Pengampunan tidak terbatas pada upacara liturgi. Pengampun dan belaskasih hendaknya menjadi sikap dasar dalam relasi dengan sesama.
Penulis: P. Kimy Ndelo, CSsR
JERNIH-Seorang ibu mendatangi Kaisar Napoleon untuk memohon pengampunan untuk putranya yang adalah tentara. Namun, Kaisar mengatakan bahwa karena itu adalah pelanggaran besar kedua dari anaknya itu, keadilan menuntut kematian.
“Saya tidak meminta keadilan,” pinta ibu itu, “Saya memohon belas kasihan.”
“Tapi,” kata Kaisar, “dia tidak pantas mendapatkan belas kasihan.”
“Tuan,” teriak sang ibu, “bukanlah belas kasihan jika dia pantas mendapatkannya, dan hanya belas kasihan yang saya minta.”
baca juga: Setetes Embun: Phoenix-Kebangkitan (Hari Raya Paskah)
Belas kasih dan kejelasan logika ibu itu mendorong Napoleon untuk mengiyakan.
“Baiklah, kalau begitu, saya akan berbelas kasih.” —
Minggu Kedua masa Paskah mengundang kita untuk merenungkan cinta dan belas kasihan Tuhan yang tak terbatas bagi umat-Nya.
Pada minggu kedua masa Paskah tahun 2000, tepatnya 30 April, Beata Faustina dari Polandia digelari Santa oleh Paus Yohanes II. Pada Minggu kedua Paskah tahun 2014, tepatnya 27 April, Yohanes Paulus II juga digelari Santo oleh Paus Fransiskus.
baca juga: Setetes Embun: Paskah Dua Babak: Ia Telah Bangkit
Mengapa Santa Faustina? Santa Faustina dikenal sebagai Rasul Kerahiman Ilahi (Divine Mercy). Santa Faustine pada awalnya adalah seorang suster sederhana dari Polandia, yang selama penderitaannya diminta oleh Yesus untuk mempopulerkan devosi Kerahiman Ilahi.
Tiga tugas utama yang dipercayakan kepada Santa Faustina adalah: 1) Berdoa bagi jiwa-jiwa. Mempercayakan mereka pada kemurahan hati Allah yang tak terkira. 2) Mewartakan kepada dunia akan belaskasih Allah yang tulus. 3) Mengawali sebuah gerakan baru dalam Gereja dengan fokus pada Kerahiman Ilahi atau kemurahan hati Allah.
Paus Yohanes Paulus II, pada saat kanonisasi Sr. Faustina berkata, “percaya akan cinta berarti percaya akan belaskasihan”. Ini senada dengan Mazmur antar bacaan hari ini: “Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik. Bahwasannya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya” (Mz 118,1).
Pengampunan adalah wujud nyata dari belaskasih Allah. Itulah sebabnya Yesus meninggalkan warisan pengampunan sebelum kenaikan-Nya ke surga: “Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yoh 20,22-23).
Ungkapan paling jelas dari iman akan kebangkitan Yesus adalah melalui pengampunan kepada sesama. Mengapa? Karena kuasa sekaligus kewaijban ini diberikan oleh Yesus yang bangkit. Ketika kita mengampuni, disitu Yesus yang bangkit hadir melalui kita.
Oleh Gereja semangat dan sifat Allah ini kemudian diwujudkan dalam Sakramen Baptis dan Sakramen Tobat. Melalui dan saat pembaptisan setiap orang diampuni dari segala dosa masa lalu termasuk dosa asal. Melalui sakramen tobat atau liturgi pengakuan dosa, belaskasih Allah turun atas orang yang menyesal dan mengakui dosanya di hadapan Imam; sebagai perpanjangan tangan Uskup yang adalah pengganti para Rasul.
Belaskasih yang terwujud dalam pengampunan pada dasarnya tidak mensyaratkan apa-apa, kecuali penyesalan. Kelayakan tidak. Jaminan juga tidak. Pengampunan ibarat air dan pupuk yang diberikan kepada tanaman kering dan diharapkan dengannya menjadi tumbuh subur kembali.
Pengampunan tidak terbatas pada upacara liturgi. Pengampun dan belaskasih hendaknya menjadi sikap dasar dalam relasi dengan sesama.
Ibarat kata, jika untuk keamanan orang bersiap-siap dengan senjata api, maka untuk kedamaian hidup orang bersiap-siap dengan senjata pengampunan. Senjata pengampunan mengandaikan bahwa siapa saja, termasuk diri sendiri, bisa jatuh dalam kesalahan atau dosa.
Mereka yang tidak mau mengampuni tidak layak mendoakan Doa Bapa Kami: “Ampunilah kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami”.
(Setetes Embun, by P. Kimy Ndelo, CSsR; ditulis di Pastoran Sukamara-Kalimatan Tengah)