Pada prinsipnya, misi hidup seseorang adalah memurnikan penghambaannya, menjadi tertuju semata hanya kepada Allah SWT. Penghambaan dan ketaatan adalah salah satu makna utama dari Ad-Diin (agama). Diturunkannya Al-Qur’an adalah pertolongan Allah SWT agar manusia mengetahui jalan untuk memurnikan agamanya, hanya bagi Allah SWT.
Oleh : Nuaim B. Kamal*
JERNIH—Mengapa jin dan manusia diciptakan Allah SWT? Alasan penciptaan jin dan manusia itu digambarkan dalam ayat berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba kepada-Ku.” – Q.S. Adz-Dzaariyaat [51]: 56
Satu-satunya alasan penciptaan manusia dan jin adalah menjadi hamba (abd) bagi Allah. Sejarah kelam perbudakan di masa Rasulullah SAW. memberikan impresi tentang arti menjadi “hamba” Allah, karena istilah “hamba” sinonim dengan “budak”. Di sini, seorang budak menghambakan dirinya karena ia “sudah dibeli” oleh tuannya.
Pada prinsipnya, misi hidup seseorang adalah memurnikan penghambaannya, menjadi tertuju semata hanya kepada Allah SWT. Penghambaan dan ketaatan adalah salah satu makna utama dari Ad-Diin (agama). Diturunkannya Al-Qur’an adalah pertolongan Allah SWT agar manusia mengetahui jalan untuk memurnikan agamanya, hanya bagi Allah SWT.
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّـهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan Al-Haqq (kebenaran sejati), maka menghambalah kepada Allah dengan memurnikan agama bagi-Nya.” – Q.S. Az-Zumar [39]: 2
Agama yang utuh
Komponen agama yang lengkap dirangkum dalam hadits nomor 2 Arbain Nawawiyah:
“Dari Umar r.a. juga, dia berkata: Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah SAW) dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas pahanya dan berkata: “Wahai Muhammad, beritahu aku tentang islam,” maka bersabdalah Rasulullah SAW: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu pergi,“ kemudian dia berkata: “engkau benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan.
Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang iman.“ Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir, baiknya maupun buruknya,“ kemudian dia berkata: “Engkau benar“.
Kemudian dia berkata lagi: “Beritahu aku tentang ihsan.“ Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau menghamba kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau.”
Kemudian dia berkata: “Beritahu aku tentang assa’ah (hari kiamat).” Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.“ Dia berkata: “Beritahu aku tentang tanda-tandanya,“ beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya,“ kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah SAW) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.“ Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang mendatangi kalian (untuk) mengajarkan agama kalian.“ (H.R. Muslim)
Hadits ini secara tersurat menyatakan bahwa komponen agama terdiri dari:
-Islam, yakni pelaksanaan lima rukun Islam
-Iman, yakni pengimanan kepada enam rukun iman
-Ihsan, yakni menghamba seakan-akan melihat-Nya, atau jika tidak, setidaknya menyadari bahwa Allah melihatnya.
Islam
Islam berarti berserah diri (kepada Allah). Hamba (abd, budak) tidaklah memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun, karena kemerdekaannya telah dibeli.
Islam, yang artinya berserah (diri), adalah titik awal menuju agama yang paripurna. Pada hadits di atas ditegaskan, agama tidak lengkap tanpa adanya salah satu dari ketiga unsur: Islam, Iman, dan Ihsan. Ketiganya saling melengkapi dan tidak terpisahkan.
Islam ditandai dengan penyaksian (syahadat), yang merupakan pengungkapan verbal akan sebuah tekad untuk mengesakan Allah SWT dengan mengikuti Rasulullah Muhammad SAW. Setelah syahadat, Islam kemudian terkait dengan melaksanakan amal-amal jasadiah yang telah ditetapkan Allah SWT. Hamba Allah tentu akan bersungguh-sungguh menjadi perangkat Allah dalam pemakmuran bumi yang dipijaknya.
Karena Allah yang berkehendak agar manusia menghamba kepada-Nya, tentunya Dia menciptakan manusia tepat sesuai untuk tujuan itu.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
“Katakanlah: “Tiap-tiap orang beramal menurut arah tujuannya (syaakilah).” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih tertunjuki jalannya.”-– Q.S. Al-Israa’ [17]: 84
Penghambaan melalui keberserahan diri akan membawa kenikmatan dan kebahagiaan bagi hamba, karena dia memang diciptakan untuk itu, lahir dan batin. Seperti air mengalir di sungai atau planet-planet yang beredar pada orbitnya masing-masing.
Iman
Islam (berserah diri) adalah titik masuk menuju agama yang paripurna. Setelah seseorang memasuki Islam, jika Allah menghendaki, Dia akan memasukkan iman ke dalam hati (qalb).
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَـٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ´kami telah ber-islam (berserah diri)´, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.”-– Q.S. Al-Hujuraat [49]: 14
Seorang Muslim belum tentu mukmin, hingga Allah memasukkan iman ke dalam hatinya. Ada beberapa ciri khas orang-orang beriman (Al-Mu’minuun):
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّـهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman (Al-Mu’minuun) ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhan merekalah mereka bertawakkal.”-– Q.S. Al-Anfaal [8]: 2
Dari ayat di atas, iman yang benar tidak sekadar percaya: gemetar hati ketika disebut nama Allah, bertambah iman ketika dibaca ayat-ayat-Nya dan bertawakkal kepada Allah.
