Iman kepada yang gaib sebagai Cinta sedemikian rupanya menjadi prasyarat mutlak bagi predikat ketakwaan (baca: keislaman sejati). Ini eksplisit bisa dibaca dalam beberapa ayat pertama Surat Al-Baqarah. Jelaslah, sekali lagi, Cinta yang sesungguhnya adalah iman kepada yang gaib. Lainnya, nonsense.
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH– Hari ke-10. Sudah lewat sepertiga shaum kita. Jika kita ibaratkan sebulan itu sehari saja, hari ke-10 kurang lebih akan identik dengan pukul 10. Dikonversikan ke waktu dan efektivitas kerja, pukul 10 adalah saat paling produktif.
Hari ke-10 shaum adalah momen emas, saat semangat sedang betul-betul terpompa. Untuk itu, saya ingin mengajak Anda berbincang tentang Cinta. Bukankah cinta merupakan tema yang menggairahkan?
Pada bagian terakhir kitab “Ihya Ulumuddin”, Imam Al-Ghazali mengurai tema cinta dengan menarik. Menurutnya, cinta manusia selalu berhubungan dengan kelezatan yang teridentifikasi melalui panca indera.
Jika sesuatu melalui mata (visual) menimbulkan kelezatan, manusia mencintai sesuatu itu. Taruhlah seseorang yang mencintai lukisan pemandangan alam, itu karena ia mendapatkan kelezatan dari lukisan tersebut melalui penglihatannya. Orang lain menyukai musik karena melalui pendengarannya menikmati suara yang melezatkan. Demikian seterusnya, kelezatan lain yang teridentifikasi oleh pencecapan, penciuman, dan persentuhan menyebabkan manusia mencintainya.
Lantas, bagaimana dengan mencintai Allah? Bukankah Allah tidak terindera? Di sinilah justru kita akan menemukan arti cinta yang sesungguhnya: bahwa Cinta (dengan C kapital) yang sesungguhnya adalah Cinta kepada Allah. Selain itu, bukanlah Cinta.
Al-Ghazali mengemukakan dua hal lain tentang bagaimana kelezatan yang dapat menimbulkan Cinta. Pertama, kelezatan yang dengan sendirinya eksis pada sesuatu. Manusia mencintainya karena ia memang lezat. Dengan kata lain, kelezatan sebagai Ada. Tanpa perlu mediasi indera, sesuatu telah lezat di dalam dirinya sendiri.
Di sinilah, kita bertemu dengan Allah. Allah Maha-Indah juga menyukai keindahan. Allah adalah Kemahalezatan itu sendiri. Kedua, Ghazali menyebut indra keenam, yakni hati. Hati memiliki mata yang lebih tajam, yaitu mata hati. Mata hatilah yang dapat menjadi media untuk mengidentifikasi kemahalezatan Allah. Itulah yang disebut iman.
Walhasil, Cinta yang sesungguhnya adalah iman kepada yang gaib, yaitu Allah, juga Rasul dan hal gaib lain yang difirmankan Allah. Rukun iman, di situ, dapat pula disebut gugusan Cinta. Sebab rukun iman, termasuk Al-Quran, adalah hal yang terkait erat dengan kegaiban. Tentang iman kepada Rasul dijelaskan oleh sabda Rasul sendiri. Ketika seorang sahabat bertanya kepada Baginda Rasul tentang iman, Beliau menjawab bahwa iman adalah engkau mencintai Allah dan Rasulnya.
Hadits tersebut, selain menjawab pertanyaan pada saat ia disampaikan, juga bersifat visioner. Ia menegaskan tentang Cinta di masa depan yang berkaitan dengan sesuatu tidak terindera tadi. Bagi kita, ummat di masa depan ketika hadits itu disampaikan, bukankah Rasul adalah gaib. Itu mengapa Rasul sangat mengapresiasi ummat di akhir zaman yang menganut teguh Islam. Rasul mengakui yang bersangkutan sebagai kerabat (saudara) dekat Beliau.
Iman kepada yang gaib sebagai Cinta sedemikian rupanya menjadi prasyarat mutlak bagi predikat ketakwaan (baca: keislaman sejati). Ini eksplisit bisa dibaca dalam beberapa ayat pertama Surat Al-Baqarah. Jelaslah, sekali lagi, Cinta yang sesungguhnya adalah iman kepada yang gaib. Lainnya, nonsense.
Lantas, bagaimana Cinta kepada Yang Ghaib harus diekspresikan. Di sinilah kita bertemu dengan Islam. Islam adalah media bagi ekspresi keimanan. Sebagai media ekspresi, Islam adalah Jalan Lurus (syirathal mustaqim) yang membimbing kita ke episentrum Cinta, yaitu Allah Ajja Wajjala.
Shaum, tentu saja, merupakan salah satu model artikulasi Cinta di dalam Islam, ia bagian dari rukun Islam. Jadi, shaum adalah ekspresi Cinta. Maka bagaimana kita bisa loyo, bisa lelah, lapar, dan lain-lain jika sedang men-Cinta. Men-Cinta adalah sebuah gelora mahagelora dari bahagia. Jika tidak begitu, hati-hati, cintamu jangan-jangan palsu. Selamat berbuka! [ ]
Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB