Spiritus

Kisah Seorang Abid yang Selalu Menjaga Kesucian Hati

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

SAUDARAKU, meneladani Allah Al-Quddus dapat dilakukan dengan senantiasa menjaga kesucian diri dari apapun yang bisa mengotorinya, termasuk dari syubhat, terlebih lagi dari sesuatu yang haram.

KH Abdullah Gymnastiar

Seorang ‘abid bercerita:

   Tatkala tersesat dalam perjalanan, aku melihat sebuah sungai lalu menceburkan diri ke dalamnya. Tiba-tiba ada buah safarjal terbawa air. Aku pun mengambilnya untuk berbuka puasa. Ketika memakannya, aku menyesal. Dalam hati aku berkata, “aku telah berbuka dengan sesuatu yang bukan milikku.”

   Pagi harinya aku berjalan. Aku masuk ke kebun tempat keluarnya aliran sungai. Di sana aku bertemu dengan seorang tua. Aku berkata, “Wahai Syaikh, kemarin keluar buah safarjal dari kebunmu ini. Aku mengambil dan memakannya. Aku menyesal. Oleh karena itu, barangkali engkau sudi menghalalkannya untukku.”

   Orang tua ini menjawab, “Aku hanya pekerja di kebun ini. Selama 40 tahun di sini, aku pun tidak pernah memakan buahnya secuilpun. Aku tidak memiliki apa-apa di kebun ini.”

   “Kalau begitu, ini kebun siapa?”tanyaku.

   “Kebun ini milik dua orang bersaudara yang tinggal di daerah sana,” ujarnya.

   Aku pun pergi ke tempat yang dimaksud. Aku bertemu dengan salah seorang pemilik kebun. Aku bercerita tentang apa yang telah terjadi. Alhamdulillah, dia menghalalkannya untukmu. “Setengah kebun ini milikku. Engkau halal memakannya,” ujarnya ketika itu.

   “Lalu di mana aku bisa menemukan saudaramu?” tanyaku lagi. Maka, dia pun menunjukkan suatu tempat kepadaku.

   Segera saja aku menemuinya dan menceritakan kepadanya apa yang terjadi. Dia bersumpah, “Demi Allah, buah itu tidak halal kecuali dengan satu syarat.”

   “Apa syaratnya?” tanyaku

   Dia menjelaskan, “Aku akan menikahkanmu dengan putriku dan memberimu uang 100 dinar.”

   “Celaka engkau. Aku tidak bisa. Bukankah engkau tahu apa yang telah menimpaku karena buah itu? Halalkanlah dia untukku.”

   “Tidak, demi Allah, aku akan menghalalkan, kecuali engkau mau melakukan syarat tersebut,” tegasnya.

   Melihat keteguhan si pemilik kebun, sang ‘abid akhirnya bersedia melakukan apa yang diminta. Orang itu kemudian memberinya 100 dinar dan berkata, “Berikanlah kepadaku berapapun besarnya dari uang itu sebagai mahar putriku.” Dan, orang abid ini pun menyerahkan semua uang itu sebagai mahar.

   “Jangan semuanya, ambilah sebagian!” ujarnya.

   Dia kemudian menikahkan anaknya dengan lelaki ini. Orang-orang pun ramai berkomentar. Mereka mencela apa yang dilakukan si pemilik kebun. “Sejumlah pejabat dan tokoh ternama telah melamar putrimu, tetapi tidak satupun yang engkau terima. Mengapa engkau menyerahkannya kepada lelaki miskin seperti dia?” keluh mereka.

   “Ketahuilah saudaraku, yang aku inginkan adalah sikap wara’ dan ketaatan dalam beragama. Orang ini adalah hamba Allah yang saleh,” ujarnya mantap. (Dikutip dari Air Mata Cinta Pembersih Doa, Ibnul Jauzi, hlm. 104-5). [*]

* Sumber: Buku Asmaul Husna Untuk Hidup Penuh Makna

Back to top button