Oleh: KH Abdullah Gymnastiar
MALAM telah semakin larut. Seorang anak lelaki yang masih sangat belia tampak khusyuk menekuni pelajaran. Adapun sang ibu telah tertidur di sisinya. Tiba-tiba si ibu mengangkat kepalanya dan berkata dengan tetap memejamkan mata, “Ambilkan segelas air anakku, Ibu haus!”
Anak itu segera beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil air dari kendi. Namun, dia mendapati kendi tempat penyimpan air tengah kosong. Maka, dia keluar dari rumah untuk meminta air pada tetangga sebelah. Akan tetapi, karena malam telah larut, seisi kampung telah terlelap dalam tidur. Anak ini pun tidak mau mengganggu tetangganya pada jam-jam seperti itu sehingga dia mengurungkan niatnya untuk minta minum.
Tiba-tiba terlintas dalam ingatan bahwa ada sebuah mata air di persimpangan jalan kampung. Anak ini segera kembali ke rumah dan mengangkat kendi air di pundaknya, lalu bersegas menuju ke tempat mata air dan mengisi penuh kendinya. Setelah itu, dia bergegas kembali ke rumah secepat kaki mampu membawanya. Namun sayang, pada saat itu sang ibu terlelap kembali dalam tidurnya.
Apa yang dapat dilakukan oleh sang anak kecil seumuran dia? Anak ini tidak mau membangunkan sang ibu karena itu akan mengganggu istirahatnya. Maka, dia pun duduk tenang tanpa bergerak di sudut tempat tidur dengan kedua tangan memegang segelas air.
Malam semakin larut, akan tetapi sang ibu belum juga terjaga. Sampai akhirnya fajar pun mulai menyingsing dari ufuk timur, di mana kebun-kebun mulai menampakkan diri dengan iringan bunyi burung-burung yang bersahutan. Sang ibu perlahan membuka kedua matanya. Alangkah kagetnya dia melihat anak semata wayangnya masih setia duduk di sudut tempat tidur dengan segelas air di tangan.
Dia langsung teringat akan apa yang dikatakannya kepada sang anak tadi malam. Ibu ini merasa sangat terharu. Dia pun menarik sang anak ke dalam dekapannya. Dengan mata berlinang dia menatap langit-langit dan berdoa, “Ya Allah, Dzat Yang Mahakuasa! Ridhailah anakku sebagaimana aku meridhainya.”
Doa ibu ini, yang diucapkan dengan tulus ikhlas, akhirnya terkabul. Selang beberapa tahun kemudian, si anak tumbuh menjadi seorang ulama sekaligus waliyullah yang termahsyur. Dialah Bayazid Al-Busthami. (Tazkiratul Auliya, dalam Kisah-Kisah Teladan dari Negeri-Negeri islam, M. Ebrahim Khan, hlm. 43-44). [*]
* Sumber: Buku Asmaul Husna Untuk Hidup Penuh Makna