Beranalogi ke situ, kue lapis untuk ibadah minggu depan, tetapi dibicarakan hari ini, Insa Allah menjadikan pahalanya berlipat. Allah Maharahman Maharahim. Kebaikan akan dicatat sejak rencana, sedangkan catatan buruk ditunda sampai betul-betul dilaksanakan.
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH–Hari ke-5. Saya nyaris tidak melakukan apa-apa. Juga tidak punya ide untuk menulis. Saat sahur tadi saya bilang ke Bintang, si sulung, untuk tidak tidur lagi setelah makan sahur.
Ambillah buku, coba membaca, menulis, atau pergi ke jalan, sekedar melengos dari tatapan kantuk. Salah satu tantangan berat dalam hidup adalah menaklukan tubuh. Dan celakalah jika yang terjadi sebaliknya: menjadi budak tubuhmu sendiri.
Saya lantas pergi ke mesjid. Berbaur bersama tetangga. Shalat subuh. Teringat salah satu ayat dalam Al-Quran: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah bersama orang-orang yang ruku” (QS.2:43). Tapi, apa betul saya sudah ruku?
Terlintas di benakku kisah Musa dan kaumnya, Bani Israil, yang pada suatu masa dilanda kekeringan. Mereka lantas shalat dan berdoa meminta hujan. Namun, Allah tidak mengabulkan doanya sebab dalam barisan jamaah Musa terdapat orang yang berdosa. Allah baru akan mengabulkan doa mereka jika orang tersebut mengakui dan bertobat atas dosanya itu. Saya terpuruk. Jangan-jangan shalat berjamaah saya juga telah menghambat doa tetangga sekomplek. Saya pulang dengan gamang. Ampuni hamba, Allah.
Beranjak siang, sekonyong-konyong dua orang ibu mengetuk pintu dapur. Saya pergi ke ruang tamu. Saya pikir dua ibu itu akan bertemu istriku. Saya beri kesempatan mereka untuk bebas berbincang di ruang tengah. Di kursi depan, saya membaca “Naik Haji di Masa Silam”, buku yang terdiri atas tiga jilid tebal dan terbit pertama kali tahun 2013.
Sebenarnya saya sudah membaca buku yang isinya kumpulan artikel itu. Tapi, saya baca lagi jilid ke-1, periode 1482-1890. “Seorang Menak Sunda Naik Haji”, saya pilih artikel itu. Sebuah kisah ibadah haji yang ditulis oleh pelakunya, Raden Demang Panji Nagara, yang berangkat ke tanah suci pada 27 Syawal 1268 atau 14 Agustus 1852 dan baru tiba di Mekkah tujuh bulan kemudian. Ia kembali ke Tanah Air, tepatnya ke Sumedang, dua tahun berikutnya (3 Rabiul Awal 1271 atau 24 Novmber 1854).
Karena artikel itu merupakan hasil transliterasi dari naskah lama berbahasa Melayu berhuruf Jawi, membacanya jadi harus pake keringat. Pengalih huruf dan penerjemahnya sendiri bilang bahwa dalam naskah tersebut banyak kalimat yang membingungkan. Rupanya si penerjemah tidak mau bingung sendirian. Ia bagikan kebingungan itu kepada pembaca karya terjemahannya.
Barangkali karena itu saya jadi mengantuk. Nyaris tertidur. Terlintas nasihat untuk si sulung saat sahur tadi. Bukankah saya telah menyarankan agar ia tidak tidur. “Hai orang-orang beriman, mengapa kamu katakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah karena kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Itu firman Allah dalam Surat Ash-Shaff ayat 2 dan 3. Saya jadi miris.
Saya pun beranjak dari sofa, mengambil laptop, dan coba paksakan menulis. Tapi, susah sekali. Tidak muncul ide. Tidak ada fokus. Saya hanya bisa menulis hal yang ngelantur sebagaimana terbaca di atas. Bahkan sampai kalimat ini belum juga ketemu judul.
“Bikin kue lapis saja, Bu, mudah dan murah!”, terdengar suara istri saya dari ruang tengah. Rupanya dua ibu tadi datang ke rumah untuk berdiskusi, mempersiapkan makanan tajil di masjid komplek.
Saya tersenyum. Bulan puasa memang luar biasa. Berkah di mana-mana. Orang dalam perjalanan tidak susah nyari makan. Asal pas waktu berbuka, tinggal mampir ke masjid, perut dijamin kenyang. Bahkan jika mau boleh pula membawa pulang.
“Bersama Bu Rully dan Bu Linda kita dapat giliran menyiapkan tajil di masjid”, jelas istri saya setelah kedua rekannya pulang. Dari balik kaca ruang tamu masih terlihat mereka melangkah ke arah tenggara dari rumah kami.
“Itu tadi Bu Rully dan Bu Linda? Tapi, kok, mereka pulangnya ke sana, bukannya rumah mereka di belakang kita?” saya bertanya sekedar mengambil jeda dari kebosanan.
“Mereka mau ke tetangga yang lain”, jawab istri saya.
“Lha, kapan masaknya kalau diskusi terus?”
“Lha, siapa bilang masaknya hari ini. Giliran kita kan nanti, Sabtu depan, masih seminggu lagi”.
“Subhanallah”, kata saya dalam hati. Luar biasa ibu-ibu itu. Untuk menyiapkan buka puasa sepekan lagi saja sudah didiskusikan dari sekarang. Hanya untuk membuat kue lapis pula. Tampak sepele di satu sisi dan berlebihan di sisi lain. Tapi, di balik itu sesungguhnya bukan soal kue lapisnya, melainkan justru perbincangannya, yakni perbincangan untuk sebuah aktivitas ibadah.
Kita ingat nilai pahala shalat berjamaah di masjid: setiap langkah kaki ke masjid tersebut akan dihitung. Artinya, semakin banyak langkah kaki, yang tentu identik dengan semakin jauh jarak rumah dari masjid, semakin besar kalkulasi pahalanya. Beranalogi ke situ, kue lapis untuk ibadah minggu depan, tetapi dibicarakan hari ini, Insa Allah menjadikan pahalanya berlipat. Allah Maharahman Maharahim. Kebaikan akan dicatat sejak rencana, sedangkan catatan buruk ditunda sampai betul-betul dilaksanakan.
Alhamdulillah, saya pun bersyukur. Sebab akhirnya ditemukan juga judul untuk esei pendek ini: Rencana Membuat Kue Lapis. Di mejamu mungkin tidak ada kue lapis. Tapi, periksalah, dengan tak lupa mengucap basmalah, pada setiap menu yang kamu hidangkan, di situ terdapat pahala berlapis-lapis. Sebab itulah, saat berbuka puasa, tidak ada yang tidak bahagia. Selamat! [ ]
* Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB