Oleh Doddi Ahmad Fauji *
Dalam ilmu fisika, kita diajarkan bahwa energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan. Ia hanya bisa dikonversi dari satu bentuk ke bentuk lain: dari panas menjadi gerak, dari makanan menjadi tenaga, dari cahaya menjadi listrik, dan bahkan dari suara menjadi bentuk emosi dan reaksi sosial. Prinsip ini mungkin terasa sederhana di atas kertas. Namun dalam praktik sosial, budaya, dan politik, konversi energi bukanlah proses yang netral. Ia sarat konteks, kepentingan, bahkan konflik horisontal maupun vertikal. Ketika energi hendak diubah—baik itu energi dari sampah, dari air, dari batu bara, atau bahkan dari interaksi manusia—maka yang diperlukan bukan hanya alat atau teknologi, melainkan pemahaman yang utuh. Di sinilah literasi menjadi kunci, namun sayangnya, justru sering kali terabaikan.
Literasi yang dimaksud di sini bukan semata-mata kemampuan membaca dan menulis secara teknis. Literasi adalah kapasitas untuk menangkap dan memahami simbol, makna, relasi, dan dampak dari suatu informasi atau isyarat yang tersurat maupun tersurat. Literasi tidak berhenti pada penguasaan teks, tetapi mencakup cara manusia membaca lingkungan sosial, struktur kekuasaan, simbol-simbol budaya, bahkan tanda-tanda alam. Dalam konteks energi, literasi berarti kemampuan memahami bagaimana energi diproduksi, digunakan, dan dikonversi, serta siapa yang terdampak, siapa yang diuntungkan, dan apa konsekuensi jangka panjangnya bagi masyarakat dan lingkungan.
Fenomena pelanggaran terhadap makna simbol dapat dilihat dari contoh kecil dalam kehidupan sehari-hari. Ketika lampu lalu lintas menyala kuning, itu berarti kendaraan harus bersiap berhenti. Namun dalam praktiknya, di banyak kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, warna kuning justru dibaca sebagai sinyal untuk mempercepat laju kendaraan sebelum lampu merah menyala. Kegagalan memahami pesan sederhana ini mencerminkan pola pikir yang lebih luas: ketergesaan, kepentingan diri, dan kegagalan membaca sistem sebagai kesatuan. Kemacetan, kecelakaan, dan kekacauan lalu lintas bukan sekadar akibat dari padatnya kendaraan, tetapi juga dari ketunabacaan terhadap isyarat dalam sistem sosial. Dalam konteks energi, kegagalan memahami literasi bisa berdampak lebih besar terutama bila manusia hendak mengeksplorasi alam sebagai sumber energi. Kerusakan ekologi, konflik kepentingan, endemi penyakit, adalah contoh dampak buruk dalam konteks gagalnya memahami literasi energi.
Skala kesalahan pembacaan ini berlipat ganda ketika kita berbicara tentang pengelolaan energi dalam skala kebijakan. Ambil contoh proyek konversi sampah menjadi energi listrik. Di atas kertas, program ini tampak menjanjikan: sampah yang menjadi persoalan kota bisa diubah menjadi sumber energi terbarukan. Namun, ketika kebijakan ini dijalankan tanpa pemahaman kontekstual—misalnya tanpa melibatkan masyarakat lokal, tanpa transparansi proses, tanpa uji dampak ekologis yang menyeluruh—konversi itu bisa menjadi bencana. Bau busuk, pencemaran udara, peningkatan risiko kesehatan, dan konflik sosial adalah hal-hal yang kerap muncul. Semua ini menunjukkan bahwa konversi energi tanpa literasi ekologis dan sosial akan berujung pada bentuk baru dari ketimpangan dan kerusakan.
Literasi seharusnya menjadi basis etika dalam kebijakan energi. Ketika masyarakat tidak diajak memahami cara kerja proyek energi, mereka diposisikan semata sebagai penonton atau korban, bukan sebagai subjek. Padahal, dalam prinsip energi berkelanjutan, partisipasi adalah elemen utama. Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya diberi informasi setelah proyek selesai. Dengan demikian, literasi energi seharusnya dikembangkan sebagai kemampuan kritis yang memungkinkan publik menilai, bertanya, dan berpartisipasi dalam proses transformasi energi. Ini termasuk memahami teknologi, mengenali dampak jangka panjang, serta membaca dinamika kekuasaan di balik proyek-proyek besar.
Di era digital saat ini, informasi tentang energi dan lingkungan tersebar luas dalam berbagai bentuk: infografis, video pendek, kampanye visual. Namun, penyebaran informasi tidak selalu sebanding dengan pemahaman. Kita hidup di tengah lautan data, namun sering kali gagal menyelam ke kedalaman maknanya. Poster “go green” bisa menjadi tren gaya hidup, tetapi tidak selalu mencerminkan perubahan perilaku. Kampanye tentang krisis iklim bisa menjadi viral, tapi tidak serta-merta membuat orang berhenti menggunakan plastik sekali pakai. Literasi tidak hanya berarti tahu, tetapi juga mengerti dan menginternalisasi. Dalam konteks ini, literasi sejati berarti kemampuan membaca makna di balik gambar, suara, dan statistik—dan dari sana, membentuk keputusan yang etis.
Masalahnya, dalam banyak konteks di Indonesia, narasi pembangunan dan transformasi energi terlalu sering dibungkus dengan jargon kesejahteraan rakyat. Namun ketika ditelusuri lebih dalam, siapa sebenarnya yang menikmati hasil dari proyek-proyek besar seperti tambang, PLTU, atau reklamasi? Apakah masyarakat lokal yang tanahnya diambil? Atau korporasi besar yang menjalin kontrak jangka panjang? Ketika literasi tidak dikembangkan, masyarakat tidak memiliki posisi tawar. Mereka tidak bisa membedakan antara partisipasi semu dan keterlibatan sejati. Literasi, dalam konteks ini, bukan hanya alat untuk memahami, tetapi juga alat untuk menolak, bertanya, dan merancang ulang masa depan.
Ada satu prinsip dalam fisika yang sering terlupakan dalam praktik sosial: sudut datang sama dengan sudut pantul. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap energi yang datang pada suatu permukaan akan dipantulkan kembali dalam arah yang sama. Dalam ranah sosial, prinsip ini bisa dibaca sebagai pengingat: setiap kebijakan atau tindakan akan kembali kepada pelakunya—entah dalam bentuk kepercayaan, protes, atau bahkan kehancuran. Jika kebijakan dibuat tanpa memahami konteks dan tanpa mengajak masyarakat membaca bersama dampaknya, maka dampak itu akan kembali sebagai krisis sosial dan ekologis. Literasi bukan hanya mencegah bencana, tapi juga menciptakan tanggung jawab bersama.
Membangun masyarakat yang literat dalam konteks energi bukan hal mudah, tetapi bukan pula mustahil. Proses ini harus dimulai dari sistem pendidikan: memasukkan pemahaman tentang energi, lingkungan, dan hak warga negara sejak dini. Kemudian, diperkuat oleh media yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membuka ruang untuk interpretasi dan diskusi. Pemerintah dan korporasi juga perlu bertransformasi dari model komunikasi satu arah menjadi dialog dua arah—di mana masyarakat dianggap setara sebagai pemangku kepentingan. Literasi bukan sekadar output, tetapi proses yang melibatkan waktu, empati, dan komitmen.
Pada akhirnya, persoalan energi bukan hanya soal teknologi, tetapi soal manusia. Dan manusia, untuk bisa mengelola energi dengan bijak, harus belajar membaca dengan utuh. Literasi yang kita butuhkan hari ini bukan hanya yang ada di buku, tapi yang tumbuh dari realitas sosial dan ekologis. Literasi yang tidak berhenti pada teks, tapi merambat ke tindakan. Dunia ini tidak kekurangan energi—yang kurang adalah kesadaran. Dan kesadaran hanya bisa lahir dari pembacaan yang jujur, mendalam, dan kritis. Dalam setiap keputusan yang kita buat, dalam setiap energi yang kita ubah, selalu ada tanggung jawab yang ikut bergerak. Maka bacalah baik-baik—sebelum terlambat.
* Penulis adalah penyair, jurnalis, dan praktisi tata kelola sampah.
Editor: Irzi Risfandi