Jelaslah, puasa adalah Pintu, yakni Pintu yang memasukkan kita ke dalam ruang ibadah sekaligus menjadi jalan istimewa untuk masuk ke surga, dengan sebuah penegasan: bertemu langsung dengan Allah Azza wa Jalla. Lantas, ibadah seperti apa puasa yang demikian istimewa tersebut?
Oleh : Acep Iwan Saidi*
JERNIH– Besok ummat Islam kembali memasuki siyam: kita akan kembali shaum (puasa). Bulan Ramadhan adalah sebuah rumah dengan dua pintu. Pintu pertama adalah jalan yang menghubungkan ke sebuah ruang, dan pintu kedua merupakan jalan yang menghubungkan ruang tadi dengan ruang yang lain. Jadi, ada dua pintu dan dua ruang dengan atap yang berbeda. Dan tidak ada pintu keluar.
Periksalah dua hadist yang menjadi petunjuk ke arah dua pintu tersebut. Hadist pertama diriwayatkan Ibnu Al-Mubarak dalam “Al-Zuhd”. Dalam hadist ini Nabi bersabda, “Setiap sesuatu mempunyai pintu. Dan pintu ibadah adalah puasa”.
Sedangkan pada hadist kedua, yang diriwayatkan Sahal bin Sa’ad ra. Rasulullah bersabda, “Surga itu mempunyai sebuah pintu yang dinamakan Al-Rayyan. Tidak ada seorang pun yang bisa memasuki pintu itu selain orang yang berpuasa. Dan mereka mendapat nikmat yang dijanjikan-Nya, yaitu berjumpa serta menyaksikan Allah Azza wa Jalla secara langsung”.
Pintu pada hadist kedua di atas memang menempel pada surga. Namun, ia berhubungan langsung dengan puasa. Dengan begitu, jelas, ia pun menempel pada puasa. Hanya, atapnya berbeda. Puasa kita laksanakan di bumi, sedangkan Al-Rayyan beratap surga. Dua pintu ini juga berkaitan dengan pintu-pintu lain. Rujukannya bisa kita baca pada hadist yang sudah sangat populer berikut ini, “Apabila Ramadhan tiba, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syetan-syetan dibelenggu” (HR Muslim).
Jelaslah, puasa adalah Pintu, yakni Pintu yang memasukkan kita ke dalam ruang ibadah sekaligus menjadi jalan istimewa untuk masuk ke surga, dengan sebuah penegasan: bertemu langsung dengan Allah Azza wa Jalla. Lantas, ibadah seperti apa puasa yang demikian istimewa tersebut? Kiranya kita semua sudah tahu belaka. Ilmu dan pengetahuan soal ini telah sangat banyak dan mudah didapatkan.
Oleh sebab itu, di sini hanya ingin diingatkan dua hadist lain terkait dengannya. Pertama, hadist yang diriwayatkan oleh Imam Al-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah. Dalam hadist ini Nabi bersabda, “Puasa adalah setengah kesabaran”. Kedua, hadist riwayat Imam Abu Nu’ aim dan Imam Al-Khatib. Sabda Rasulillah dalam hadist ini, “kesabaran adalah setengah dari keimanan”. Walhasil, shaum adalah ibadah yang mengedepankan kesabaran yang landasannya iman, yakni sabar karena Allah semata.
Bagi kita hari ini, kesabaran kiranya merupakan tema terpenting. Salah satu arti sabar adalah tidak tergesa-gesa. Kesabaran adalah sifat dan sikap untuk tidak terburu-buru. Sifat dan sikap inilah sekarang yang nyaris hilang dari diri kita. Teknologi informasi telah menjebak kita ke dalam godaan kebercepatan. Dan kebercepatan, secara sosiologis, faktanya berbeda tipis dengan ketergesa-gesaan.
Kini kita menjadi makhluk dengan karakter tergesa-gesa. Tubuh kita tersaintifikasi sedemikian rupa seakan-akan hendak mengimbangi kecepatan mesin. Kita menjadi makhluk yang reaktif, reaksioner. Respons kita terhadap berbagai stimulus acap mengabaikan kerja pikiran. Kita menjadi multitasking: mengerjakan banyak hal pada satu kesempatan, dalam banyak konteks makna negatif. Menjawab pesan singkat sambil mengendarai sepeda motor, misalnya, kini telah jadi pemandangan keseharian. Demikian, problem karakter macam ini tentu juga dapat melebar ke soal lain: ingin cepat kaya, cepat berkuasa, cepat populer, dan seterusnya.
Karakter macam itu kini sudah bukan lagi diidap secara khusus oleh individu tertentu, melainkan telah menjadi “karakter sosial”, mengarah menjadi semacam “ketaksadaran kolektif”—meminjam Gustave Jung. Dan masyarakat dengan karakter macam ini sesungguhnya adalah masyarakat yang cemas. Hilangnya kesabaran meniscayakan lahirnya kecemasan, bahkan ketakutan.
Inilah kondisi psikologis sebuah masyarakat yang “terbetot paksa” masuk ke dalam template teknologi yang bukan miliknya (hasil daya kreasi otaknya). Kita pun masuk ke dalam situasi paradoksal: hidup dalam “teknologi informasi”, tapi cemas menerima informasi itu sendiri. Jika tidak segera “keluar”, tidak tertutup kemungkinan kita akan masuk ke dalam satu situasi hilang arah karena gempuran informasi itu sendiri: kita akan menjadi masyarakat yang skizofrenik, jeprut (society of jepruta).
Oleh sebab itu, jika tidak bisa “keluar”, kita harus berusaha mengeremnya. Dan pada titik inilah puasa menjadi penting. Puasa, sekali lagi, menjadi pintu, dalam hal ini pintu yang membawa kita ke dalam ruang kesabaran. Ibadah itu butuh kesabaran. Jika manusia dan jin diciptakan semata-mata untuk beribadah, jelas ia diwajibkan untuk sabar. Dalam kesabaran puasa, kita diminta untuk menahan diri dari hasrat apapun terkait hal duniawi. Kiranya kita juga mesti agak merapatkan telinga dari informasi dunia di satu sisi, dan membukanya lebar-lebar untuk informasi ukhrawi.
Demikianlah. Puasa adalah pintu yang menjadi jalan untuk masuk ke dalam diri sendiri, ke dalam kontemplasi. Besok pintu itu dibuka. Yakinlah bahwa Tuhan sudah menunggu di sana. Maka masuklah. Dan kita kunci pintu itu dari dalam. Marhaban, ya Ramadhan! [ ]
*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB