“Dia telah berdusta, seteru Allah itu,” Sarri berkata sambil mengangkat kepalanya. “Manusia-manusia seperti itu terlampau disayangi Allah untuk diperlihatkan kepada Iblis.”
JERNIH—Sarri As-Saqathi adalah wali sufi yang sangat dihormati. Sebagaimana ditulis pada artikel sebelumnya, ia adalah paman dari sufi lain yang tak kalah besar, Junaid Al-Baghdadi.
Sebagaimana wali sufi lainnya, banyak bertebar kisah dan anekdot tentang dirinya. Berikut beberapa di antaranya:
Pada suatu hari ketika Sarri sedang memberikan ceramah. Salah seorang di antara sahabat-sahabat intim khalifah, Ahmad Yazid si jurutulis, lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi para hamba dan pelayan-pelayannya.
“Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan kata-katanya”, kata Yazid kepada para pengiringnya. “Kita telah mengunjungi berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi.”
Ahmad Yazid pun masuk dan duduk mendengarkan ceramah Sarri. Sarri berkata: “Di antara kedelapan belas ribu dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik sehingga malaikat-malaikat sendiri iri kepadanya.”
“Jika ia jahat maka ia terlampau jahat sehingga syaithan sendiri malu untuk bersahabat dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa.”
Kata-kata ini bagaikan anak panah dibidikkan Sarri ke jantung Ahmad. Sang Juru Tulis Khalifah itu menangis dengan sedihnya sehingga ia tak sadarkan diri. Setelah sadar, dalam kondisi menangis Ahmad bangkit dan pulang ke rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Keesokan harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula ke tempat Sarri berkhotbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika khotbah selesai ia pun pulang. Di hari yang ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika ceramah selesai ia menghampiri Sarri.
“Guru,” ujar Ahmad. “Kata-katamu telah mencekam hatiku dan membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukkanlah kepadaku jalan yang ditempuh para khalifah.”
“Jalan manakah yang engkau inginkan,” tanya Sarri. “Jalan para sufi atau jalan hukum? Jalan yang ditempuh orang banyak atau jalan yang ditempuh manusia-manusia pilihan?”
“Tunjukkanlah kedua jalan itu kepadaku,” Ahmad Yazid meminta.
Berkatalah Sarri: “Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah shalat lima kali dalam sehari di belakang seorang imam, dan keluarkanlah zakat–jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap dua puluh dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan, berpalinglah dari dunia ini, janganlah engkau terperosok ke dalam perangkap-perangkapnya. Jika kepadamu hendak diberikan sesuatu, janganlah terima. Demikianlah kedua jalan tersebut.”
Yazid meninggalkan tempat itu dan mengembara ke padang belantara. Beberapa hari kemudian seorang perempuan tua yang berambut kusut dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Sarri dan berkata,”Wahai Imam Kaum Muslimin, aku mempunyai seorang putera yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk mendengarkan khotbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah, tetapi pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa hari ini ia tidak pulang dan aku tidak tahu kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia. Tolong, lakukanlah sesuatu untukku.”
Permohonan wanita tua itu menggugah hati Sarri. Maka berkatalah ia,“Janganlah berduka. Ia dalam keadaan baik. Apabila ia kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya.”
Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad Yazid kembali kepada Sarri. Sarri memerintahkan kepada pelayannya,“Kabarkanlah kepada ibunya.” Penampilan Ahmad Yazid berubah. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara itu telah bungkuk.
“Wahai guru yang budiman,”Ahmad berkata kepada Sarri,“Karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamaian dan telah mengeluarkan aku dari kegelapan, aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian dan menganugerahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan di akhirat.”
Mereka sedang asyik berbincang-bincang ketika ibu dan isteri Ahmad masuk. Mereka juga membawa puteranya yang masih kecil. Ketika si ibu melihat Ahmad yang sudah berubah sekali keadaannya ia pun menubruk dada Ahmad. Di kiri kanannya isterinya yang meratap-ratap dan anaknya yang menangis tersedu-sedu. Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Sarri sendiri pun tidak dapat menahan air matanya.
Si anak merebahkan diri ke haribaan ayahnya. Tetapi betapa pun juga mereka membujuk, Ahmad tidak mau pulang ke rumah.
“Wahai Imam kaum MusIimin,”Ahmad berseru kepada Sarri,“Mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada mereka? Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku.”
Sarri menjawab,“Ibumu terus menerus bermohon sehingga akhirnya aku berjanji untuk mengabarkan kepadanya apabila engkau datang.”
Ketika Ahmad bersiap-siap hendak kembali ke padang pasir isterinya meratap: “Belum lagi, engkau telah membuatku jadi janda dan puteramu jadi yatim. Jika ia ingin bertemu dengan engkau apakah yang akan kulakukan? Tidak ada jalan lain, bawalah anak ini olehmu.”
“Baiklah,”jawab Ahmad.
Pakaian indah yang sedang dikenakan anaknya itu dilepaskannya, digantinya dengan bulu domba. Kemudian ditaruhnya sebuah kantong uang ke tangan anak itu dan berkatalah ia kepada anaknya itu,“Sekarang, pergilah engkau seorang diri”
Melihat hal ini si isteri menjerit,“Aku tidak sampai hati membiarkannya.” Anak itu ditariknya ke dalam dekapannya.
“Aku memberikan kuasa kepadamu,” kata Ahmad kepada isterinya,“Jika engkau menginginkan, untuk menuntut perceraian.”
Maka kembalilah Ahmad ke padang belantara. Bertahun-tahun telah berlalu. Kemudian pada suatu malam, pada waktu shalat Isya, seseorang mendatangi Sarri di tempat kediamannya. Orang itu berkata kepada Sarri: “Ahmad mengutus aku untuk menjum-pai engkau. Ia berpesan: ’Hidupku hampir berakhir. Tolonglah aku.”
Sarri pergi ke tempat Ahmad. Ia menemukan Ahmad yang sedang terbaring di atas tanah di area pemakaman. Ia sedang menantikan saat-saat terakhirnya. Lidahnya masih bergerak-gerak. Sarri mendengar bahwa Ahmad sedang membacakan ayat yang berbunyi: “Untuk yang seperti ini bekerjalah wahai para pekerja.”
Sarri mengangkat kepalanya dari atas tanah, mengusapkan dan mendekapkan ke dadanya, Ahmad membuka matanya, terlihatlah olehnya Sang Guru, dan berkatalah ia,”Guru, engkau datang tepat pada waktunya. Hidupku akan berakhir sesaat lagi.”
Sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Sambil menangis Sarri kembali ke kota untuk menyelesaikan urusan-urusan Ahmad. Di dalam perjalanan ia menyaksikan orang ramai berbondong-bondong berjalan ke arah luar kota.
“Hendak ke manakah kalian?” Sarri bertanya kepada mereka.
“Tidak tahukah engkau?”jawab mereka. “Kemarin malam terdengar sebuah seruan dari atas langit: “Barangsiapa ingin menshalatkan jenazah sahabat kesayangan Allah, pergilah ke pemakaman di Syuniziyah!“
**
Junaid Al-baghdadi meriwayatkan cerita berikut ini. Pada suatu hari aku mengunjungi pamanku, Sarri, dan kutemui ia sedang mencucurkan air mata. Aku bertanya kepadanya,”Apakah yang telah terjadi?”
Sari menjawab,“Aku telah berminat bahwa malam ini aku hendak menggantungkan sekendi air untuk didinginkan. Di dalam mimpi aku bertemu seorang bidadari. Aku bertanya, siapakah yang memilikinya dan ia menjawab,”Aku adalah milik seseorang yang tidak mendinginkan air dengan menggantungkan kendi.” Setelah itu si bidadari menghempaskan kendiku ke atas tanah, sambil berkata,”Saksikanlah olehmu sendiri!”
Kulihat pecahan-pecahan kendi berserakan di atas tanah. Pecahan-pecahan itu kubiarkan saja di situ untuk waktu yang lama.
**
Dalam kisah lain Junaid meriwayatkan. “Pada suatu malam aku tertidur nyenyak. Ketika aku terjaga, batinku mendesak agar aku pergi ke Masjid Syuniziyah. Maka pergilah aku. Tetapi di depan masjid itu terlihatlah olehku seseorang yang berwajah sangat menakutkan. Aku menjadi gentar.”
Orang itu menegurku,”Junaid, takutkah engkau kepadaku?”
“Ya”, jawabku.
“Seandainya engkau mengenal Allah sebagaimana yang seharusnya, niscaya tak ada sesuatu pun yang engkau takutkan selain dari pada Dia.”
“Siapakah engkau?”aku bertanya. “Iblis,”jawabnya.
“Aku pernah ingin bertemu denganmu,” aku berkata kepadanya.
“Begitu engkau berpikir tentang aku, tanpa engkau sadari, engkau lupa kepada Allah. Apakah maumu untuk bertemu denganku?” tanya si Iblis.
“Ingin kutanyakan kepadamu, apakah engkau dapat memperdayakan orang-orang faqir?”
“Tidak,”jawab si Iblis.
“Mengapa demikian?”
Si Iblis menjawab, “Apabila aku hendak menjerat mereka dengan harta kekayaan dunia, mereka lari ke akhirat. Apabila aku hendak menjerat mereka dengan akhirat, mereka lari kepada Allah, dan di situ aku tidak dapat mengejar mereka lagi.”
“Dapatkah engkau melihat manusia-manusia yang tak dapat engkau perdayakan?”
“Ya, aku melihat mereka”, jawab si Iblis, “Dan apabila mereka berada di dalam keadaan ekstase/fana, dapatlah kulihat sumber keluh-kesah mereka itu.”
Setelah berkata demikian, si Iblis menghilang. Aku masuk ke dalam masjid dan di sana kudapati Sarri yang sedang menekurkan kepala ke atas kedua lututnya. “Dia telah berdusta, seteru Allah itu,” Sarri berkata sambil mengangkat kepalanya. “Manusia-manusia seperti itu terlampau disayangi Allah untuk diperlihatkan kepada Iblis.”
**
Sarri mempunyai seorang saudara perempuan yang pernah meminta izin untuk menyapu kamarnya namun ditolaknya. “Hidupku tidak patut diperlakukan seperti itu,”Sarri berkata kepada saudara perempuannya itu.
Pada suatu hari ia memasuki kamar Sarri dan terlihatlah olehnya seorang wanita tua sedang menyapu.
“Sarri, dulu engkau tidak mengizinkan aku untuk mengurus dirimu, tetapi sekarang engkau membawa seseorang yang bukan sanak familimu.”
Sarri menjawab,“Janganlah engkau salah sangka. Dia adalah penduduk alam kubur, Ia pernah jatuh cinta kepadaku, namun kutolak. Maka ia meminta izin kepada Allah yang Maha Besar untuk menyertai diriku, dan kepadanya Allah memberikan tugas untuk menyapu kamarku.” [ ]
Sumber : “Warisan Para Aulia” karya Fariduddin Al-Attar, Penerbit Pustaka, Bandung, 2000.