Jari benar-benar telah mengambil alih fungsi mulut. Dan ia melaksanakannya nyaris tanpa cacat. Tradisi mulut kini begeser menjadi tradisi jari. Jika dulu terdapat idiom “mulutmu, harimaumu”, kini Anda boleh mengganti kata “mulut” dengan “jari” hingga bunyinya menjadi “jarimu harimaumu” (itu pun kalau harimaunya masih ada).
Oleh : Acep Iwan Saidi
JERNIH– Hari ke-7, sebentar lagi segera tiba saat berbuka. Mari, sambil menunggu, kita berbincang soal jari. Maksud saya, jemari tangan kita.
Saya pikir ini penting, soalnya kita memang jarang atau bahkan tidak pernah memperhatikannya, bukan? Coba ingat-ingat, kapan terakhir organ tubuh di ujung tangan itu diperhatikan. Saat menggunting kuku, apakah kita sering sekalian memeriksanya, walaupun hanya sambil lalu. Semoga jari tidak cemburu saat kamu memperindah kuku. Semoga Allah mengampuni kita.
Sebab tidak pernah memperhatikannya, kita tidak tahu bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini jari selalu bekerja ekstra. Dulu hanya orang-orang yang tidak punya pekerjaan macam saya, yaitu para penulis, yang memungsikan jari dengan maksimal. Dulu jari lebih banyak melaksanakan kewajiban pokok, antara lain memegang sendok atau bersentuhan langsung dengan makanan. Ah, begitu dekat jarak jari dengan makanan sehingga dikenal jenis makanan berat yang julukannya langsung melibatkan jari, yakni nasi rames. Tidak ada yang pernah bisa merames dengan sendok. Pasti, absolut, mutlak, itu pekerjaan jari.
Namun, kini tidak demikian lagi. Kini kerja jari berlipat-lipat. Dan nyaris semua orang mempekerjakannya, dari balita hingga lansia. Itu terjadi sebab kini jari ditugasi untuk mengambil alih tugas mulut. Apa yang terdapat di dalam pikiran dan perasaan mesti diartikulasikan oleh jari.
Sebenarnya, beban pekerjaan itu lebih banyak diterima jari dari perasaan, bukan dari pikiran. Order dari pikiran malah justru berkurang drastis. Dulu, ketika perasaan belum memborbardirnya seperti sekarang, pekerjaan jari lebih banyak merenung.
Para pemikir lebih hati-hati untuk menyuruhnya bekerja. Para penulis puisi dan fiksi juga begitu. Malah mereka lebih banyak mengajak jari berkontemplasi. Chairil Anwar, misalnya, karena mencari makna sampai ke akar kata, ia belum mau menyuruh jari sebelum makna itu didapatkan dari kata. Akibatnya, berbulan-bulan Chairil menyuruh jari hanya menulis satu kata saja.
Kini jari betul-betul keja rodi. Perasaan itu galak dan kejam. Apa yang dimauinya tidak bisa ditunda. Apa yang dirasa, harus segera disulap jari jadi kata. Tapi, jari memang sangat sabar meladeni. Ia tidak pernah mengeluh lelah dan cemburu. Andai jari itu kamu, pasti kamu sudah marah-marah. Dan pasti kamu akan menyuruh jari pula untuk mengabarkan kemarahanmu itu kepada dunia.
Selain mengerjakan orderan perorangan, jari juga menjadi pekerja romusha untuk berbagai lembaga, pemerintah maupun swasta, politik maupun akademik. Pemerintah, misalnya, rupanya secara biologis punya anatomi yang sama, yakni punya otak di satu sisi dan perasaan di sisi lain.
Dan dalam tahun-tahun terakhir ini, sama juga, pemerintah lebih banyak menyuruh jari mengerjakan pesanan perasaannya. Sebagai contoh, Kementerian Agama menyuruh jari menyampaikan daftar 200 ustad terekomendasi (rekomended). Itu pasti bukan pesanan otak. Ukurannya gampang, daftar itu memunculkan kegaduhan. Padahal, Pak Jusuf Kalla yang bukan ustadz saja tahu, Indonesia butuh 300.000 ustadz, bukan 200. Tapi, jari tidak bisa mengelak. Ia hanya petugas: yang bodoh-bodoh macam itu terpaksa disampaikannya juga.
Jari benar-benar telah mengambil alih fungsi mulut. Dan ia melaksanakannya nyaris tanpa cacat. Tradisi mulut kini begeser menjadi tradisi jari. Jika dulu terdapat idiom “mulutmu, harimaumu”, kini Anda boleh mengganti kata “mulut” dengan “jari” hingga bunyinya menjadi “jarimu harimaumu” (itu pun kalau harimaunya masih ada).
Jika dulu orang yang hanya pandai bicara, tapi tidak cakap bekerja dijuluki omong doang (omdo), kini bisa berganti sebutan menjadi jari doang (jado). Jika dulu kepada jenis orang tadi kamu sering berujar, “Ah, elo, cakapmu cuma ngomong!” Kini kamu bisa bilang, “Ah, elo, cakapmu cuma ngejari!” Pada hari penghisaban nanti, seperti mulut yang dikunci, apakah jari akan diikat?
Jika iya, kasihan betul jari. Ia telah dipaksa terlibat menyampaikan banyak pesanan yang, secara umum, cenderung buruk: dari merumpi hingga mencaci. Tidak pernah berhenti. Tidak pernah memiliki sunyi. Jari tidak bisa lagi menjadi diri sendiri.
Untuk itu, mari kita berdoa, semoga di bulan Ramadhan ini pesanan terhadapnya lebih banyak yang positif. Dan lihatlah, setiap menjelang berbuka puasa, ia memang selalu tampak bahagia. Ia sepertinya tahu, dalam beberapa saat kemudian akan menyentuh makanan yang akan membawamu ke sorga. Insya Allah. Selamat berbuka. Mungkin sebaiknya makanmu tidak memakai sendok! [ ]
*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB