Site icon Jernih.co

Setetes Embun: Batu Penjuru

Cinta Allah bagaikan hukum gravitasi. Dia akan selalu turun. Melawan cinta Allah berarti melawan hukum gravitasi. Menolak kasih Allah berarti terhempas jatuh ke lembah penyesalan yang paling dalam.

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

JERNIH-Ada sebuah legenda orang Yahudi yang dikenal baik pada masa Yesus. Pada masa pembangunan Bait Allah oleh raja Salomon, semua batu untuk dinding Bait Allah dipotong dalam ukuran yang sama persis. Pada saat tukang bekerja mereka menemukan sebuah batu yang bentuk dan ukurannya beda. Karena dianggap tidak berguna batu itu lalu dijatuhkan ke arah lembah Kidron menggelinding ke bawah ke arah sungai.

Ketika proses pembangunan tembok hampir selesai, ternyata batu yang harusnya dipasang di pojok bangunan dan merupakan penentu kekuatan bangunan (disebut batu penjuru) tidak ada lagi. Kepala proyek dan arsitek meminta para tukang mencari kembali satu batu yang sudah dibuang karena sesungguhnya itulah batu penjuru yang sangat penting.

Akhirnya dengan susah payah mereka mengangkat lagi batu itu dari lembah Kidron dan memasangnya pada dinding Bait Allah sebagai batu terakhir dan terutama.

**

“Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru” (Mat 21,42).

Kisah Yesus dalam Injil hari ini adalah kiasan atau allegori yang berbicara tentang PENOLAKAN. Orang-orang pilihan yang menolak Allah dan rencana-Nya adalah bangsa Israel. Mereka diumpamakan sebagai pekerja di kebun anggur yang seharusnya bekerja baik dan kebun menghasilkan BUAH yang berlimpah. Yang dimaksudkan adalah orang-orang Yahudi terutama para pemimpin agama.

Allegori macam ini bukan hal baru. Sejak berabad-abad relasi antara Allah dan Orang Yahudi terjadi dalam tegangan ini. Allah selalu mencintai dan mengharapkan cinta-Nya dibalas tapi yang terjadi adalah penolakan.

Mereka menolak harapan Allah akan hasil panenan berupa ketaatan, keadilan, kebaikan dan kesetiaan. Yang terjadi justru sebaliknya. Mereka menolak para nabi yang diutus mengingatkan dan menasihati mereka. Puncaknya mereka menolak Yesus sebagai Putera Allah. Mereka bahkan membunuh Dia.

Penolakan kali menimbulkan murka dan kemarahan Allah. Status mereka sebagai Bangsa Pilihan, sebagai orang-orang dengan berkat istimewa dicabut oleh Allah. Privilegi mereka dihapus. “Kebun anggur” kesayangan itu diserahkan kepada orang lain untuk digarap agar menghasilkan buah sesuai harapan.

Menjadi orang dengan privilegi khusus tidak berarti orang boleh semaunya. Janji keselamatan kepada orang-orang Kristiani harus diimbangi dengan buah-buah yang dihasilkan. Kita bisa menjadi orang-orang yang menggantikan posisi orang Yahudi sebagai “bangsa terpilih”.

Penolakan tidak selamanya terungkap secara eksplisit atau secara verbal. Secara eksplisit kita bisa bertanya bagaimana Gereja ini memperlakukan para tokoh revolusioner semacam: Thomas More, Oscar Romero, Mathen Luther King dan sebagainya. Banyak orang seperti mereka yang berjuang agar Gereja menghasilkan buah penebusan dan keselamatan. Dan banyak juga yang ditolak, bukan saja oleh orang luar tetapi orang dalam sendiri.

Hidup tidak sesuai harapan Allah juga merupakan bentuk penolakan. Mengabaikan perintah dan larangan Allah juga berarti menolak Dia secara tidak langsung. Dan tidak ada alasan untuk mengatakan tidak tahu dan tidak memaksudkan hal seperti itu.

*

Seorang ibu mendengar putranya yang berusia 6 tahun menangis kesakitan. Dia lari ke kamar dan menemukan bahwa putrinya yang berusia 3 tahun sedang menarik rambut kakaknya.

“Sudah, sudah de. Jangan begitu sama kakakmu”. Lalu kepada putranya dia berkata: “Jangan marahin adikmu ya. Dia tidak bermaksud menyakiti. Dia tidak tahu kalau itu sakit”. Lalu ibu itu meninggalkan mereka.

Tidak lama kemudian suara teriakan tangis putrinya terdengar. Ibu itu lari lagi ke kamar dan mendapati putranya menarik rambut adiknya. “Ka, kenapa buat begitu ke adikmu. Itu sakit!”. Putranya menjawab: “Biar dia juga tahu kalau itu sakit, ma”.

Cinta Allah bagaikan hukum gravitasi. Dia akan selalu turun. Melawan cinta Allah berarti melawan hukum gravitasi. Menolak kasih Allah berarti terhempas jatuh ke lembah penyesalan yang paling dalam.

(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba tanpa Wa).

Exit mobile version