“Mengapakah engkau tidak menikah?” beberpa orang bertanya kepada Daud Ath-Tha’i. “Aku tidak mau mendustai seorang wanita yang beriman.”
JERNIH—Sebagaimana lazimnya, kaum sufi memang hidup berkekurangan. Tetapi Daud Ath Thai menjalani yang terberat dari itu.
Daud Ath-Tha’i menjalani kehidupan yang sedemikian prihatin sehingga untuk makanannya ia sering mencelupkan roti ke dalam air, kemudian mereguk air itu, sambil berdalih : “Sebelum memakan roti ini aku masih sempat membaca lima puluh ayat al-Quran. Mengapa harus kusia-siakan hidupku ini?”
Kita akan takjub dengan kezuhudan Daud. Beliau beliau adalah seorang wali Allah yang tidak mau sedetik pun hatinya dilalaikan oleh dunia, walau hanya mengangkat sebuah kendi. Ini adalah sebuah perbuatan orang Muqarrabiin (Orang yang hatinya selalu dekat dan mengingat Allah, di bawah para Nabi, dan di atas orang sholeh), dimana kebaikan orang sholeh masih bisa dianggap sebagai suatu kejahatan bagi orang Muqarrabin.
Sebagai contoh mencari rezeki yang halal untuk keluarga adalah suatu ibadah dan kebaikan bagi orang sholeh dan orang awam, tetapi bagi sebagian orang Muqarrabin itu sudah cukup mengganggu mereka dari mengingat Allah. Akan tetapi tidak semua orang Muqarrabin bersikap demikian, ini tergantung kepada watak-watak dan kelebihan dari masing-masing mereka.
Daud Ath-Tha’i menghabiskan uang 20 dinar selama 20 tahun hingga wafatnya. Uang tersebut berasal dari hasil warisan, sehingga selama itu beliau tidak disibukkan dengan mencari rezeki lagi dan beliau juga tidak menikah.
Para Muqarrabin yang berwatak demikian adalah para wali Allah yang berwatak Nabi, yakni hanya untuk diri sendiri dan tidak baik untuk semua orang. Sedangkan para Muqarrabin yang berwatak Rasul contohnya para Imam 4 Mazhab, dan Ulama-ulama yang menjadi pemimpin bagi sebagian kaumnya. Mereka bukan saja diberi kelebihan hati, tetapi diberi juga kelebihan akal yang bisa mengontrol hati mereka yang begitu takut dan cinta kepada Allah.
Papanya Kehidupan Daud Ath Thai
Sejak kecil batinnya dicekam duka sehingga ia sering menghindarkan diri dari pergaulan. Yang menyebabkan pertaubatannya adalah seorang wanita yang sedang berkabung, yang membacakan :
Pipimu yang manakah
yang mulai kendur?
Dan matamu yang
manakah yang mulai kabur?
Kesedihan mencekam batinnya dan kegelisahan tak dapat diatasinya. Dalam keadaan seperti inilah ia belajar di bawah bimbingan Abu Hanifah.
“Apakah yang telah terjadi terhadap dirimu?”, tanya Abu Hanifah kepadanya.
Daud Ath-Tha’i pun mengisahkan pengalamannya,. Kemudian dia menambahkan : “Dunia ini tidak dapat menarik hatiku lagi. Sesuatu telah terjadi di dalam diriku, sesuatu yang tak dapat kumengerti, yang tak dapat dijelaskan oleh buku-buku atau pun keterangan-keterangan para ahli yang kutemukan.”
“Hindarkanlah manusia-manusia lain,” Abu Hanifah menyarankan. Maka Daud Ath-Tha’I berpaling dari manusia-manusia lain dan mengucilkan diri di dalam rumahnya. Setelah lama berselang barulah Abu Hanifah datang mengunjunginya. “Wah, caranya bukan dengan bersembunyi di dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun juga. Yang harus engkau lakukan adalah duduk di kaki para imam dan mendengarkan ajaran-ajaran mulia yang mereka kemukakan. Tanpa mengucapkan sepatah kata jua pun engkau harus mencamkan segala sesuatu yang mereka kemukakan itu. Dengan berbuat demikian engkau akan lebih memahami masalah-masalah yang mereka perbincangkan itu daripada mereka sendiri.”
