Jernih.co

Setetes Embun: Trinitas dalam Relasi

Misteri Trinitas bukan tentang angka dan jumlah tapi tentang relasi dalam kasih. Bapa dan Putera dan Roh Kudus berada dalam relasi kasih timbal balik yang tak ada bandingannya. Darinya kita belajar bagaimana hidup dalam relasi kasih satu sama yang lainnya.

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

JERNIH-Santo Sirilus menjelaskan dengan sederhana cara memahami pokok iman Kristiani yakni Trinitas.

Allah Bapa itu ibarat Matahari. Allah Putera adalah Sinarnya. Allah Roh Kudus adalah Panas yang bisa dirasakan. Tapi tetap hanya ada Satu Matahari.

Masih ada banyak cara lain yang dipakai oleh para ahli teologi atau para pengajar iman untuk membantu umat memahami Misteri Trinitas. Akan tetapi pada akhirnya harus diakui, seperti apa kata Karl Rahner seorang teolog Yesuit terkenal.

Ketika ditanya oleh seorang imam, bagaimana dia menjelaskan Trinitas dalam kotbahnya. Jawabannya: “Jangan! Perayaan hari ini tidak hanya menentang penjelasan tetapi juga pemahaman”. Maksudnya, jangan mencoba menjelaskan, tetapi terimalah dan imani atau percaya.

Mengapa? Karena rumusan yang sangat eksplisit tentang Trinitas tidak ada dalam Kitab Suci, tapi indikasi yang membenarkan konsep Trinitas tertulis dimana-mana dan tak perlu diragukan.

Perintah terakhir Yesus dalam Injil Mateus sangat jelas; Baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” (Mat 28,28). Jika bukan karena kesatuan tiga pribadi ini lalu untuk apa Yesus memberi pesan pembaptisan yang demikian?

Indikasi lain dapat ditemukan pada saat pembaptisan Yesus di sungai Yordan.

Dalam Mat 3,16-17 dikatakan: Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Ada Allah sebagai Bapa, Yesus sebagai Putera dan Roh Kudus pada saat yang sama dan bekerja untuk tujuan yang sama.

Dalam pembukaan Injil Yohanes dikatakan, “Pada mulanya adalah Firman, dan Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah”.  (Yoh 1,1). Siapa yang dimaksud Yohanes? Tiada lain adalah Yesus Kristus sendiri.

Tentang Roh dan Firman ini sudah dinyatakan sejak awal penciptaan.

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi.”

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketiga pribadi ini sudah nampak sejak awal penciptaan: Allah, Firman, Roh. Dalam istilah teologi Kristen disebut: Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus.

Walau sering kurang disadari dan dimaknai, dalam tanda salib sederhana dengan ucapan “Dalam Nama Bapa, Putera dan Roh Kudus”, tersirat sebuah ungkapan iman akan siapa Allah itu.

Allah sebagai Bapa yang mencipta dan memelihara ciptaan, Yesus sebagai Putera yang menebus dan mendamaikan kita dengan Allah dan Roh Kudus yang menguduskan kita, menguatkan kita, mengajar kita dan menuntun kita kepada Allah dan kebenaran tentang Dia.

Ini semua membawa kita pada satu kesimpulan: Misteri Trinitas bukan tentang angka dan jumlah tapi tentang relasi dalam kasih. Bapa dan Putera dan Roh Kudus berada dalam relasi kasih timbal balik yang tak ada bandingannya. Darinya kita belajar bagaimana hidup dalam relasi kasih satu sama yang lainnya.

**

Suatu hari, ketika dia sedang berjalan bersama Tuhan di Taman Eden, Adam berkata, “Maaf Tuhan, bolehkah saya mengajukan beberapa pertanyaan?” Tuhan menjawab, “Silahkan Adam, tapi cepat. Saya punya banyak urusan dengan dunia.” Jadi, Adam berkata, “Ketika Tuhan menciptakan Hawa, mengapa kamu membuat tubuhnya begitu anggun dan lembut tidak seperti tubuhku?” “Aku melakukan itu, Adam, agar engkau bisa mencintainya.” “Oh, kalau begitu, kenapa Tuhan memberinya rambut yang panjang, berkilau, dan indah?” “Aku melakukan itu padanya agar engkau bisa mencintainya.”

“Oh, kalau begitu, kenapa Tuhan membuatnya begitu bodoh? Apakah itu juga agar harus mencintainya?” “Tentu tidak, Adam. Aku melakukan itu agar dia bisa mencintaimu.”

Kadang kita perlu menjadi bodoh alias tidak tahu agar bisa mencintai.

(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Bali).

Exit mobile version