Teraju

RATNAKANIKA

RATNAKANIKA
Siti Suci Winarni

Editor, Doddi Ahmad Fauji
Penata Letak, Keuis Siti Aisah
Perancang Sampul, Heza Hara
Cetakan Pertama, Mei 2025
ISBN, 978-634-7060-09-9

Penerbit
SituSeni
KP. Sukamulya Dalam II No. 23
RT 06 RW 09, Kel. Sukaasih
Bojongloa Kaler, Bandung 40231
situseni.net@gmail.com | situseni.my.id

Buku di atas dapat di pesan melalui SIPLAH:
https://siplah.blibli.com/merchant/product-detail/SSIT-0008-00085

RATNAKANIKA: SERBUK PERMATA DARI HENING JIWA

Oleh Irzi Risfandi

PUISI adalah jejak jiwa yang tak lekang oleh musim, dan Ratnakanika—yang dalam bahasa Sanskerta berarti “serbuk permata”—adalah kumpulan tapak halus namun bercahaya dari langkah seorang perempuan penyair yang telah lama meresapi dunia sebagai peristiwa batin. Siti Suci Winarni tak sekadar menulis puisi; ia menenun hikmah, menggurat cahaya dalam kepingan kata yang bersahaja namun mendalam. Buku ini bukan saja sebuah antologi, melainkan semacam dzikir estetika, tempat kata-kata menyingkap hakikat kehidupan lewat kesenyapan dan keanggunan.

Dalam puisi “Bumi Terluka Langit Berdoa”, Winarni menjadikan alam sebagai tubuh yang luka karena ulah manu-sia. Ia menulis, “Gunung-gunung berselimut luka / Darahnya mengalir menjadi sungai yang keruh,”—sebuah metafora ekologis yang kuat dan menyayat. Tapi ia tidak berhenti dalam elegi; langit dalam puisinya masih merentangkan pelangi, menawarkan maaf dan harapan, seperti jemari yang bersim-puh pada cakrawala.

Sementara itu, puisi “Wahai Perempuan, Ratukanlah Dirimu” adalah ode untuk martabat perempuan yang sering kali larut dalam bias patriarki. Di bait awal, penyair mengangkat perempuan sebagai “rembulan dalam gulita” dan menyerukan: “Ratukanlah dirimu / Seperti bunga liar di tepi jurang.” Ini bukan sekadar pemberdayaan retoris, melainkan ajakan untuk merebut kembali kedaulatan batin perempuan dengan kelembutan dan kekuatan.

Salah satu puisi paling simbolik dalam buku ini, yang juga menjadi judul antologi, “Ratnakanika”, menjelaskan filosofi di balik keseluruhan karya: butiran-butiran hikmah tersebar bak debu cahaya, tak kasat mata, namun “siapa yang mampu mengumpulkannya / akan bermahkotakan kemuliaan jiwa raga.” Winarni tampaknya ingin mengingatkan bahwa ilmu, nilai, dan keindahan sejati bukan selalu gemerlap di permukaan, tetapi menyapa mereka yang bersedia menunduk dan menyapu debu ke dalam jiwa.

Buku ini juga merekam renungan filosofis dan spiritual dalam puisi “Menengok Renaisans”, di mana semangat kebangkitan filsafat dan seni klasik dibangkitkan sebagai “mantra jiwa”. Bait-baitnya melambungkan pembaca dalam medan sastra tinggi, dengan laku kontemplatif bak sang nakhoda mengarahkan biduk menuju “pantai makna”.

Dengan narasi puitik yang gemar mengeksplorasi alam, nilai-nilai perempuan, spiritualitas, dan sejarah, Siti Suci Winarni membuktikan bahwa seorang guru tidak hanya mengajar lewat kurikulum, tapi juga lewat kurasi rasa dan nurani. Ia menjadikan kata sebagai pengabdian, dan setiap puisinya adalah jendela untuk menatap perenungan yang lebih dalam tentang hidup, tanah air, dan kemanusiaan.

Maka Ratnakanika adalah bukan sekadar antologi; ia adalah cermin batin seorang penyair pendidik yang membalut pengetahuan dalam keindahan bahasa. Di saat dunia semakin gaduh, karya ini hadir sebagai bisikan lembut: untuk kembali membaca diri, dan meratnakan kehidupan—butir demi butir, seperti serbuk permata.

Jakarta, Mei 2025

Back to top button