Setelah menyadari maksud dari kata-kata Abu Hanifah itu, Daud Ath-Tha’i kembali mengikuti pelajaran-pelajarannya. Setahun lamanya ia duduk di kaki para imam, tanpa mengucapkan sepatah kata, menerima keterangan-keterangan mereka dengan tekun, dan cukup dengan mendengarkan saja tanpa memberi atau mengajukan tanggapan.
Setelah berakhir masa setahun itu Daud berkata : “Ketekunanku dalam setahun itu adalah sama dengan tiga puluh tahun bekerja keras.”
Kemudian ia bertemu dengan Habib ar-Ra’i yang membawanya ke jalan para sufi. Jalan ini ditempuhnya dengan tawakal, buku-buku yang dimilikinya dilemparkannya ke dalam sungai, kemudian ia mengasingkan diri dan membuang segala harapan dari manusia manusia lain.
Daud menerima uang sebanyak dua puluh dinar sebagai warisan. Jumlah ini dihabiskannya dalam waktu dua puluh tahun. Beberapa orang syeikh mencela perbuatannya itu.
“Di atas jalan ini kita harus memberi, bukan menabung untuk diri sendiri,” kata mereka. “Dengan uang sebanyak ini aku dapat menenangkan diriku. Uang sebanyak ini cukup bagi diriku hingga mati nanti,”kata Daud Ath-Tha’i.
Daud Ath-Tha’i menjalani kehidupan yang sedemikian prihatin sehingga untuk makanannya ia sering mencelupkan roti ke dalam air, kemudian mereguk air itu, sambil berdalih : “Sebelum memakan roti ini aku masih sempat membaca lima puluh ayat al-Quran. Mengapa harus kusia-siakan hidupku ini?”
Abu Bakr bin ‘Iyasy meriwayatkan : “Pada suatu ketika aku masuk ke dalam kamar Daud Ath-Tha’i. Kulihat ia sedang memegang sepotong roti kering dan menangis. “Apakah yang telah terjadi Daud Ath-Tha’i? Tanyaku. Daud menjawab : “Aku hendak memakan roti ini tetapi aku tidak tahu apakah roti ini halal atau tidak.”
Yang lain meriwayatkan : “Aku pergi ke rumah Daud Ath-Tha’i dan kulihat satu kendi air sedang terjemur di terik matahari. Aku bertanya kepadanya, “Mengapakah engkau tidak menaruh kendi air itu di tempat yang teduh? Daud Ath-Tha’i menjawab : “Ketika tadi kutaruh di situ tempat itu masih teduh. Tetapi sekarang untuk memindahkannya aku merasa malu untuk melakukan kesibukan di depan Allah.”
Anekdot-anekdot seputar Daud
Diriwayatkan, bahwa Daud Ath-Tha’i pernah mempunyai sebuah rumah gedung besar dengan kamar-kamar yang banyak jumlahnya. Ia menempati salah satu di antara kamar-kamar itu, dan apabila kamar itu hancur dimakan usia, barulah ia pindah ke kamar yang lain.
“Mengapakah engkau tidak memperbaiki kamar itu?” seseorang bertanya kepada Daud Ath-Tha’i. “Aku telah berjanji kepada Allah tidak akan memperbaiki dunia ini,” jawab Daud Ath-Tha’i.
“Atap kamarmu telah lapuk,” seorang tamu berkata kepadanya,” tidak lama lagi pasti ambruk. Lambat laun seluruh bangunan itu runtuh, tidak sesuatu pun yang masih utuh kecuali serambinya. Pada malam kematian Daud Ath-Tha’i, barulah serambi itu runtuh.
“Sudah dua puluh tahun lamanya aku tidak pernah memperhatikan atap kamarku ini,” jawab Daud Ath-Tha’i.
**
“Mengapakah engkau tidak menikah?” beberpa orang bertanya kepada Daud Ath-Tha’i. “Aku tidak mau mendustai seorang wanita yang beriman.” “Mengapa demikian.?” “Andaikanlah aku melamar seorang wanita, hal itu berarti bahwa aku sanggup untuk menafkahinya. Tetapi karena pada waktu yang bersamaan aku tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban agama dan dunia, bukankah hal itu berarti bahwa aku telah mendustainya?”
“Baiklah, tetapi setidak-tidaknya engkau perlu menyisir janggutmu,” kata mereka.
“Hal itu berarti aku sempat berlalai-lalai,” jawab Daud Ath-Tha’i.
**
Pada suatu malam di bulan pernama, Daud Ath-Tha’i naik ke atas loteng rumahnya, lalu menatap langit. Ia terlena menyaksikan keindahan kerajaan Allah, sehingga menangis sampai tidak sadarkan diri, dan terjatuh ke loteng rumah tetangga. Si tetangga yang mengira ada maling di atas atap, datang memburu dengan sebilah pedang. Tetapi begitu yang dijumpainya Daud Ath-Tha’i segeralah ia meraih Daud Ath-Tha’i untuk berdiri.
“Siapa yang telah menjerumuskanmu?” tanyanya.
“Entahlah,” jawab Daud Ath-Tha’i. “Aku tidak sadar. Aku sendiri pun tidak habis pikir.”
**
Pada suatu saat ketika orang-orang menyaksikan Daud Ath-Tha’i bergegas-gegas hendak melakukan shalat. “Mengapa engkau tergesa-gesa seperti ini?” tanya mereka.
“Pasukan yang berada di gerbang kota sedang menantikan kedatanganku,” jawab Daud Ath-Tha’i.
“Pasukan siapa?” tanya mereka.
“Penghuni–penghuni kubur,” jawab Daud Ath-Tha’i.
**
Harun ar-Rasyid meminta Abu Yusuf supaya mengantarkannya ke rumah Daud Ath-Tha’i. Maka pergilah mereka ke rumah Daud Ath-Tha’i, tetapi tidak diperkenankan masuk. Abu Yusuf memohon agar Ibu Daud Ath-Tha’i mau membujuk anaknya.
“Terimalah mereka,” Ibunya membujuk Daud Ath-Tha’i.
“Apakah urusanku dengan penduduk dunia dan orang-orang berdosa?” jawab Daud Ath-Tha’i tidak mau mengalah.
“Demi hakku yang telah menyusuimu, aku minta kepadamu, izinkanlah mereka masuk!.” Desak ibunya. Maka berserulah Daud Ath-Tha’i : “Ya Allah, Engkau telah berkata : “Patuhilah ibumu, karena keridhaan-Ku adalah keridhaannya,”. Jika tidak demikian, apakah peduliku kepada mereka itu?”
Akhirnya Daud Ath-Tha’I bersedia menerima mereka. Harun Ar-Rasyid dan Abu Yusuf masuk dan duduk. Daud Ath-Tha’I memberikan pengajaran dan Harun Ar-Rasyid menangis tersedu-sedu. Ketika hendak kembali ke istana, Harun meletakkan sekeping mata uang emas sambil berkata : “Uang ini halal.”
“Ambillah uang itu kembali,” kata Daud Ath-Tha’i. “Aku tidak memerlukan uang itu. Aku telah menjual rumah yang kuterima sebagai warisan yang halal dan hidup dengan uang penjualan itu. Aku telah memohon kepada Allah, jika uang itu telah habis, agar Dia mencabut nyawaku, sehingga aku tidak akan membutuhkan bantuan dari seorang manusia pun. Aku berkeyakinan bahwa Allah telah mengabulkan permohonanku itu.”
Harun ar-Rasyid dan Abu Yusuf kembali ke istana. Kemudian Abu Yusuf mendatangi orang yang diamanahkan uang itu oleh Daud Ath-Tha’i dan bertanya : “Masih berapakah uang Daud Ath-Tha’i yang tersisa?”
“Dua dirham,” jawab orang itu. “Setiap hari Daud Ath-Tha’i membelanjakan satu sen uang perak.”
Abu Yusuf membuat perhitungan. Beberapa hari kemudian di dalam masjid di depan semua jama’ah ia mengumumkan :
“Hari ini Daud Ath-Tha’i meninggal dunia.”
Setelah diselidiki ternyata bahwa kata-kata Abu Yusuf itu benar.
“Bagaimanakah engkau mengetahui kematian Daud Ath-Tha’i?” orang-orang bertanya kepada Abu Yusuf.
“Aku telah memperhitungkan bahwa pada hari ini Daud Ath-Tha’i tidak mempunyai uang lagi. Aku tahu bahwa doa Daud Ath-Tha’i pasti dikabulkan Allah.” [ ]
Dari Kitab “Tadzkiratul Auliya” Karya Fariduddin At-Tar