pintu masuk lembah untuk melaksanakan tugasnya. Abbad yang melihat saudara seperjalanannya telah demikian lelah dengan santun menawarkan pilihan, “Engkau memilih waktu yang mana untuk beristirahat, di awal waktu atau pada penggal berikutnya?” “Aku memilih untuk tidur di awal waktu,” jawab Ammar yang tak lama kemudian tertidur di sebelah Abbad.
Langit pada malam itu begitu cerah dan tenang. Taburan bintang-bintang di langit, kumpulan pepohonan dan tumpukan bebatuan bagaikan permainan simfoni yang indah memuji-Nya dalam diamnya. Abbad merasa damai. Tak nampak tanda-tanda yang mencurigakan maupun ancaman. Lalu ia berpikir, mengapa tidak melewatkan waktu ini dengan ibadah dan mengaji Al-Qur’an?
Abbad memang telah jatuh cinta kepada Al-Qur’an tatkala ia mendengarkan lantunan indah ayat-ayat suci Al-Qur’an dari Musab bin Umayr. Kala itu Abbad berusia 15 tahun, dan semenjak itu Al-Qur’an selalu mendapatkan tempat yang istimewa di hatinya, sehingga ia pun membacanya siang malam dan mendapat julukan “Sahabat Al-Qur’an” (Shohibul Qur’an).
Pada saat yang sama, Rasulullah SAW bangun untuk melaksanakan shalat tahajjud di rumahnya yang bersebelahan dengan masjid. Terdengar sayup-sayup di telinga Beliau suara Abbad yang tengah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan khusyu dan indah bagaikan saat Jibril a.s. menyampaikan ayat-ayat itu kepada Beliau dahulu. Beliau lalu bertanya, “Wahai Aisyah, apakah itu suara dari Abbad bin Bisyr?”
“Betul, wahai Rasulullah,” jawab Aisyah.
“Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu kepadanya,” doa Sang Rasul dengan penuh kasih.
Demikianlah, pada malam yang sunyi di mulut lembah dataran Najad, seorang Abbad berdiri menghadapkan wajahnya ke kiblat untuk melaksanakan shalat, membaca Surah Al-Kahfi dengan suaranya yang menggetarkan. Surah Al-Kahfi terdiri dari seratus sepuluh ayat yang sebagian besar mengisahkan tentang keimanan, kebenaran dan kesabaran dalam rentang waktu yang relatif.
Ketika Abbad tenggelam dalam lantunan ayat-ayat suci yang penuh hikmah dan cahaya itu, tiba-tiba datanglah seorang asing mendekati pinggiran lembah. Ia berada di sana dengan sebuah misi, yakni menemukan Muhammad dan para pengikutnya, dan melakukan penyerangan terhadap mereka. Rupanya istri orang asing tersebut telah ditawan oleh pasukan Muslim, dan ia pun bersumpah kepada Latta dan Uzza bahwa ia tidak akan kembali kecuali darah telah tertumpah dalam aksi balas dendamnya.
Dari kejauhan, dilihatnya siluet sosok Abbad di mulut lembah. Ia pun mulai melancarkan serangannya dengan sebuah anak panah yang ditembakkannya dengan tarikan yang kencang dan tepat sasaran. Tak terelakkan, anak panah itu pun menancap di tubuh Abbad yang tengah melaksanakan shalat.
Namun, dengan tenang, seperti tanpa merasa sakit, Abbad mencabut panah yang menembus tubuhnya itu, lalu melanjutkan bacaan Al-Qur’an-nya. Ia demikian tenggelam dalam kekhusyu’an shalat. Tak berapa lama, sang penembak pun melancarkan serangan panahnya yang kedua dan ketiga yang juga bersarang di tubuh Abbad. Kembali Abbad mencabut kedua panah yang mengoyak ototnya itu, dan menuntaskan bacaannya, lalu ruku’ dan sujud hingga selesai shalatnya.
Dalam keadaan sakit dan mulai lemah, Abbad dengan halus membangunkan sahabatnya yang tengah tertidur, “Bangunlah dan gantikan tempatku. Aku telah terluka.”
Ammar pun meloncat bangun dalam siaga dan terkejut melihat kondisi Abbad, lalu mulai berteriak meminta pertolongan. Melihat itu, sang penyerang pun melarikan diri dan menghilang di kegelapan malam.
Ammar segera menghampiri Abbad yang terbaring lemah di atas tanah dengan darah mengucur dari tiga lubang yang menganga dari tubuhnya. “Subhanallah! Kenapa engkau tidak membangunkanku saat dirimu terkena tembakan pertama kali?”
“Wahai sahabat, jiwaku tengah tenggelam dalam lantunan ayat suci Al-Qur’an, maka aku enggan untuk memutusnya. Aku khawatir kematian lebih dekat kepadaku pada saat itu.”
Kedekatan seorang Abbad kepada Al-Qur’an merupakan cerminan pengabdiannya yang dalam dan cintanya yang sangat kepada Allah Ta’ala, Rasulullah dan agamanya. Dalam setiap keadaan yang mencekam dan mengancam nyawa, Abbas adalah orang yang selalu berdiri di lini terdepan. Sebaliknya, ketika pembagian harta rampasan, ia sulit sekali ditemukan. Demikianlah keistimewaan Abbad sehingga Aisyah r.a. suatu saat berkata, “Ada tiga orang di antara kaum Anshar yang tidak ada seorang pun mengungguli kebajikan yang ada pada dirinya. Mereka adalah Saad bin Muadz, Usayd bin Khudayr dan Abbad bin Bishr.”
Abbad meninggal sebagai syuhada dalam pertempuran Yamamah dengan luka yang sedemikian banyak di sekujur tubuhnya hingga ia sulit dikenali. Demikianlah sepenggal kisah tentang seorang laki-laki pemberani yang telah hidup, berjuang dan gugur dalam keimanan kepada Allah Ta’ala.[]
(Adaptasi dan terjemahan dari Companions of The Prophet, Vol.1, karya Abdul Wahid Hamid)
Link asal: https://www.qudusiyah.org/id/blog/2017/07/20/kisah-sahabat-abbad-bin-bishr/