Site icon Jernih.co

Hatim Al-Assam, Wali Sufi ‘Tuli’ yang Selalu Menjaga Nafsu dari Empat Kondisi

Illustrasi

Aku tampil sebagai pengemis  yang papa seakan-akan Allah di hadapanku, surga di sebelah  kananku, neraka di sebelah kiriku. Izrail Si Pencabut Nyawa di belakangku, dan titian shirat di bawah telapak  kakiku. Aku yakinkan, itulah salatku yang terakhir. Setelah itu aku berniat dan bertakbir lalu membaca surah  Al-Fatihah  dengan seksama seraya merenungkan arti setiap kata dan ayat.

JERNIH—Wali sufi yang sangat terkenal dermawan itu bernama Abu Abdurrahman Hatim Ibnu Unwan Al-Assam (Si Tuli), beasal dari Balkh, wilayah Irak saat ini. Julukan ‘Tuli’ ia peroleh karena sekian puluh tahun berpura-pura tuli, hanya untuk menjaga marwah dan perasaan seorang perempuan yang sempat—maaf—kentut di depannya.

Hatim al-Asham, termasuk tokoh guru besar di  Khurasan. Terkait namanya, dalam Thabaqat al-Shufiyah dikatakan ada tiga versi: Hatim bin ‘Unwan, Hatim bin Yusuf, Hatim bin Yusuf bin ‘Unwan, ketiga-tiganya merujuk pada orang yang sama, Hatim al-Asham. Memiliki nama kuniyah Abu Abdirrahman. Hatim al-Asham berguru kepada Syaqiq al-Balkhi, dan Hatim al-Asham juga merupakan guru dari Ahmad bin Khadrawaih.

Catatan al-Sulami dalam “Thabaqat al-Shufiyah”, Hatim al-Asham meninggal ada tahun 237 Hijriyah. Sematan al-Asham (tuli) bukan karena dia tidak bisa mendengar tetapi pernah suatu hari ia berpura-pura tidak mendengar kentut seorang wanita demi menjaga kehormatan dan rasa malu wanita tersebut sikap pura-pura tuli itu ia lakukan puluhan tahun, hingga si perempuan meninggal.

Kisah Hatim al-Asham yang pura-pura tuli sudah begitu familiar di telinga kita, namun kisah Hatim al-Asham yang menanyakan uang belanja kepada istrinya mungkin masih jarang kita dengar.

Alkisah pada suatu kesempatan Hatim al-Asham akan berangkat perang menuju Rum, ia pun lantas berpamitan kepada istrinya.

“Wahai istriku, aku akan pergi dan tak akan kembali selama empat bulan, kira-kira berapa kebutuhan uang belanjamu selama empat bulan aku pergi?” tanya Hatim.

“Wahai suamiku, aku tak bisa memperkirakan hajat hidupku,” jawab sang istri.

“Aku juga sama sepertimu tak bisa memperkirakan dan juga tak memiliki kuasa atas rizki,”ujar Hatim.

“Sudah.. sudah. Engkau berangkat saja, urusan rizki bukanlah urusanmu,” kata istrinya, tegas.

Berangkatlah Hatim al-Asham menuju medan perang dengan tak meninggalkan apa pun untuk sang istri. Melihat istri Hatim al-Asham yang ditinggal, ibu-ibu tetangga penasaran dan ingin tahu, kira-kira berapa banyak ia dinafkahi selama ditinggal Hatim.

Para ibu-ibu (‘ibu-ibu’ di sini bukan menunjukkan ‘jamak’—red) tetangga yang penasaran itu lantas bertanya pada istri Hatim al-Asham. “Hatim pergi meninggalkanmu. Berapa banyak nafkah yang diberikan Hatim kepadamu selama ia pergi?”tanya salah seorang, mewakili yang lain.

“Ibu-ibu, Hatim itu makan dari pemberian rizki. Aku pun juga begitu. Hatim memang sedang pergi, tapi ketahuilah sang pemberi rizki (Allah) tak pernah pergi. Allah selalu menjamin rizki setiap makluknya,”kata istri Hatim.

                                      **

Hatim adalah seorang ahli ibadah. Pada suatu hari ia kedatangan tamu bernama Isham bin Yusuf. “Bagaimana anda melakukan shalat?”tanya tamunya.

“Apabila waktu shalat tiba, saya segera melakukan wudu lahir dan batin,” jawab Hatim.

“Apakah  perbedaan antara kedua wudu itu?”  tanya Isham bingung.

Sambil memperhatikan wajah tamunya, Hatim berkata, “Wudu  lahir adalah mencuci badan dengan air.  Sedangkan wudu batin adalah mencuci jiwa dengan tujuh sifat. Yaitu taubat, menyesali dosa-dosa masa lalu, melepaskan diri dari ketergantungan pada dunia, menanggalkan pujian  dan penghormatan  pada  selain Allah, melepaskan  diri dari kendali  benda,  membuang rasa dendam kesumat,  dan  menyingkirkan  kedengkian.”

“Setelah itu aku menuju  masjid dan bersiap melaksanakan salat sambil memusatkan pandangan  ke kiblat. Aku tampil sebagai pengemis  yang papa seakan-akan Allah di hadapanku, surga di sebelah  kananku, neraka di sebelah kiriku. Izrail Si Pencabut Nyawa di belakangku, dan titian shirat di bawah telapak  kakiku. Aku yakinkan, itulah salatku yang terakhir. Setelah itu aku berniat dan bertakbir lalu membaca surah  Al-Fatihah  dengan seksama seraya merenungkan arti setiap kata dan ayat. Kemudian aku lakukan rukuk dan sujud dengan penuh kekhusyukan dan kerendahan hati sambil menumpahkan air mata. Tasyahhud  kulakukan dengan penuh pengharapan, lalu kuucapkan  salam dengan ikhlas sepenuhnya. Sejak usia tiga  tahun, salat yang demikianlah yang kulakukan.”

Isham tercengang mendengar jawaban Hatim. “Hanya Andalah yang melakukan salat seperti itu,” komentarnya. Tiba-tiba Isham menangis dan meraung sekuat-kuat­nya sambil berdoa agar dibantu dan diberi kemampuan  melakukan ibadah seperti Hatim.

                                                **

Hatim pernah bernasihat kepada sahabatnya, dengan berkata,”“Ihfadz nafsaka fii arba’ati mawadhi’a: ‘inda-l-‘amali ihfadzhaa ‘ani-l-riyaai, wa fi-l-akhzi ‘ani-l-thama’i, wa fi-l-i’thaai ‘ani-l-minnati, wa fi-l-imsaaki ‘ani-l-bukhli.”

“Jagalah nafsumu dari empat keadaan: ketika beramal jaga nafsumu dari riya; ketika mengambil hak, jaga nafsumu dari rakus; ketika memberi, jaga nafsumu dari berharap balasan; ketika menahan atau berhemat, jaga nafsumu dari sifat kikir.” [ ]

Exit mobile version