“Jadi, bagaimana proses atau cerita sembuhnya dari penyakit itu?” Pak Kiai semakin penasaran.
“Bakda shalat wajib dan sembahyang lain, sesuai ajaran para guru, selain meminta untuk diri sendiri dan orang tua, saya suka mendoakan orang-orang. Malah biasanya permintaan untuk teman-teman. Karena jumlahnya banyak, jadi durasi doanya lebih lama.”
“Oooh!”
Oleh : Jonih Rahmat
JERNIH–Tamhar, seorang yang sudah tidak muda lagi, menetap di sebuah kota kecil di Jawa Barat. Pada 22 Desember 2019 ia menemui sahabat lamanya, seorang kiai di pinggiran sebuah kota besar.
“Pangersa Kiai nuju aya di bumi? Apa Pak Kiai sedang berada di rumah?”
“Sumuhun, kaleresan abdi aya di rorompok, Kang Haji. Iya, kebetulan saya ada di rumah, Kang Haji.”
Sudah belasan tahun Tamhar tak bertemu teman sekaligus gurunya dalam banyak hal. Orang penuh ilmu tapi rendah hati ini bersama keluarganya tinggal di kawasan sejuk di Bandung Barat. Tamhar yang sehari-hari tinggal di area agak panas, sangat menikmati segarnya udara Cisarua. Tuan rumah yang ramah menambah betah untuk berlama-lama.
Sebagaimana teman dekat yang sangat lama tidak saling jumpa, berjam-jam kedua sahabat ini berbicara segala hal. Agar obrolan panjang masih bisa dilanjutkan, padahal hari sudah larut malam, Tamhar menginap di kediaman Kiai Abdu. Juga, supaya suara dari yang saling merindu tidak membuat penghuni lain terganggu, keduanya pindah ke bangunan sebelah.
Di rumah ibadah, tengah malam itu, obrolan masih berlanjut hingga suara masing-masing menjadi semakin pelan dan hilang. Sehabis Subuh, Abdu mengajak Tamhar berjalan kaki ke area pesawahan dan perkampungan sekitar rumahnya. Mereka sarapan dengan menyantap nasi kuning di pinggir jalan. Di rumah, cerita-cerita terus berjalan.
“Sekarang sudah agak siang dan mulai gerah, saya mau ikut mandi,” Tamhar berkata kepada temannya.
“Saya panaskan air dulu.”
“Tak usah.”
“Sebentar sekali, tinggal pijat sakelar,“ Kiai Abdu berusaha memberikan pelayanan terbaik.
Sejak lama, 30-40 tahun lalu, Abdu tahu kalau Tamhar tidak bisa minum es, dan apabila mandi harus dengan air hangat. Kawannya ini menderita sinusitis akut. Jika sore atau malam hari minum air dari kulkas, semalaman ia akan susah tidur sebab mengalami kesulitan bernapas. Hidungnya mampet. Begitu juga kalau mandi dengan air dingin.
Baca Lagi: Dukung Kebebasan Aspirasi, Ketua Syarikat Islam Hamdan Zoelva Bantah Jadi Kontributor Aksi 114
Tengah hari, dalam kondisi udara panas pun, ketika membersihkan badan, Tamhar tetap pakai air hangat. Karena itu ketika sahabatnya bilang mau mandi, apalagi sedang berada di daerah dingin, Pak Kiai surti, paham situasi. Ia mau menyiapkan air panas. Akan tetapi dalam kesempatan ini tamunya menolak. Aneh!
“Sudah sejak beberapa tahun lalu. Pastinya juga tak tahu, saya jadi biasa dan merasa aman mandi dengan air dingin,” Tamhar menjelaskan.
Sementara kiai terheran-heran, Tam menambahkan, “Minum es juga sekarang mah tak masalah. Alhamdulillah.”
“Minum obat atau berobat di mana?”
“Dahulu, dua minggu sekali, saya bulak-balik ke dokter THT. Selain minta tambahan obat yang telah habis, juga untuk membersihkan saluran pernapasan.”
“Sekarang?”
