Kita yang di kota terlalu banyak terkontaminasi oleh berita via WA yang tidak jelas sumbernya, tertipu dengan banyak iklan dan berita di media sosial dan lainnya. Sementara al-Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya lupa kita sentuh dan baca.
Prof Dr KH Ahmad Imam Mawardi
DATANGLAH tamu-tamu dari desa berkunjung ke pondok kami di Surabaya. Wajah-wajahnya khas desa, lugu dan sepi dari polesan apalagi topeng. Terlihat wajah mereka sangat bersahabat dengan matahari dan angin persawahan dan tegalan.
Tatapannya fokus tapi lembut, tak suka tolah-toleh, hanya menunduk dan menghadap ke depan. Saya senang melihat wajah-wajah seperti ini, wajah yang tak membawa kepentingan apapun selain silaturrahim.
Pertanyaan mereka pertama kali setelah bersalaman adalah tentang kabar kesehatan saya sambil diiringi doa semoga sehat dan panjang umur. Saya bercerita kepada beliau tentang anak-anak muda yang baru saja pulang saat beliau-beliau ini tiba, anak angkat dari Malang yang ahli perbaikan tulang belakang. Saya baru diterapi sebagai upaya sehat. Alhamdulillah badan semakin segar.
Saya senang berbincang dengan tamu-tamu desa ini, berbicara tentang ternak sapi dan kambing serta persiapan menyambut bulan Ramadlan. Bagi orang Madura, penyambutan datangnya bulan Ramadlan adalah sebuah keharusan tradisi. Sangat perlu untuk dilanjutkan. Kalau di Jawa ada tradisi “megengan,” di Madura ada acara “pan-ampan.” Obrolan berlanjut sampai pada keinginan berangkat ke tanah suci jika ada kekuatan dana. Semangat ibadah orang-orang desa sangat tinggi sekali. Saya suka.
Adalah biasa di Madura kita temukan orang yang tak punya rumah permanen, tak punya tumpukan asesoris pelambang kaya, namun sudah naik haji atau berangkat umroh. Uang yang dimiliki sangat lumrah dijadikan uang azam, uang yang diniatkan ke tanah suci. Biasanya uang semacam ini tidak akan digunakan jntuk kepentingan apapun selain niat itu. Hebat, bukan?
Tidak sedikitpun kami berbincang tentang politik, karena mereka awam politik. Pun tak pernah bicara tentang fluktuasi rupiah alias naik turunnya nilai uang. Tak ada wajah gelisah tentang ekonomi, termasuk bebasnya buron perbankan. Mereka tak pernah baca itu. Mereka hanya membaca al-Qur’an dan Safinah Sullam. Mereka hanya yakin bahwa ada Allah yang mengatur hidup. Dengan itu saja mereka sudah merasa tenang. Bagaimana dengan kita?
Kita yang di kota terlalu banyak terkontaminasi oleh berita via WA yang tidak jelas sumbernya, tertipu dengan banyak iklan dan berita di media sosial dan lainnya. Sementara al-Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya lupa kita sentuh dan baca. Bergejolaklah nafsu dan keinginan duniawi, dikejarlah fatamorgana dan dilipakanlah agama. Bingung dan galaulah dalam hidup setiap hari. Mati kita sadar, dan kembalilah ke jalan yang lurus. Salam, A.I. Mawardi. [*]
* Founder and Director di Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya