Tradisi mengumandangkan imsak tetap marak di desa, mulai terkikis habis di kota. Mengapa di kota terkikis? Banyak terpengaruh pada ungkapan beberapa gelintir orang bahwa imsak adalah bid’ah.
Prof Dr KH Ahmad Imam Mawardi
BARU saja saya telpon keluarga di desa. Pas bersamaan dengan waktu imsak. Terdengar di pengeras suara saling sahut menyahut ucapan “imsak…imsak….imsak.” Tradisi ini tetap marak di desa, mulai terkikis habis di kota. Mengapa di kota terkikis? Banyak terpengaruh pada ungkapan beberapa gelintir orang bahwa imsak adalah bid’ah.
Bagi saya, yang mengatakan bid’ah itu kurang banyak membaca kondisi riil masyarakat, bahkan kurang banyak baca buku. Kalau sudah sering keliling dan baca buku, namun masih dengan garang menyalahkan tradisi yang sesungguhnya sangat bermanfaat, kemungkinan besar kopinya kurang kental dan kurang manis.
Pengumuman imsak adalah sebuah kehati-hatian agar orang tidak kebablasan dalam bersahurria. Lebih dari itu, pengumuman itu semacam pengumuman tambahan agar segera ke masjid untuk shalat subuh. Ada yang salah?
Biasanya, di desa, masyarakat patuh sekali dengan alarm dekat subuh ini. Semua jenis makanan dan minuman dihentikan. Ada waktu membersihkan mulut sebersih-bersihnya sebelum fajar mulai menyingsing. Sementara yang tidak mau pada pengumuman imsak, masih santai makan kerupuk rambak sampai menjelang adzan.
Saat adzan berkumandang, separuh kerupuk rambaknya masih nyangkut di ketongkongannya. Mau minum sudah gak mungkin karena sudah adzan, sementara jika gak minum maka matanya mendelik-mendelik sampai buka puasa tiba. Nah, pengumuman imsak menjadi bermakna, bukan? Jangan mudah menyalahkan tradisi. Tradisi itu tumbuh bertahan karena orang merasakan manfaatnya. Selamat puasa Ramadlan hari pertama. Salam, A. I. Mawardi [*]
* Founder and Director di Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya