Site icon Jernih.co

Catatan Menjelang Buka (9): Kolang-kaling

Lihatlah, kolang-kaling, buah sudra yang jelata itu, justru menjadi makanan khas berbuka puasa. Ia telah dipilih. Entah siapa yang memulai. Di meja ritual berbuka, kolang-kaling, bersanding dengan kurma, buah bersejarah dalam kehidupan Muhammad, Baginda Nabi Junjungan Semesta.

Oleh  : Acep Iwan saidi

JERNIH– Hari ke-9, bagaimana kalau kita bicara kolang-kaling? Mungkin ia tidak ada di menu buka puasa Anda sekarang. Tapi, kita semua tahu belaka, buah putih dan pipih seukuran ibu jari orang dewasa itu telah menjadi makanan khas Ramadhan.

Acep Iwan Saidi

Saya tidak tahu persis sejak kapan kolang-kaling jadi menu takjil. Sejak mulai belajar shaum dahulu, ia sudah ada pada “syntax” makanan berbuka yang ditata almarhumah ibu saya di atas meja—semoga Allah menjadikan kuburnya istana. Di samping itu, lebih dari sekedar menu takjil, kolang-kaling adalah “sahabat” kanak-kanak saya. Beberapa pohonnya yang tumbuh di kebun kakek  menjadikan saya akrab dengannya.

Kolang-kaling adalah sahabat yang tidak bisa disakiti. Jika kamu menyakitinya, ia akan membalasmu dengan sangat menyakitkan juga. Pada saat mengupas kulitnya, jika tidak hati-hati sehingga getahnya terkena tanganmu, saat itu ia akan menyerang balik. Getah kolang-kaling bisa menimbulkan gatal-gatal luar biasa. Susah sekali mencari penawarnya. Jika getah itu menetes di satu bagian tubuhmu dan digaruk, biasanya akan nyaliara, alias menyebar ke bagian tubuh lain, bahkan bisa ke seluruh tubuh.

Lha, kalau tidak dikupas, bagaimana cara mengambil dari balik kulitnya yang tebal itu? Kolang-kaling minta kita membersihkan alakadarnya, lalu direbus atau dibakar sampai gosong. Setelah itu baru dibelah dan kita mengeluarkan si kolang-kaling dari dalam.

Belum berhenti sampai di situ, ia masih harus direbus barang satu atau dua malam sebelum kemudian siap menjadi bahan setengah jadi untuk dimakan. Almarhum ibu saya biasanya memasak kolang-kaling jadi kolak atau, ini yang lebih sering, sekedar merendamnya dengan es batu dan sirup. Jadilah ia menu takjil.

Mengapa kolang-kaling jadi sajian takjil? Saya mengira mungkin karena ia memiliki banyak kandungan air. Dan karena itu bisa menjadi penawar haus bagi orang yang berbuka puasa. Mungkin juga karena kolang-kaling pernah jadi untaian emas ketika ditunjuk oleh tongkat Sunan Bonang dalam kisah Wali Songo. Kisah ini tertulis dalam buku pelajaran sekolah dasar waktu saya kecil. Entahlah. Orang kita memang paling pandai mereka-reka. Dan saya sendiri cuma bisa menduga.

Hal yang pasti, kolang-kaling merupakan contoh bagus dari mekanisme pergeseran natur (alam) ke kultur (budaya) dan kemudian masuk ke dalam lingkaran ritual keagamaan. Kolang-kaling, setidaknya, telah mendampingi sejarah ritual berbuka puasa, entah sejak kapan. Posisinya sebagai makanan khas—bersama kolak pisang—tentu mesti dibedakan dengan makanan lain. Ia tidak bisa dibandingkan dengan gorengan, misalnya. Meskipun gorengan merupakan makanan demokratis (dimakan oleh berbagai lapisan masyarakat) dan sering hadir dalam menu buka puasa juga, ia bukan makanan  khas Ramadhan. Derajatnya di bawah kolang-kaling.

Di dalam menu berbuka, kolang-kaling lantas bertemu dengan kurma, buah yang melekat kuat dalam sejarah Islam dan disarankan menjadi makanan pembuka dalam berbuka. Tentu saja, di atas meja, kolang-kaling juga berjumpa dengan banyak jenis makanan lain yang bermuasal dari berbagai bangsa berbeda. Tapi, kolang-kaling dan kurma punya hubungan lebih dekat.

Kolang-kaling dan korma punya beberapa kemiripan. Keduanya merupakan jenis buah-buahan dari pohon yang tipologi dan karakternya hampir sama. Uniknya, kolang-kaling tampak berhubungan dekat justru karena perbedaannya. Kita periksa.

Material (daging) kurma berada di bagian luar. Bagian ini yang kita makan. Sedangkan dari kolang-kaling kita memakan bagian dalamnya. Daging kolang-kaling tidak lebih semacam biji, tetapi kenyal, yang dilapisi kulit cukup tebal. Kulitnya sendiri tidak berguna sama sekali, seperti  biji kurma yang umumnya kita campakkan saja setelah bagian luarnya dikunyah. Beda lain, kolang-kaling berwarna putih, sedangkan kurma coklat kehitam-hitaman. Tampak dari situ bahwa perbedaanya seperti memberi ruang untuk saling bertukar. Bayangkan jika kolang-kaling menjadi biji kurma? Pasti dasyat.

Atau, jangan-jangan, kolang-kaling itu dulunya menyatu dengan kurma? Kalau dijawab iya, gatuknya keterlaluan. Hal yang boleh dicatat, barangkali, sebuah pesan tersembunyi, bahwa sebagai rahmatan lil alamin Islam adalah agama yang memberi ruang terbuka untuk mempertemukan berbagai kemungkinan: bukan cuma soal pertemuan kultur, tapi juga karakteristik alam. Kolang-kaling dan kurma, sebagai jenis buah dari alam yang berbeda, dipertemukan pada sebuah meja, sebagai kurban untuk kepentingan sama: ritual berbuka puasa.

Catatan lain. Dalam pengalaman masa kecil saya, kolang-kaling  adalah jenis makanan yang memiliki silsilah muram. Setidaknya di kampung saya, sebuah dusun di kaki Gunung Salak. Di tanah leluhur saya tersebut, pohon kolang-kaling (aren) tidak pernah ditanam. Ia tumbuh sendiri. Bibitnya mungkin berasal dari ludah burung gagak. Karena demikian, aren merupakan jenis pohon yang tidak terlalu berharga.

Sikap masyarakat terhadap buah kolang-kaling sendiri tidak sama dengan terhadap buah kelapa, misalnya. Sebelum diolah menjadi bahan makanan setengah jadi, buah kolang-kaling cenderung dicampakkan. Getahnya yang menimbulkan gatal menyebabkan banyak orang enggan menyentuhnya. Pendek kata, kolang-kaling adalah buah sudra.

Dari fakta empirik itu boleh kiranya saya menyimpulkan pesan semiosis lain: bahwa sebagai  rahmatan lil alamin, Islam adalah agama yang memberi penghargaan pada sesuatu yang diremehkan sekalipun. Lihatlah, kolang-kaling, buah jelata itu justru menjadi makanan khas berbuka puasa. Ia telah dipilih. Entah siapa yang memulai. Di meja ritual berbuka, kolang-kaling, sekali lagi, bersanding dengan kurma, buah bersejarah dalam kehidupan Muhammad, Baginda Nabi Junjungan Semesta. Juga buah utama dalam silsilah Isa. Selamat berbuka, semoga berbahagia. [ ]

Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB

Exit mobile version