Janganlah engkau mencaci seorang pun. Janganlah engkau menghina sebentuk kebajikan apapun. Bicaralah dengan sesama saudaramu dengan keadaan wajah yang cerah karena itu adalah kebaikan.
Oleh: KH Abdullah Gymnastiar
INILAH kisah perjalanan seorang sahabat Nabi yang berjuang menjadikan dirinya sebagai penebar salam. Nama sahabat ini Abu Juray bin Sulaim. Awalnya, dia merasa heran kala melihat orang-orang berbicara tentang banyak hal. Akan tetapi, selalu saja sumber perbincangannya berasal dari satu sosok yang istimewa. Abu Juray pun berusaha mencari tahu siapakah sosok istimewa itu.
“Siapa sosok orang itu?” tanya Abu Juray Kepada orang-orang.
“Dia Rasulullah,” jawab mereka.
“Alaikassalam wahai Rasulullah,” gumamnya.
“Hai, engkau jangan berkata ‘alaikassalam, tetapi katakanlah assalamu’alaikum. Sebab, ‘alaikassalam itu ucapan untuk orang yang mati,” jawab seseorang.
Setelah bertemu Rasulullah, Abu Juray pun bertanya, “Engkaukah Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Aku adalah rasul utusan Allah, Dzat yang apabila dirimu terkena kesulitan, lalu engkau berdoa kepada-Nya, niscaya Dia akan melepaskan kesulitan itu dari dirimu. Jika engkau mengalami musim kering, lalu engkau meminta kepada-Nya, niscaya Dia akan menumbuhkannya tanaman itu untukmu. Jika engkau berada di tanah yang tidak bertuan atau padang gersang, lalu binatang tungganganmu hilang, lalu engkau memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan mengembalikannya kepadamu …”
Hari itu, Abu Juray belajar tentang Allah; tentang betapa Maha Pengasih dan Penyayangnya Dia. Tampaknya, dari pengajaran ini, Abu Juray telah mendapatkan jawaban atas kepenasaran dan keheranannya. Dia mendapati sosok yang dari dirinya mengalir begitu banyak nasihat, budi pekerti yang luhur, pijakan perilaku, kedamaian, dan tuntunan jalan keselamatan. Abu Juray pun memberanikan diri meminta nasihat khusus kepada Rasulullah.
“Nasihat aku dengan nasihat yang mengikat,” demikian pintanya.
“Janganlah engkau mencaci seorang pun. Janganlah engkau menghina sebentuk kebajikan apapun. Bicaralah dengan sesama saudaramu dengan keadaan wajah yang cerah karena itu adalah kebaikan. Tinggikan kainmu dan jangan kau juntaikan karena itu bagian dari kesombongan. Sesungguhnya, Allah Ta’ala tidak menyukai kesombongan. Jika seseorang menghina dan mencaci dirimu dengan sesuatu yang dia tahu bahwa itu memang ada pada dirimu, janganlah engkau membalas menghina dan mencacinya dengan sesuatu yang engkau tahu itu ada pada dirinya. Biarkan kesudahannya kembali pada dirinya, dan bagimu pahalanya. Dan, jangan mencaci apapun.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dalam Riyadush-Shalihin)
Hari-hari sesudah itu, bagi Abu Juray, adalah hari-hari penuh keimanan, pencerahan, jalan lurus, dan kedamaian, sebagai hasil ditunaikannya janji yang diminta dari Rasulullah. Dia, dengan sepenuh kesungguhan, meniti jalan hidup baru; jalan hidup yang penuh salam dan kemuliaan. “Sungguh, sesudah itu, aku tidak pernah menghina dan mencaci seorang pun, budak ataupun orang merdeka, tidak pula aku mencaci keledai ataupun domba,” ungkapnya suatu ketika. [*]
* Sumber: Buku Asmaul Husna Untuk Hidup Penuh Makna