“Mungkin, sudah lebih dari sepuluh tahun. Tak ingat sama sekali mulainya. Suatu hari, karena gerah yang sangat, saya mandi dengan air dingin. Selain terasa nikmat sekali, juga—segala puji bagi Dia—tidak menyebabkan pilek. Bernapas tetap lega.”
“Terus… terus!”
“Di lain waktu, waktu acara keluarga besar, sebab kabita, saya mencicipi es krim. Geuning, raos pisan! Ternyata, enak sekali!”
“Kembali ke pertanyaan awal, apa obatnya atau bagaimana bisa sembuh dari penyakit menahun itu?”
Tamhar, sejak kecil, setiap hari kemampuan bernapasnya tersendat. Lubang hidungnya hanya berfungsi kurang dari 50 persen. Sebentar-sebentar, mungkin karena kurang asupan oksigen ke bagian kepala, ia sakit kepala sebelah. Setiap malam, kecuali karena mengantuk yang sangat, ia susah tidur. Ia kesulitan memasukkan dan mengeluarkan udara lewat rongga pernapasan. Sekarang, mirip kasus ekstrem kiri vs ekstrem kanan, duduk sebentar saja ia cepat terbang ke alam sana.
“Jadi, bagaimana proses atau cerita sembuhnya dari penyakit itu?” Pak Kiai semakin penasaran.
“Bakda shalat wajib dan sembahyang lain, sesuai ajaran para guru, selain meminta untuk diri sendiri dan orang tua, saya suka mendoakan orang-orang. Malah biasanya permintaan untuk teman-teman. Karena jumlahnya banyak, jadi durasi doanya lebih lama.”
“Oooh!”
“Kata Kanjeng Nabi SAW, di antara permohonan yang mustajab itu adalah doa seseorang untuk yang lain, dan orang-orang itu tidak tahu kalau mereka didoakan.”
“Leres pisan! Benar sekali!”
“Juga, ketika kita mendoakan orang lain, malaikat langsung merespons, “Dan juga bagi kamu!’”
“Betul!”
“Sebagian besar, bahkan hampir semua yang saya sebut namanya dalam doa, tidak tahu kalau saya mengajukan nama mereka kepada Tuhan.”
“Terus!”
“Saya percaya, walau mungkin tidak diketahui, banyak juga orang yang mendoakan kebaikan bagi diri ini. Bisa orang tua, saudara, kawan-kawan, atau siapa saja.”
Sambil manggut-manggut dan mulut memuji Allah, kiai menatap sahabatnya. “Seperti waktu kami naik haji. Sejak mau pergi, selama di Tanah Suci hingga perjalanan kembali ke tanah air saya dan istri selalu dikarunia kemudahan. Setiba di rumah dan tamu berdatangan dari sana-sini, menjadi tahulah bahwa banyak kelompok pengajian dan pribadi-pribadi yang mendoakan kami. Allah kabulkan doa-doa mereka,” Tamhar bernostalgia.
“Panginten atuh, ari kitu mah! Pantas, kalau begitu!
Paling tidak dua tahun terakhir ini—selain berbagai bencana yang menimpa ini negeri—Covid-19 telah membuat segala hal porak poranda. Sangat banyak orang tercinta jatuh sakit, bahkan dipanggil yang Mahakuasa. Saudara, teman, tetangga, siapa saja. Tak hanya di ini negeri, tapi hampir di seluruh muka bumi, manusia mengalami derita.
Nah, pada bulan Ramadhan, saat doa-doa lebih mudah dikabulkan, mengapa kita tidak manfaatkan untuk lebih banyak meminta bagi saudara-saudara? Berdoa bagi sesama. Siapa pun dia, di mana pun mereka berada. Inilah jurus ampuh mustajabnya doa. Keperluan kita, akan Allah penuhi pula. Insya Allah.
Seperti dituturkan Tamhar kepada saya, beberapa waktu lalu. [ ]
* Tulisan ini merupakan buah karya peserta program pelatihan menulis Salman Moving Class yang dikelola Yayasan Salman Mahir Cerdas.