Ihsan
Tahap berikutnya adalah ihsan.
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّـهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّـهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang menyerahkan (aslama) wajahnya kepada Allah, dan dia pun muhsin (ber-ihsan) dan mengikuti agama Ibrahim dengan lurus?” – Q.S. An-Nisaa’ [4]: 125
Ihsan merupakan tingkatan di atas Islam dan Iman. “Seakan melihat Allah atau dilihat Allah” sebagaimana dalam definisi Ihsan dalam hadits Jibril di atas mengandung implikasi bahwa amal yang dilakukan adalah amal yang sesuai dengan kehendak-Nya. Amal seperti ini disebut amal shalih, amal yang sesuai dengan perintah Allah SWT untuk hamba tersebut. Ihsan berkenaan langsung dengan keshalihan amal.
Keselamatan dari tipuan dunia dan setan
Pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat, syariat lahiriah dan syariat batiniah menyatu dalam diri seorang hamba Allah. Namun dalam perkembangan politik dan ekonomi umat Islam, banyak kaum muslimin terlarut oleh kehidupan dunia. Hal itu menimbulkan perlawanan oleh beberapa orang yang memilih hidup menjauhi dunia. Dan mulailah keterpisahan antara kaum yang menikmati kemewahan dunia dengan menjaga syariat lahir, dan kaum yang menjauhi kenikmatan dunia dengan menekankan syariat batin.
Amalan-amalan lahiriah dalam perjuangan menegakkan syariat mempunyai godaan tersendiri. Dalam hal ini, seorang Muslim bisa tergelincir hingga zakatnya tercemari riya’, puasa sekadar menahan haus dan lapar, haji untuk gelar dan lain sebagainya.
Untuk menghindari kejatuhan dalam perangkap tipuan dunia dan setan dalam amal-amal jasadiah, kita memerlukan ilmu yang sesuai untuk membebaskan diri. Ilmu itu, dalam salah satu dimensinya, berupa hukum (fiqh) syariah yang berhubungan dengan rukun Islam, hukum-hukum tentang halal dan haramnya sesuatu dan hal-hal lain yang terkait dengan amalan.
Iman, di sisi lain, jelas sesuatu yang batin (tidak tampak). Akal pikiran jasad tak akan sanggup menjangkau wilayah Iman ini. Untuk mengetahui Iman, diperlukan suatu ruh yang Allah SWT jadikan cahaya untuk memberikan petunjuk.
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَـٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu suatu ruh dari urusan (amr) Kami. Kamu tidak mengetahui apakah Al-Kitab dan tidak pula (mengetahui apakah) iman itu, tetapi Kami menjadikannya cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”-– Q.S. Asy-Syuura [42]: 52
أُولَـٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ
“Mereka itulah orang-orang yang (Allah telah) menuliskan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan suatu ruh dari-Nya.”-– Q.S. Al-Mujaadilah [58]: 22
Sementara itu, Ihsan yang tingkatannya lebih tinggi daripada Iman tentu lebih ghaib lagi bagi akal jasad. Sisi batiniah dalam agama (Iman dan Ihsan) tentu juga dikelilingi oleh tipuan, yang bahkan lebih halus dari tipuan lahiriah. Dalam keadaan tertipu, hati kita bisa mengeluhkan apa-apa yang dihadirkan oleh Allah, memandang remeh orang lain hanya karena penampilan atau pangkatnya, merasa iri dan dengki, tidak bertawakkal kepada Allah SWT, tidak bersyukur, dan penyakit-penyakit hati lainnya.
Ketika berurusan dengan hal batiniah sehalus itu, manusia memerlukan petunjuk yang mampu menjangkau ranah itu—sampai Allah SWT menguatkannya dengan ruh dari-Nya.
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابُِ
Allah menganugerahkan Al-Hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi Al-Hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan tidak mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang mempunyai lubb (Ulul Albab). – Q.S. Al-Baqarah [2]: 269
Kehalusan tipu daya ini tidak mungkin dilawan dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri. Allah SWT akan mengajarkan kepada mereka yang bertakwa.
وَاتَّقُوا اللَّـهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّـهُ ۗ وَاللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan bertakwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” – Q.S. Al-Baqarah [2]: 282
Jika seseorang telah meniatkan diri untuk menuju Allah, tidak mungkin akan Dia sesatkan. Dan jika Allah SWT menghendaki, Dia akan mempertemukannya dengan seorang mursyid yang memang Allah berikan kuasa untuk membimbing hamba-hambanya (wali mursyid). Sebagaimana terjadi dalam berbagai thariqah dari masa ke masa.
Bagaimanapun, untuk menyatukan syariat lahir maupun syariat batin dalam diri, kita senantiasa memerlukan dan mengharapkan pertolongan Allah SWT yang Maha Penerima Taubat. [Qudusiyah.org]